Berita Bekasi Nomor Satu

Pelangi Kesepian

 

Oleh: Dahlan Iskan

KETIKA Zulfani di tahanan polisi, ayahnya naik motor ke kota Manggar di ujung timur pulau Belitong. Dua kali. “Saya menemui orang yang melaporkan anak saya ke polisi,” ujar Hermanto, ayah Zulfani.

Hermanto ingin Zulfani, bintang utama film Laskar Pelangi, bisa dilepaskan dari tahanan.

Alamat si pelapor ia dapat dari anaknya sendiri. Yakni ketika Hermanto menjenguk sang anak di tahanan polisi di ujung timur pulau Belitong.

Hermanto tidak tahu dari mana Zul mendapat nama dan alamat si pelapor. Apakah dari polisi? Dari berkas pengaduan? Bisa iya. Bisa tidak. Yang jelas Zul tidak mengenal si pelapor.

Bisa saja polisi ikut berharap si pelapor mencabut laporannya. Agar tidak berkepanjangan. Polisi tidak boleh minta pelapor mencabutnya. Hanya terlapor atau keluarganya yang bisa mengupayakan itu.

Berdasar nama dan alamat itulah sang ayah pergi ke Manggar. Naik sepeda motor. Membelah pulau Belitong. Dari rumahnya di ujung barat ke Manggar di ujung timur. Harapannya satu: orang itu mau mencabut laporan.

“Orangnya masih muda. Lebih muda dari Zul,” ujar Hermanto. Ia sudah bekerja. Di meja goyang –istilah untuk pengayak tanah yang mengandung bijih timah.

Kedatangan Hermanto yang pertama disambut dingin. Sang ayah tidak berhasil mengusahakan pencabutan pengaduan. Pulang. Lalu datang lagi kali kedua. Sudah lebih diterima. Tapi tetap tidak mau mencabut laporan.

“Apakah masih akan ke sana lagi?” tanya saya.

“Tidak. Sudah tidak ada harapan,” katanya.

Saya ke rumah Hermanto bersama wartawati Yusnani dari tabloid Belitong Bertuah. Wartawan Belitong Ekspres membantu mencarikan alamatnya.

Rumah itu agak di pinggir kota Tanjung Pandan. Melewati jalan raya depan kejaksaan. Belok kiri. Masuk ke jalan kecil. Lalu masuk gang tanah berpasir. Masuk lagi ke anak gang yang lebih sempit. Lewat jalan setapak.

Ada tiga rumah berjauhan di ujung jalan setapak itu. Jalan buntu. Sepi. Sunyi. Tidak ada orang. Satu sepeda motor bebek terlihat  terparkir sendirian di bawah pohon manggis.

Salah satu dari tiga rumah itulah rumah ayah Zulfani. Ternyata ada orang di dalam rumah itu: sang ayah. Bersama ibunda Zulfani. Lalu ada anak perempuan kecil: itulah anak Zulfani dengan istri pertama. “Saya yang minta agar cucu saya ini tinggal di sini. Agar bisa sekolah lebih baik dibanding ikut ibunyi di desa,” ujar Hermanto.

Hermanto asli Minang, dengan sedikit darah Bugis. Ia lahir di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Satu daerah dengan Indra Sjafri, pelatih nasional sepak bola yang baru saja menjadi juara SEA Games. Beda kecamatan.

Hermanto asli Minang, dengan sedikit darah Bugis. Ia lahir di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Satu daerah dengan Indra Sjafri, pelatih nasional sepak bola yang baru saja menjadi juara SEA Games. Beda kecamatan.

Tamat SMP, Hermanto merantau ke Curup di pedalaman Bengkulu. Tiga bulan di Curup ia pindah rantau ke Palembang. Jualan rokok eceran. Lalu jualan baju dan sepatu.

Dari Palembang, Hermanto ke Tanjung Pandan di Belitong. Ada restoran Padang baru dibuka. Itulah restoran Padang pertama di Tanjung Pandan. Ia jadi pelayan di rumah makan itu.

Setelah kawin dengan gadis asli Belitong, Hermanto jualan baju dan kain. Cukup menghasilkan. Berkembang. Bisa sesekali mengajak istri ke Sumbar.

Ia pun bisa beli tanah yang ia tempati sekarang. Bisa membangun rumah di situ. Lalu beli tanah kebun 1 hektare yang lokasinya hanya sepelemparan batu dari rumahnya.

Dua tahun sebelum Covid usahanya redup. “Kalah dengan online,” katanya. Padahal usahanya itu cukup maju. Ia sering ke Jakarta kulakan baju. Dinaikkan kapal ke Belitong. Ia sendiri naik pesawat.

Ketika usaha kain dan baju itu berhenti, utangnya ke bank belum lunas. Ia terus mencicil dengan usaha lain. “Semoga empat bulan lagi lunas,” katanya.

Usaha lain yang ia maksud adalah ternak lele. Juga ikan hias. Ia memelihara lele di kolam yang asalnya seperti bekas galian timah. Cekungannya agak dalam.  Lokasi kolam itu di tengah rerimbunan pohon-pohon liar.

Saya minta langsung diajak ke kolam lele. Lewat halaman tetangga. Jalan setapak. Di sela-sela ilalang. Juga melewati  beberapa pohon manggis liar, cempedak alamiah, durian kampung dan pohon-pohon pisang yang kurus.

Ada 30.000 ekor lele yang sebenarnya sedang dibesarkan di cekungan kolam itu. Beberapa kolam lainnya kini kosong. Demikian juga kolam ikan hiasnya: seperti barang telantar. “Sejak ada masalah anak saya itu, lele saya kurang terurus,” katanya. “Memelihara lele itu harus seperti merawat bayi. Ini sudah lebih sebulan tidak terawat,” katanya.

Pun kebunnya. Sudah kembali penuh ilalang. Padahal awalnya sudah dibersihkan untuk ditanami pisang.

Di kebun itu, di dekat kolam lele, saya bertanya banyak hal soal Zulfani. Juga soal istri pertama Zul yang dikawini ketika Zul masih mahasiswa. Itu pacar Zul sejak SMP, bahkan SD.

Ketika Covid melanda dan Zul tidak punya pekerjaan lagi mereka bercerai. Punya anak satu. Tidak ikut ibu dan tidak ikut ayah. Dia ikut Harmanto di rumah kebun itu.

Bahwa belakangan Zul kawin lagi untuk kali ketiga, Hermanto tidak tahu. Tidak diberi tahu. Akhirnya ia mendengar: baru nikah siri. Baru sebulan lalu.

Istri ketiga itulah yang kini juga ditahan dengan tuduhan menipu hidung belang (Lihat Diswaykemarin).

Saya pun pamit. Harus segera ke bandara. Hermanto terus minta agar saya mau mampir dulu masuk rumah. Saya ikuti permintaannya. Dari kolam lele lewat samping rumah. Banyak bak semen yang kosong. Bak-bak itu aslinya untuk memelihara ikan hias. Untuk dijual.

Ini tipe rumah kampung zaman belakangan. Dibangun sekitar 20 tahun lalu. Ruang tamunya hanya cukup untuk satu set sofa lama yang berimpitan. Saya bersalaman dengan istrinya. Lalu bermain toast dengan anak perempuan 6 tahun itu.

Di dinding sebelah tempat saya duduk banyak foto digantung. Itulah foto-foto Zul saat diwisuda sebagai sarjana sinematografi IKJ Jakarta. Terlihat Hermanto dan istri ikut menghadiri wisuda itu.

Di dinding di seberang saya, terpasang poster film Laskar Pelangi yang sudah dipigura. Sudah mulai dimakan zaman. Zul berada paling depan di deretan bintang film di poster itu. Saya ajak Hermanto berfoto di depannya.

Sepulang dari Jakarta Zul tinggal di rumah itu. Ia belum punya rumah sendiri. Belum punya mobil. Ia punya sepeda motor bebek warna merah. Berarti ada dua sepeda motor di rumah itu.

Selama tidak ada pekerjaan Zul ikut mencangkul di kebun. “Membantu ayah,” ujar Zul ketika dilarang ayahnya ikut mencangkul. Zul, katanya, juga sempat jadi pembantu tukang batu. Termasuk jadi tukang cat.

Zul telah lama membuat bangga seluruh orang Belitong. Kini ia sendirian di dalam kamar tahanan. Ayahnya juga sendirian berjuang untuk salah satu dari empat anaknya itu.

Zul lagi bertransformasi dari keramaian ke kesepian. (Dahlan Iskan)