Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Waspada Predator Seks, Relasi Kuasa Pengaruhi Kasus Kekerasan Seksual

Illustrasi pelecehan seksual

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Relasi kuasa dalam kasus pencabulan dan kekerasan seksual, merupakan unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban. Pelaku merupakan pihak yang memiliki kuasa dalam suatu relasi dengan korban. Biasanya, orang yang usia lebih tua hingga status sosial pelaku lebih tinggi. Akibatnya, korban takut untuk melapor hingga proses hukum tak berjalan. Hal serupa terjadi pada kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah tiri, mantan camat di Kota Bekasi.

Marak dan berulangnya kasus kekerasan seksual ini sempat menjadi perhatian ekstra dari pemerintah. Mei tahun lalu, Undang-undang (UU) nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan, mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, hingga pemulihan hak korban.

Pada kasus dugaan kekerasan seksual yang mencuat baru-baru ini, keluarga anak berinisial S (11) berharap proses hukum bisa berjalan. Keluarga mengaku terkejut dengan perbuatan ayah tiri yang diketahui pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tersebut setelah S akhirnya bercerita.

Sampai saat ini, Tante Korban Eka (40) mengatakan bahwa proses hukum telah berjalan, dalam penanganan Polres Metro Bekasi Kota. Pihaknya saat ini telah didampingi oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi.

Disamping proses hukum berjalan, keluarga saat ini tengah memikirkan kelanjutan proses pendidikan S. Komunikasi dengan sekolah sudah dilakukan, dan mendapat respon baik. Hanya saja, S belum bersedia kembali ke sekolah lantaran masih mengalami trauma.”Anaknya harus lanjutin sekolah. Kalau dari pihak sekolah disuruh masuk, duduk di bangku sekolah. Anaknya belum mau, masih trauma,” kata Eka, Rabu (22/2).

Pendampingan telah diberikan oleh KPAD sejak akhir pekan kemarin, terutama pada proses hukum. Wakil Ketua KPAD Kota Bekasi, Rusham mengatakan bahwa pihaknya mengapresiasi respon kepolisian yang telah mengamankan terduga pelaku setelah dilakukan upaya hukum dari keluarga korban.

“Dari hari Minggu teman-teman KPAD, terutama komisioner bidang hukum itu sudah melakukan pendampingan proses hukumnya di PPA Polres Metro Bekasi Kota,” ungkapnya.

Kemarin, ia menyampaikan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) juga telah mengunjungi korban untuk melakukan upaya pemulihan Psikologis S. Selanjutnya, penanganan kasus ini akan dilanjutkan dengan konseling.

Rusham menekankan kondisi psikologis anak dalam kasus kekerasan seksual seperti yang dialami S. Terlebih, dugaan pencabulan sudah berlangsung lama.”Secara psikologis itu yang harus kita pikirkan, karena anak ini kekhawatiran kita akan mengalami trauma yang panjang,” tambahnya.

Beberapa kasus kekerasan seksual diwarnai dengan upaya intervensi kepada korban, maupun keluarga korban. Korban maupun keluarganya kerap diminta menyudahi proses hukum.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum lama ini mengungkap kewenangannya dalam pemenuhan hak dan saksi korban dalam UU nomor 12 tahun 2022. Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar mengatakan bahwa LPSK memiliki kewenangan mulai dari memberikan pendampingan kepada korban pada proses hukum hingga pemeriksaan saksi setelah melalui serangkaian proses.

Permohonan dapat diajukan pada saat keluarga korban, atau korban mendapat ancaman. Selain, LPSK juga dapat proaktif dalam kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, hingga perlindungan darurat pada kasus penganiayaan.

“Misalnya dapat ancaman dari keluarga pelaku, keluarga pelaku itu misalnya tokoh masyarakat yang pendukungnya banyak,” katanya dalam sosialisasi kewenangan LPSK pada UU nomor 12 tahun 2022 di Bekasi belum lama ini.

Kewenangan lain oleh LPSK kata Livia, yakni dalam hal pemberian ganti rugi atau Restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga yang terkait kepada korban. Restitusi merupakan hak pemulihan pada korban.

“Pemulihan korban ini akan menjadi sangat penting, proses hukum selesai bukan berarti si korban ini pulih,” ungkapnya.

Praktisi Hukum, Mulkan Let-Let mengatakan bahwa pihaknya pernah mendampingi korban kekerasan seksual yang mendapat intervensi. Bukan pensiunan pejabat, terduga pelaku di salah satu kasus di Bekasi yang ia tangani bahkan hanya pengurus di lingkungan tempat tinggal korban.”Seperti yang saya tangani, pengurus di lingkungan meminta keluarga korban untuk mencabut laporan,” kata dia.

Salah satu yang digunakan untuk mempengaruhi keluarga korban kata Mulkan, dengan dalih keluarga korban tidak memiliki bukti kuat. Dalam hal ini, keluarga korban yang mesti diberikan penguatan, bahkan perlindungan, termasuk kepada korban.

Menurutnya, kasus kekerasan seksual tidak mudah untuk dibuktikan, kecuali dengan pengakuan korban dan hasil visum. Penegak hukum harus banyak memberikan perhatian dari sisi korban yang telah memberanikan diri untuk bercerita dan melaporkan kasus yang ia alami.”Maka pembuktian dengan pengakuan korban dan bukti visum saja sudah cukup sebenarnya,” tambahnya.

Hal senada juga disampaikan oleh pengamat hukum, Anggreany Haryani Putri, ia mengatakan kuasa lebih yang dimiliki oleh pelaku kekerasan seksual berpotensi digunakan untuk membuat korban tidak berani melaporkan peristiwa yang dialami.

Bahkan, situasi tersebut bisa menjadi celah untuk menyelesaikan kasusnya dengan jalan damai.

“Kenapa saya bilang sangat mungkin, karena dalam hal ini biasanya pelaku kekerasan seksual atau kejahatan seksual itu adalah orang yang memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan korban,” ungkapnya.

Ia juga menilai UU nomor 12 tahun 2022 memberikan perlindungan terbaik kepada korban. Fokus UU tersebut kepada korban memastikan benar-benar mendapat perlindungan dan pemulihan.

Setelah UU ini berlaku, maka yang perlu menjadi perhatian adalah pelaksanaan di lapangan. Peran masyarakat dan lembaga-lembaga terkait dibutuhkan guna memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual.”Ini peran masyarakat juga, LPSK harus hadir, perlindungan perempuan dan anak harus hadir,” tandasnya. (Sur)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin