Berita Bekasi Nomor Satu

Jejak Sejarah Berkembangnya Kawasan Industri di Kabupaten Bekasi

KAWASAN INDUSTRI: Foto udara pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan kawasan industri GIIC di Bojongmangu Cikarang Pusat Kabupaten Bekasi, Senin (14/8). Wilayah Bojongmangu yang memiliki geografis perbukitan menjadi sasarn perluasan kawasan industri.ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kabupaten Bekasi bersamaan dengan pesatnya aktivitas industri, telah menjelma menjadi simbol utama dari daerah industri yang menonjol di wilayah ini. Faktor kunci ini tercermin dalam jumlah kompleks industri yang tersebar di berbagai sudut.

Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Bekasi, saat ini lebih dari 7.500 pabrik, baik yang berskala nasional maupun multinasional, beroperasi di wilayah ini. Ribuan perusahaan ini tersebar di 11 kawasan industri, yaitu Kawasan Industri Jababeka, MM2100 Industrial Town BFIE, Greenland Internasional Industrial Center (GIIC), Lippo Cikarang, MM2100 Industrial Town MMID, Marunda Center, East Jakarta Industrial Park (EJIP), Terpadu Indonesia China, Bekasi Internasional Industrial Estate, Gobel, dan Delta Silicon 2.

Perkembangan industri yang dinamis dan pesat di Kabupaten Bekasi tidak hanya mengubah pemandangan kota, tetapi juga memberikan dampak signifikan bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam perjalanan ini, dampak yang timbul mencakup dua sisi mata uang, yaitu dampak positif yang membawa manfaat dan dampak negatif yang menjadi fokus penyelesaian. Pentingnya sektor industri dalam perekonomian Kabupaten Bekasi tidak dapat dipungkiri. Ketergantungan pada sektor perindustrian telah menjadikan wilayah ini sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang solid.

Sejarah berkembangnya industri di Bekasi dapat ditilik kembali dari karya Endra Kusnawan dalam bukunya “Sejarah Bekasi”. Sejarah awal pendirian pabrik modern pertama di Bekasi dimulai dengan pabrik gula. Berdasarkan dokumen ANRI RCH No. 15, tanggal 10 Mei 1721, fol. 61, terungkap bahwa pengusaha Cina Kapitan Que Bouqua meminta izin kepada Heemraden (lembaga VOC yang mengurusi tanah) untuk membuka dua pabrik gula di tanahnya di Bekasi. Kemudian, pada dokumen RCH No. 20, tanggal 15 Maret 1732, fol. 54, disebutkan bahwa pengusaha Cina Letnan Ni Locqua memohon izin kepada Heemraden untuk mendirikan pabrik gula di tepi Sungai Bekasi.

Dokumen RCH No. 30, tanggal 24 Januari 1767, fol. 380, juga mencatat jumlah dan pemilik pabrik gula pada saat itu. Catatan Heemraden mencatat bahwa pada periode 11 Desember 1766 hingga 16 Januari 1767 terdapat 82 pabrik gula di sekitar Batavia, di antaranya 12 berada di tepi Sungai Bekasi dan tiga pabrik lainnya agak jauh dari sungai.

Pabrik-pabrik yang agak jauh dari Sungai Bekasi berada di daerah Kaliabang, Kedaung, dan Teluk Buyung, dimiliki oleh Mr. Sander. Sementara pabrik-pabrik di tepi Sungai Bekasi berlokasi di Tanah Dua Ratus dan Teluk Angsan, masing-masing dua pabrik dimiliki oleh E. Van Jansen, dan dua pabrik di Karang Congok dimiliki oleh Kou Tjan Ko. Ada satu lagi di Penggilingan Tengah, dua di Kebalen, satu di Teluk Pucung, dan dua di Penggilingan Baru, semuanya dimiliki oleh Mr. Sander.

Selain itu, Jessen dan Trail juga terlibat dalam pendirian pabrik gula di Karang Congok pada 1822-1823. Lokasinya tepatnya di Kampung Gabus, Tambun. Selain pekerja lokal, banyak buruh berasal dari Cirebon. Meskipun pabrik-pabrik ini telah ditutup, banyak dari pekerja tersebut memilih tinggal di Gabus daripada kembali ke kampung halaman. Limbah dari pabrik-pabrik ini dibuang ke Sungai Bekasi.

Pada 1825, Sultan Cirebon memerintahkan pengiriman penduduknya dalam jumlah besar ke Bekasi untuk bekerja sebagai buruh pabrik gula. Mereka yang dikirim merupakan penduduk yang dianggap merepotkan dalam wilayah kekuasaan sultan. Sejak saat itu, Bekasi menjadi dikenal sebagai daerah yang rawan terhadap aksi kriminal.

Sebagian besar dari orang-orang yang dikirim ke Bekasi adalah pelaku kriminal, seperti perampok, pembunuh, atau pencuri. Mereka banyak bermukim di daerah Babelan, Kebalen, Gabus, dan Pisangan. Kehadiran sejumlah pabrik gula di daerah ini membuat mereka menjadi pekerja di sana. Pendirian pabrik gula ini berawal dari permintaan yang tinggi akan gula di pasar dunia. Karena permintaan yang besar dan potensi ekonomi yang menjanjikan, ribuan hektar sawah diubah menjadi perkebunan tebu.

Tak hanya pabrik gula, pabrik penggilingan padi juga ada di Lemahabang, Michels-Arnold. Berdiri sejak 1920-an, pabrik ini terletak di sebelah Stasiun Kereta Lemahabang. Padi yang digunakan berasal dari berbagai tempat, termasuk Jonggol dan Cibarusah, yang berkembang pesat setelah jalur kereta api datang. Setelah digiling menjadi beras, beras tersebut didistribusikan ke berbagai tempat melalui Stasiun Lemahabang.

Pada masa pemerintahan Suko Martono (1983-1993), Bekasi mulai dikenal sebagai kota industri utama di Indonesia. Pembangunan ini didasarkan pada Keputusan Presiden RI No. 53 tahun 1989 tentang Kawasan Industri dan Peraturan Daerah No. 13 tahun 1989 Jo. Peraturan Daerah No. 15A tahun 1989 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten DT. II Bekasi. Permintaan lahan industri yang tinggi mendorong pemerintah untuk menetapkan zona industri seluas kurang  lebih 6.000 hektar di Lemahabang dan Cibitung. Di Lemahabang, meliputi Desa Sukaresmi, Cibatu, Pasirgombong, Pasirsari, dan Jayamukti. Sedangkan di Cibitung meliputi Desa Harjamekar, Danau Indah, Jatiwangi, Mekarwangi, Gandamekar, dan Gandasari.

Dimulai dengan pembebasan tanah pada 1989 di wilayah Cikarang. Namun baru pada 1992 wilayah ini dikembangkan dengan serius oleh para pengembang sebagai kawasan industri. (mg1/oke)