RADARBEKASI.ID, BEKASI – Wabah Tuberkulosis (TBC) tidak boleh dianggap enteng, jika dibiarkan bisa menyebabkan kematian. Virus yang menyerang saluran pernafasan ini bisa diderita siapa saja, mulai balita hingga dewasa. Dinas kesehatan kabupaten Bekasi mencatat, 1.200 santri di kabupaten Bekasi mengidap TBC.
“Sepanjang tahun 2022 ada empat lokasi (pesantren) yang di di skrining. Dari delapan ribu yang di skrining, yang termodifikasi sekitar 15 persen atau sekitar 1.200 santri dan sekarang sudah dilakukan pengobatan,” ujar Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi Ahmad Nurfallah, kepada Radar Bekasi, Minggu (2/4).
Menurut Nurfallah, hal serupa juga dilakukan pada tahun 2023. Dimana, delapan ribu anak dari empat pesantren dan satu Sekolah Menengah Atas (SMA) kembali di skrining. Misalkan dalam skrining tersebut ditemukan anak bergejala, kemudian diambil sampel dahaknya, baru dilakukan pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM).
“Untuk hari ini (tahun 2023) hasilnya belum kelihatan, karena TCM runningnya delapan jam sekali, itu pun hanya tiga sampai empat modul. Jadi aga lama hasilnya,” ucapnya.
Menurutnya, hunian pondok pesantren rawan menjadi penyebaran TBC. Misalnya, lingkungan yang kotor dan hunian kamar santri yang sempit. Bahkan, lanjutnya, satu kamar santri bisa dihuni 30 orang.
“Kalau kondisi pemukiman atau pondokannya tidak layak huni, kepadatannya tinggi. TBC bakal mengancam anak-anak pondok pesantren,” ungkapnya.
Diketahui, jumlah kasus TBC yang termotivasi di kabupaten bekasi pada januari sampai desember 2022 sebanyak 8.504. Untuk kasus TBC pada anak 1.395. Sedangkan jumlah kasus TBC yang termotivasi di kabupaten bekasi pada januari sampai maret 2023 sebanyak 1.977. Untuk kasus TBC pada anak 277.
“Kalau dari data se Jawa Barat, Kabupaten Bekasi berada di urutan kelima. Jumlah TBC kepada anak cukup tinggi sepanjang tahun 2022. Memang dengan gencarnya penemuan kasus baru atau skrining kepada anak. Sehingga jumlahnya meningkat,” ucapnya.
“Penyakit TBC sama dengan penyakit lainnya. Fenomena gunung es itu terjadi, di puncak sedikit. Tapi kalau seandainya dilakukan investigasi kontak bisa meningkat,” sambungnya.
Menyikapi itu, Penjabat (Pj) Bupati Bekasi, Dani Ramdan meminta, agar kesehatan lingkungan dijaga untuk mencegah kasus TBC. Kemudian sirkulasi udara harus bagus, dan pastinya yang teridentifikasi TBC harus tuntas pengobatannya.
“TBC yang paling penting kesehatan lingkungan, kondisi rumah sirkulasinya harus bagus, kemudian yang teridentifikasi TBC harus tuntas pengobatannya selama enam bulan. Saya akan instruksikan puskesmas untuk melakukan identifikasi, untuk yang teridentifikasi diberikan obat secara gratis,” jelasnya.
Dalam beberapa situasi, resiko penularan TBC dapat terjadi, penyakit menyebar dari pasien TBC kepada orang lain di sekitarnya lewat udara, percikan dahak saat batuk, atau berbicara. Diantaranya, kontak jarak dekat dalam waktu yang lama, ditambah ventilasi yang buruk dan kurang pencahayaan jika berada pada satu ruangan, serta daya tahan tubuh dalam dalam kondisi lemah.
Untuk itu, masyarakat tetap dianjurkan untuk menggunakan masker guna melindungi diri dan meminimalisir penularan.
“Kontak jarak dekat dengan lingkungan sehari-hari dalam waktu lama tentu menjadi resiko tinggi terhadap penyebaran. Ditambah jika ventilasi buruk, dan kurang pencahayaan, dan daya tahan tubuh lemah,” kata Dewan Pembina Himpunan Kader Penyuluh Indonesia (Hipakindo), Titi Masrifahati.
Permasalahan yang harus diselesaikan di tengah bertambahnya angka kesakitan TBC ini kata Titi, berkaitan dengan ketidaktahuan masyarakat terhadap penyakit ini.
Apa yang dialaminya sendiri atau orang disekitarnya dianggap sebagai batuk biasa, atau sekedar batuk alergi membuat kasus tidak terdiagnosa, sehingga menginfeksi dan menularkan kepada orang lain. Padahal, gejala penyakit ini berupa batuk lebih dari dua pekan, bisa disertai atau tidak disertai sesak nafas, serta penurunan berat badan.
“Sehingga dianggap sebagai batuk biasa yang akan sembuh sendiri, atau batuk alergi. Sehingga tidak terdiagnosa dan sudah menginfeksi atau menularkan sekitar,” ungkapnya.
Selain edukasi terhadap gejala penyakit TBC, edukasi terhadap konsistensi pengobatan juga harus terus diperkuat kepada masyarakat, terutama kepada anggota keluarga pasien TBC. Putus obat membuat penyakit TBC tidak sembuh, serta kambuh.”Dan perlu edukasi untuk menjaga pola makan bergizi, serta istirahat yang cukup,” tambahnya. (Pra/Sur)