Berita Bekasi Nomor Satu

Dinilai Langgar Aturan, Warga Tolak Pembangunan TPST

SPANDUK PENOLAKAN : Sejumlah anak bermain di bawah spanduk penolakan pembangunan TPST, di Perumahan Kertamukti Residence, Cibitung, Kabupaten Bekasi, Rabu (5/7). ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rencana Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bekasi untuk membangun Tempat Penampungan Sampah Terpadu (TPST) yang berdekatan dengan perumahan warga, di Kecamatan Cibitung, mendapat penolakan, karena dinilai tidak sesuai ketentuan, dan radiusnya kurang dari 500 meter.

Warga khawatir, keberadaan TPST itu akan menimbulkan bau tidak sedap, dan menimbulkan penyakit.

Menurut salah seorang warga Perumahan Kertamukti Residence, Ibnu Hakim, penolakan ini dilakukan lantaran lokasi TPST yang akan dibangun DLH berdekatan dengan pemukiman warga.

Padahal, jika mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2013, jarak dari TPST ke pemukiman, seharusnya minimal 500 meter.

“Penolakan pembangunan TPST ini berasal dari warga dua perumahan, yakni Kertamukti Sakti Residen (KSR) dan Taman Kertamukti Residence (TKR). Alasan penolakan, karena TPST ini bertolak belakang dengan Peraturan Menteri PUPR tahun 2013, yang menyebutkan jarak dari TPST ke pemukiman seharusnya minimal 500 meter,” kata Ibnu, Kamis (5/7).

Jika mengacu pada satelit Google Maps, jarak lokasi TPST ke Perumahan TKR adalah 159 meter, dan dari Perumahan KSR kurang dari 100 meter.

“Jadi, kami mohon kepada para pemangku kebijakan, untuk memindahkan rencana pembangunan TPST ini, yang jaraknya terlalu dekat dengan pemukiman warga,” ujar Ibnu.

Sebagai bentuk penolakan, lanjutnya, warga telah memasang dua spanduk berukuran 4×2 meter di sekitar wilayah yang nantinya akan dijadikan TPST. Selain itu, pihaknya juga telah mengumpulkan tanda tangan warga, sebagai bukti bahwa warga sepakat untuk menolak pembangunan TPST tersebut.

Menanggapi hal ini, pihak DLH Kabupaten Bekasi, berencana untuk memberi pemahaman dan edukasi mengenai manajemen pengelolaan TPST, dengan metode Reuse, Reduce, dan Recycle (3R) kepada warga sekitar, sehingga kesehatan, kenyamanan dan kebersihan lingkungan warga tidak terganggu.

“Kami akan melakukan upaya musyawarah dengan warga yang menolak pembangunan TPST itu, agar ada win-win solution,” kata Juru Bicara DLH Kabupaten Bekasi, Jhon.

Ia menjelaskan, penanganan sampah menjadi salah satu persoalan yang tengah fokus ditangani oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi. Selain maraknya Tempat Penampungan Sampah (TPS) liar, kondisi ini juga disebabkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng, sudah mengalami kelebihan kapasitas atau overload.

Sedangkan Penjabat (Pj) Bupati Bekasi, Dani Ramdan mengatakan, untuk menanggapi persoalan ini, perlu strategi untuk melakukan desentralisasi pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi.

“Mindset pengelolaannya harus diubah, dari yang awalnya hanya buang di TPA Burangkeng, diganti dengan pengelolaan di tingkat paling bawah, mulai dari RT/RW, desa/kelurahan dan kecamatan,” terang Dani,

Ia berharap, di tingkat paling bawah, agar setiap RT dan RW memiliki bank sampah yang dikelola secara mandiri, untuk memilah sampah-sampah bernilai ekonomis, seperti kardus dan botol plastik.

“Kalau bank sampah itu kan kelembagaan mandiri, dalam rangka memanfaatkan kembali sampah rumah tangga, agar bernilai ekonomis, sehingga implikasinya ada penghasilan tambahan, di sisi lain mengurangi volume sampah yang diangkut ke TPA Burangkeng, karena sudah ada penyaringan di tingkat RT/RW, sehingga hanya residunya saja yang dibuang ke TPA,” ucap Dani.

Oleh sebab itu, kedepannya setiap desa harus memiliki Tempat Pengolahan Sampah dengan metode 3R, sebagai fasilitas menampung sampah plastik yang dikumpulkan masyarakat.

“Target kami dalam waktu empat tahun kedepan, Pemkab Bekasi sudah punya 187 TPS 3R, karena jumlah desa dan kelurahan ada 187. Ini akan diprioritaskan bagi desa yang siap sudah siap lahannya. Tidak bisa langsung, jadi harus dicicil, dan akan kami siapkan anggarannya,” beber Dani.

Begitu pula di tingkat kecamatan, yang nantinya akan dibuat TPST. Para camat, lurah dan kepala desa, diminta untuk mengedukasi masyarakat, agar rencana desentralisasi sampah tersebut bisa terwujud.

“Makanya saya dorong para camat, karena masalahnya ada dua. Pertama kesiapan lahan dan kesedian masyarakat. Karena image masyarakat, kalau ada TPS 3R atau TPST, akan menimbulkan bau dan lain sebagainya. Ini yang harus diberi pemahaman. Padahal, kalau TPST itu dikelola dengan baik, tidak akan ada bau,” tutur Dani.

Meski begitu, terdapat kriteria hingga sebuah lahan dinilai laik untuk dibangun TPS 3R dan TPST. Untuk TPS 3R, membutuhkan lahan sekitar 2.000-3.500 meter persegi. Sedangkan untuk TPST, butuh lahan seluas 1-2 hektar.

“Kemudian, aksesnya harus mudah, truk, baktor harus bisa masuk ke dalam. Ketiga memang sebaiknya tidak dekat dengan pemukiman warga. Tapi walaupun lokasinya ada yang dekat, berarti disiplin teknologi dan pengelolaannya harus tinggi, supaya tidak bau dan sampah ada yang tercecer,” pungkas Dani. (and)