Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Warga Miskin Ekstrem Bertambah

Illustrasi Kawasan Kumuh: Sampah menumpuk di permukiman warga Cikarang Utara Kabupaten Bekasi, Minggu (6/6). Permukiman kumuh menjadi salah satu pemicu penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Bekasi. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kondisi perekonomian yang belum stabil saat ini, mempengaruhi kenaikan jumlah warga miskin. Beberapa basis data menyajikan perbedaan angka, diperkirakan jumlah masyarakat miskin ekstrim di Kota Bekasi separuh dari data jumlah warga miskin Badan Pusat Statistik (BPS).

Data angka kemiskinan terakhir BPS berdasarkan kabupaten dan kota di Jawa Barat, jumlah penduduk miskin di Kota Bekasi sebanyak 137,39 ribu jiwa, dengan jumlah penduduk miskin ekstrim tahun 2022 sebanyak 61,75 ribu jiwa. Maret kemarin, persentase penduduk miskin di Jawa Barat dilaporkan menurun di angka 7,26 persen atau 3,89 juta orang.

Sementara garis kemiskinan Kota Bekasi sebesar Rp731.392 pada tahun 2022, pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk hidup di Kota Bekasi. Sedangkan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan keluarga di Bekasi sebesar Rp2.569.193, untuk konsumsi semua anggota keluarga selama sebulan.

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bekasi, Alexander Zulkarnaen mengatakan bahwa pihaknya bersama dengan petugas pendamping sosial tengah melakukan pembersihan data, sebelum dilanjutkan mendata secara detail dari rumah ke rumah.

Target pada tahun 2024 kata dia, yakni mengentaskan kemiskinan ekstrim. Saat ini, berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) jumlah warga miskin dan rentan miskin di Kota Bekasi mengalami penurunan.

“Dari 1.018.000 yang ada di DTKS sekarang sudah mulai berkurang, menjadi 920an (ribu) lah kira-kira seperti itu. Kalau sudah bersih baru kita Door to Door,” katanya, Kamis (27/7).

Berdasarkan data BPS kata Alex, jumlah warga miskin di Kota Bekasi sebanyak 137 ribu jiwa. Sementara berdasarkan data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE), jumlah warga miskin ekstrim berkisar 350 ribu jiwa.

Berdasarkan kedua data tersebut, terjadi perbedaan antara jumlah warga miskin dengan jumlah warga miskin ekstrim. Data jumlah warga miskin ekstrim ini akan menyasar masyarakat dengan pendapatan paling rendah sesuai dengan garis kemiskinan Kota Bekasi.

“Ini memang perlu kerja keras kita, dan sudah mulai jalan sebetulnya perbaikan data itu, tapi memang perlu waktu cukup lama juga, itu harus Door to Door,” ungkapnya.

Upaya untuk menangani kemiskinan kata dia, sudah berjalan di Kota Bekas, mulai dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sementara di Kota Bekasi, pemerintah belakangan telah memberikan BLT untuk menanggulangi dampak inflasi, memberikan beasiswa kepada siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu di sekolah swasta, hingga perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu).

Semua program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah kata dia, menyasar warga miskin.

“Jadi banyak yang terlibat disitu (pengentasan kemiskinan), semuanya berkolaborasi bagaimana mengatasi kemiskinan ekstrim,” tambahnya.

Terpisah, Pengamat Ekonomi STIE Mulia Pratama, Andi Muhammad Sadli menilai perhitungan yang dilakukan oleh BPS meliputi banyak variabel.”Jadi saya kira kita percaya lah BPS, karena dia melakukan sensus, disitu banyak variabel yang digunakan, banyak dimensi yang digunakan, dan setiap dimensi itu punya indikator,” katanya.

Secara teoritis, kemiskinan terdiri dari kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Perhitungan kemiskinan kata dia, selalu absolut, menggunakan standar hidup minimum seperti pendapatan atau pengeluaran masyarakat di suatu wilayah dalam waktu tertentu.

Lebih lanjut, kemiskinan memiliki banyak dimensi yang bisa digunakan untuk menentukan tingkat kemiskinan, mulai dari dimensi sosial, pendidikan, hingga kesehatan. Selain itu, ia menegaskan bahwa standar hidup minimum hingga seseorang dikatakan miskin berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain.

Untuk mencapai target pemerintah, diperlukan data yang seragam oleh semua lembaga.
“Saya kira gini, yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menghitung dan memetakan angka kemiskinan itu kan BPS, dan saya kira BPS tentu saja lebih rigid melakukan perhitungannya,” tambahnya. (sur)