RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pengawasan terhadap Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia masih dianggap lemah. Kondisi ini dibuktikan, masih adanya praktik jual beli ijazah, kuliah fiktif hingga pelanggaran administrasi lainya yang berujung pada pencabutan izin operasional kampus.
Seperti diketahui secara keseluruhan ada 52 unit PTS bermasalah dan dijatuhi sanksi oleh pemerintah. Sanksi paling berat, yaitu pencabutan izin, dijatuhkan kepada 23 unit PTS. Dua diantaranya di Kota Bekasi, yakni STIE Tribuana dan Universitas Mitra Karya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyayangkan masih ada kejadian kampus yang ditutup izinnya karena melakukan pelanggaran. Dia mengatakan kasus seperti itu terulang terus, dan masyarakat menjadi korbannya.
’’Kenapa (masih terjadi)? Pertama pemerintah tidak melakukan pengawasan secara komprehensif,’’ tuturnya. Pengawasan yang dilakukan Kemendikbudristek atau jajaran di bawahnya, hanya sebatas visitasi yang jadwalnya sudah ditentukan. Sehingga kampus bisa menunjukkan yang baik-baik saja, saat jadwalnya divisitasi.
Menurut dia pengawasan harus dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus. Sehingga bisa dilakukan upaya pencegahan. Tidak sampai berujung pada pelanggaran berat, lalu izin dicabut, kemudian masyarakat jadi korban.
’’Yang kedua ada semacam simbiosis mutualisme,’’ katanya. Di satu sisi ada masyarakat berduit yang berharap mendapatkan ijazah dengan cara yang mudah. Dengan segala kesibukannya, mereka nekat membayar lebih mahal ke kampus yang penting ijazah bisa keluar.
Lalu di wilayah perkotaan seperti Jakarta, banyak pekerja yang ingin meningkatkan kualifikasi pendidikannya. ’’Mereka ini sudah bekerja. Tetapi mungkin waktu itu masih pakai ijazah SMA,’’ tuturnya. Di tengah jam kerja yang ketat, mereka tidak bisa melakukan kuliah dengan jam yang normal. Sebagai gantinya mereka mengambil kuliah akhir pekan saja, atau bahkan hari Minggu saja.
Menurut Ubaid, sejatinya negara sudah menyiapkan layanan kampus terbuka bagi masyarakat yang tidak memiliki waktu untuk kuliah konvensional. ’’Misalnya mengambil kuliah full online di Universitas Terbuka,’’ tuturnya. Tetapi mungkin karena masih terbatasnya informasi, masyarakat nekat mengambil kuliah akhir pekan saja di kampus swasta.
Untuk itu Ubaid menyarankan pemerintah mengubah regulasi layanan pendidikan tinggi. Sistem kuliah full di kampus apakah masih relevan dengan tuntutan perkembangan seperti sekarang ini. Jangan sampai masyarakat yang benar-benar ingin kuliah, tetapi memiliki waktu terbatas, dirugikan dengan praktik nakal kampus swasta.
Sementara itu, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tribuana perlahan mendapatkan titik terang, mereka saat ini tengah berupaya mencari tempat pelabuhan baru, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) lain di Bekasi. Pihak kampus sebelumnya menjelaskan bahwa pengembalian sejumlah uang hanya berlaku bagi mahasiswa yang mendapat beasiswa yayasan sebesar Rp3 juta per semester.
Informasi yang dihimpun Radar Bekasi, mahasiswa STIE Tribuana sudah mencari PTS swasta untuk melanjutkan pendidikan mereka begitu Surat Keputusan (SK) pencabutan izin keluar. Hanya saja, mahasiswa sempat mengeluh kesulitan untuk mendapatkan sejumlah dokumen, diantaranya surat pindah dan rangkuman hasil studi atau transkip nilai.
Mahasiswa yang belakangan khawatir dengan masa depan pendidikan mereka akhirnya mendapat titik terang usai perwakilan mahasiswa mendatangi LLDIKTI Wilayah IV. Saat ini mereka hanya perlu fokus dengan kampus tujuan, sementara ini terdata ada tiga PTS di Bekasi yang menjadi tujuan.
“Betul, jadi kita fokus ke kampus yang baru, menyerahkan bukti-bukti (terdaftar sebagai mahasiswa aktif) ke kampus yang baru,” kata salah satu mahasiswa, Budi, Minggu (11/6).
Ia dan kawan-kawannya lega setelah mendengar penjelasan LLDIKTI Wilayah IV, mereka dijanjikan untuk mendapat kemudahan dalam proses perpindahan.
Hal ini sebelumnya telah disampaikan oleh Kepala LLDIKTI Wilayah IV, Samsuri, dimana pihaknya bersama dengan Kemendikbudristek akan membantu verifikasi dan validasi data mahasiswa. “Nanti lldikti bersama kementerian akan bantu verifikasi dan validasi nya,” kata Samsuri belum lama ini.
Sementara itu, pada pertengahan pekan kemarin, Owner STIE Tribuana, Suroyo menepis kabar adanya biaya yang harus dikeluarkan pada proses perpindahan mahasiswa. Terutama mahasiswa yang selama ini terdata sebagai penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, ditegaskan bahwa mereka dapat mencari sendiri perguruan tinggi atau mengikuti saran yayasan sebagai penyelenggara pendidikan tinggi.
“Yang benar itu mahasiswa KIP silahkan bisa mencari kampus sendiri dan bisa diarahkan melalui yayasan tanpa ada pungutan satu peser pun,” katanya.
Lebih cepat lebih baik kata dia. Suroyo menyampaikan bahwa sejak surat pencabutan izin dikeluarkan, pihaknya telah menawarkan mahasiswa untuk pindah kampus, pihak kampus dan yayasan disebut tidak menghalang-halangi mahasiswa mendapatkan surat pindah dan transkrip nilai.
Sementara bagi mahasiswa yang selama ini menerima beasiswa yayasan, telah terikat dengan kontrak atau perjanjian. Sehingga menurutnya, perpindahan mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan sedianya harus mengikuti kebijakan yayasan.
“Iya (mahasiswa penerima beasiswa yayasan diminta mengembalikan uang Rp3 juta per semester) karena dia ada kontrak, (mahasiswa) yang lain tidak,” tambahnya.
Diuraikan bahwa mahasiswa menerima beasiswa dari beberapa sumber, diantaranya yayasan, Pemerintah Kota (Pemkot), Bantargebang, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), hingga beasiswa Indonesia Timur.
Terkait dengan keberlanjutan KIP Kuliahnya di PTS yang baru, dipastikan bahwa bantuan pendidikan ini masih bisa didapatkan oleh mahasiswa meskipun sudah pindah PTS.”Selama ada rekam jejak yang baik kita bisa berikan kembali,” ungkap Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Dikti Ristek), Lukman. (Sur/wan)