Berita Bekasi Nomor Satu

Diimingi Gaji Ratusan Juta

Executive Director Migrant Care Wahyu Susilo

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Ada pergantian tren dari kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Masyarakat tak lagi diperdagangkan untuk menjadi pekerja rumah tangga (PRT) ilegal di luar negeri. Tapi, dipaksa melakukan kejahatan siber atau online scamming. Modus perekrutan sama, gaji hingga ratusan juta.

Executive Director Migrant Care Wahyu Susilo mengungkapkan, di era digital ini kian banyak perekrut yang memanfaatkan media sosial sebagai media untuk merekrut pekerja guna menjalankan kejahatan digital. Selain kemudahan akses, para perekrut ini juga memanfaatkan kondisi masyarakat di masa pandemi yang banyak membutuhkan pekerjaan.

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 menimbulkan permasalahan ekonomi pada masyarakat global yang diakibatkan kehilangan pekerjaan, penurunan pendapatan, hingga minimnya lapangan pekerjaan baik di Indonesia maupun di negara penempatan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Diperkirakan, sekitar 1 juta PMI mengalami gagal berangkat, di-PHK sepihak, tidak digaji, mengalami kekerasan fisik, psikis, dan menjadi korban perdagangan manusia akibat Covid-19.

”Jadi peran digital dalam pusaran pekerja ini adalah perekrutan dilakukan dengan online, platform bisnis pengguna jasa yang dioperasikan, media perdagangan pekerja antar perusahaan, hingga media dalam mencari bantuan,” jelasnya, Rabu (10/5).

Perekrutan misalnya, lanjut dia, dilakukan melalui Facebook, Whatsapp, dan Telegram. Perekrut mengirimkan link hingga iklan tawaran kerja dengan berbagai janji-janji manis. Mulai dari gaji minimal Rp 10 juta hingga USD 12 ribu atau Rp 176,9 (dengan nilai tukar dollar Rp 14.746), komisi 5-10 persen, biaya keberangkatan, fasilitas selama bekerja, bahkan klaim bukan merupakan jual beli orang.”Janji para perekrut ini mereka dijadikan customer service, admin, dan input data,” ungkapnya.

Kemudian, saat korban bersedia maka sebelum keberangkatan mereka akan dimasukkan ke dalam grup Whatsapp atau Telegram. Grup tersebut jadi ruang edukasi dan pendampingan korban sampai nanti tiba di negara tujuan. Lalu, ada tes typing dalam bentuk video. Kadang ada tes wawancara juga. Dalam grup tersebut, mereka juga diajari cara menjawab ketika proses pembuatan paspor atau vaksin. ”Saat pembuatan paspor dan vaksin, mereka diajari untuk menjawab tujuannya berlibur,” jelasnya.

Saat tiba di negara tujuan, janji tinggal janji. Apa yang tersaji jauh berbeda dari mimpi-mimpi. Mereka dipekerjakan bukan menjadi CS ataupun admin. Mereka dipaksa melakukan online scamming. Biasanya, mereka diminta berpura-pura menjadi perempuan. Lalu mencoba menjerat target/korban melalui sosial media atau dating apps. Setelahnya, mereka disuruh menawarkan investasi kepada target dengan mengirim link/url. Untuk lebih meyakinkan, disediakan model untuk melakukan video call dengan calon korban. Jika sukses menggaet korban, maka nantinya ada deposit yang disetorkan dan admin yang bertugas mengurus uang tersebut.

Dalam bekerja, mereka diberikan target deposit Rp 600 ribu per orang per hari. Mereka biasanya bekerja dalam tim, di mana satu tim terdiri dari 5-6 orang dengan target USD 30 ribu. ”Ketika member dari pekerja secara akumulasi sudah mencapai target, maka akses akun dan akses contact semua sosial media ditutup,” paparnya.

Selain itu, tak ada libur. Mereka dipekerjakan mulai dari pukul 09.00 sampai 01.00. Rata-rata, 14-16 jam per hari. Tak ada waktu beribadah hingga makan yang diberikan tak layak. Naasnya lagi, mereka tak dapat gaji. Kalaupun ada yang digaji baru diberikan setelah 45 hari kerja. Mereka juga tak diberikan akses komunikasi.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dokumen pribadi mereka ditahan oleh pihak perekrut. Sehingga, ketika menerima denda hingga hukuman berupa kekerasan baik fisik maupun verbal, mereka kesulitan untuk lari. ”Kalau mau keluar harus menebus. Penebusan ini sebesar Rp 35 juta-Rp 150 juta. Atau pekerja pengganti, 2-3 orang,” jelasnya.

BUkan hanya itu, ketika mereka tidak mencapai target atau melakukan perusahaan, mereka akan dijual atau dilelang. Proses ini dilakukan melalui group Telegram dengan menyertakan foto diri dan paspor korban. Harga masing-masing korban beragam sesuai dengan kondisi.

Melihat kondisi yang kian mengkhawatirkan, Wahyu mendesak agar sosialisasi pencegahan perdagangan manusia dilakukan secara massif mulai dari tingkat desa, termasuk lingkungan pendidikan. Kemudian, perkuat sosialisasi modus-modus TPPO via online untuk kejahatan digital.

Penyebarluasan akun-akun yang digunakan pelaku kejahatan ke media sosial juga dinilai perlu dilakukan agar masyarakat lebih waspada. ”Pemerintah melalui kominfo bisa bekerja sama dengan media sosial, Facebook dan lain-lain untuk menyisir dan menutup akun-akun yang memuat informasi indikasi perekrutan untuk kejahatan digital,” pungkasnya.

Sebagai informasi, tiga tahun terakhir 1.841 kasus online scams yang melibatkan ribuan WNI berhasil diselesaikan oleh pemerintah. Para korban pun telah dipulangkan. Sayang, kasus tak berhenti di sana. Kasus TPPO industri kejahatan siber ini masih terus terjadi di ASEAN.(mif/jpc)