Berita Bekasi Nomor Satu
Disway  

Safari Ramadan

Dahlan Iskan melakukan safari Ramadan dimulai dari nyekar ke makam ibunya Siti Khalisnah.--

Oleh: Dahlan Iskan

SAFARI Ramadan kali ini saya mulai ke makam ibu: Siti Khalisnah. Di desa Bukur, tetangga desa kelahiran saya, Tegalarum. Ibu mendapat fasilitas dikuburkan di makam keluarga Haji Sapuan, entah bagaimana ceritanya.

Saya sendiri sekolah SD di desa Bukur. Hanya jalan kaki menyeberang sungai Kanalan. SD Tegalarum sendiri lebih jauh: di bagian barat desa. Rumah kami di bagian paling timur desa. Anak Magetan sekolah di Madiun.

Sungai Kanalan itulah yang memisahkan Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun. Jadinya saya lebih sering ke kecamatan Jiwan daripada ke kecamatan sendiri di Bendo.

Waktu SD itu saya sering ke Jiwan. Ke poliklinik. Selama di SD kaki saya lebih sering korengan dari pada mulus. Kadang koreng diselingi bisul. Kadang diselingi luka yang bernanah.

Luka itu bisa karena kena cangkul. Kena penyabit rumput. Atau ketika berjalan dengan kaki telanjang, jari kaki tersandung batu. Pernah juga luka karena menginjak kaca di jalan. Atau menginjak paku yang sudah betagar.

Pokoknya selalu ada nanah di salah satu bagian kaki.

Obat semua itu hanya satu jenis: salep. Di poliklinik Jiwan. Saya lihat salepnya ditaruh di ember kecil. Siapa saja yang perlu salep diolesi langsung oleh petugas. Perlu diperiksa. Tidak perlu dicuci dulu. Alat pengolesan semacam sendok kayu bergagang panjang. Dari ember langsung ke kaki.

Maka salep tersebut menutup koreng yang sudah bercampur debu. Yakni debu jalan. Jalan dari SD Bukur ke klinik itu memang berdebu. Sejauh 3 km. Belum ada aspal.

Pulangnya salep itu tertutup lagi dengan debu baru. Kadang di antara kami, tiga atau empat anak, saling sepak debu. Siapa yang bisa menyepak debu paling tinggi ia yang hebat. Apalagi kalau bisa mengenai muka temannya.

Kaki kami memang penuh koreng bernanah tapi bahagia: hari itu bisa membolos satu hari. Minta izin guru untuk ke klinik pada dasarnya memang bukan untuk sembuh.

Makam ibu saya sederhana tapi bersih. Mungkin adik saya yang membersihkannya. Ibu berbaring di situ sejak tahun 1963, ketika saya berumur 12 tahun.

Dulu, ketika kecil, ke makam ibu adalah acara tahunan: salat Idulfitri, selamatan ambeng (tiap rumah bikin ambeng, dibawa ke masjid untuk dimakan bersama), sungkeman di rumah nenek, lalu ke makam. Setelah itu baru unjung-unjung ke rumah famili. Tidak ada yang memberiangpao seperti zaman sekarang.

Ayah dimakamkan di Takeran. Tidak ada wasiat harus dimakamkan dekat ibu. Saat ibu meninggal ayah baru berumur 56 tahun. Ayah tetap menduda sampai meninggalnya di usia 85 tahun.

Satu-satunya pesan ayah adalah: jangan pernah ziarah ke makamnya sebelum ke makam KH Hasan Ulama. Itu kakek buyut saya dari ibu. Yang oleh ayah dianggap sebagai ”guru” tarekatnya: tarekat Satariyah. Ayah merasa tidak menghormati ”guru” kalau ada orang ke makamnya tanpa lebih dulu ke makam guru.

Bahkan, ayah berpesan, kalau perlu tidak usah ke makam ayah. Cukup didoakan dari makam Hasan Ulama.

Ada bangunan kuno di atas makam Hasan Ulama. Makamnya sendiri dikerudungi kelambu. Biasanya kami tahlil di teras makam.

Ketika Hasan Ulama meninggal ”keguruan” Satariyah diwariskan ke cucunya: Imam Mursyid Muttaqin. ia mati muda: dibunuh PKI dalam pemberontakan PKI Madiun 1948. Tujuh kiai kami dibunuh bersama. Dimasukkan sumur hidup-hidup. Lalu ditimbun. Termasuk dua ustad kami yang didatangkan dari Mesir.

Di Safari Ramadan ini saya tidak ke makam ayah. Saya baru saja ke Takeran seminggu sebelum Safari Ramadan. Sekalian melihat proyek kecil-kecilan di situ. Setamat SD di Bukur saya sekolah di tsanawiyah dan aliyah Takeran. Karena itu Takeran juga saya anggap kampung saya. Apalagi ayah juga besar di situ. Ayah jadi abdi dalem di rumah Hasan Ulama. Abdi kesayangan. Karena itu dikawinkan dengan ibu saya.

Dari makam ibu saya ke desa kelahiran. Ada dua janda tua bersebelahan rumah di Tegalarum: Yu Yah dan Yu Yat. Merekalah yang dulu kasihan pada saya. Ketika pulang sekolah tidak ada makanan, mereka panggil saya makan di rumah mereka. Kadang di rumah Yu Yah. Kadang di rumah Yu Yat.

Sebenarnya ada beberapa rumah lagi di depan rumah orang tua saya. Itu rumah paman dan pak de. Tapi juga past tidak ada makanan di rumah mereka.

Sepuluh tahun kemudian, saya ajak istri saya, galuh Samarinda, berbulan madu di desa ini. Saya ceritakan jasa dua wanita itu –yang waktu itu belum janda. Maka waktu Safari Ramadan kali ini istri saya lebih banyak bercengkerama dengan mereka.

Istri saya ingat: di bulan madu itu makanan termewah kami adalah soto Pasar Kawak Madiun. Di Safari Ramadan kali ini pun istri ingin mampir ke Pasar Kawak. Saya biarkan dia masuk pasar itu. Saya jalan-jalan ke jalan melengkung di depan pasar. Kawasan ini sekarang semarak sekali. Jadi kawasan baru: tempat wisata. Di atas rel kereta lama jurusan Madiun-Ponorogo itu kini ada gerbong kereta beneran. Bagian dari wisata kuliner yang baru.

Madiun berubah mengesankan. Di tengah kota kini ada bangunan mirip Kakbah. Dengan lingkungan yang tertata rapi. Di seberang jalannya ada patung besar Lion Singapura. Maka berada di situ terasa seperti di tengah dunia dan akhirat.

Rute Safari Ramadan kali ini ke arah barat: ke Gunung Kidul dan ke Yogyakarta.

Di Yogyakarta saya harus berbuka puasa bersama bos Yogya Mall dan Rich Hotel: Soekeno. Inilah hotel berbesar di Yogya: punya 500 kamar. Belum termasuk kamar di hotelnya yang lain. Grup ini sekarang punya delapan hotel. Padahal Soekeno berangkat dari miskin. Usaha pertama yang dirintisnya adalah kios foto copy.

Sebenarnya saya sudah beberapa kali bermalam di hotel Rich tapi baru kali ini bersama pemiliknya. Teman lama saya, Aqua Dwipayana, yang mengatur buka bersama itu.

Habis berbuka saya ke Masjid Jogokariyan. Lalu ke masjid di pondok Krapyak.

Hari pertama Safari Ramadan pun berakhir di Yogyakarta. (Dahlan Iskan)