Oleh: Dahlan Iskan
“POLISI sudah banyak sekali berubah”. Yang mengatakan itu adalah orang yang menamakan dirinya pejuang dari dalam. “Kini tidak ada lagi jalur ekstra struktural,” katanya.
Selama ini ia banyak ”tersisih”. Zaman Ferdy Sambo ia melihat ada jalur-jalur khusus. Juga ada pemupukan sumber dana. Keduanya berkait dan berkelindan.
Ia mengatakan, berjuang dari dalam bukan untuk kepentingannya sendiri. Bukan untuk cari jabatan. “Saya berjuang demi institusi Polri,” katanya.
Salah satu perjuangan dari dalam itu adalah mengusahakan agar skenario Sambo berantakan. Misalnya yang dilewatkan Bharada Eliezer itu.
Menurut skenario itu, Eliezer-lah pembunuh Joshua. Tapi akhirnya bisa diusahakan agar Eliezer mengaku apa adanya: bahwa ia disuruh Sambo. Ditekan. Tujuan utamanya bukan untuk mencelakakan Sambo, tapi untuk membersihkan Polri dari kekuatan ekstra struktural.
Karena itu setelah perubahan ini pun ia tetap menempatkan diri sebagai pejuang. Ia tidak mendapatkan keuntungan finansial maupun struktural. Ia masih menjadi dirinya yang lama.
Masyarakat tentu tidak merasakan perubahan itu. Tapi orang dalam kepolisian sangat merasakannya.
Dalam sidang pengadilan mantan Kapolda Jatim Irjen Pol Teddy Minahasa juga terungkap sedikit.
Sewaktu dirinya mulai dikaitkan dengan perdagangan narkoba yang diungkap Polda Metro Jaya, Teddy segera menghadap Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia akan menyampaikan klarifikasi langsung kepada orang nomor 1 di Polri.
“Apa kata Kapolri?” tanya hakim pada Teddy Minahasa.
“Pak Kapolri tidak mau menerima laporan yang tidak benar. Saya disuruh menjelaskannya ke Propam,” ujar Teddy. “Pak Kapolri tidak mau kejadian Sambo terulang,” tambahnya. “Mas Teddy ke Propam dulu saja,” ujar kapolri seperti ditirukan Teddy di sidang pengadilan.
Teddy pun lantas ke Propam. Setelah diperiksa, malam itu juga Teddy dinyatakan sebagai tersangka perdagangan narkoba. Langsung pula ditahan. Kini Anda sudah tahu: sidangnya sudah mendekati masa akhir.
Dalam hal Sambo, kapolri menerima laporan seperti yang ada di skenario awal. Setelah Joshua tewas tertembak Sambo memang bergegas ke kapolri. Melapor. Belakangan kapolri seperti kena petir. Ternyata kejadian sebenarnya tidak seperti yang dilaporkan Sambo.
Teddy kini berusaha kuat untuk lepas dari jeratan hukum. Tapi ada beberapa bukti yang ia sangat berat untuk mengelak. Salah satunya soal perintah penggantian barang bukti sabu-sabu dengan tawas. Kita pun baru tahu bahwa benda yang paling mirip sabu-sabu ternyata tawas. Bukan tepung ayam goreng geprek.
Teddy di sini menggunakan logikanya sendiri: perintah itu, katanya, semacam satire. Perintahnya mengganti, maksudnya jangan mengganti.
Memang ada beberapa kata yang bermakna sebaliknya. Tapi itu tergantung dari konteks dan nada bicara. Kata “pergi sana!” dari seorang yang marah bisa saja diartikan sebagai ”jangan pergi”.
Tapi konteks seperti itu sulit ditemukan. Pun ahli bahasa yang dihadirkan ke pengadilan. Sebagai saksi ahli.
Perintah penggantian barang bukti dengan tawas itu tidak menimbulkan banyak tafsir. Tidak ambigu. Tapi Teddy ngotot bahwa perintah tersebut bermakna sebaliknya.
Hakimlah nanti yang memutuskan.
Dari Sambo melahirkan perubahan besar: tidak ada lagi lembaga nonstruktural.
Dari Teddy Minahasa kita bisa tahu bahwa sabu bisa diganti tawas.
Polri juga mempraktekkan penjebakan dalam menangkap tersangka. Kita juga tahu bahwa perjuangan untuk naik pangkat dan jabatan ternyata begitu berisikonya.
Demikian juga beda antara pedagang sabu dan informan sabu ternyata begitu tipisnya. Seperti peran yang dimainkan Linda, alias Anita Cepu. Demikian juga sabu sebagai benda yang harus dilenyapkan dan sabu sebagai sumber bonus dan biaya operasional begitu berimpitan.
Yang masyarakat merasakan langsung perubahan di Polri itu adalah di jalan raya: tidak ada lagi tilang. (Dahlan Iskan)