RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Rencana Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengusulkan revisi Peraturan Presiden
(Perpres) No.35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi
Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, dinilai pakar energi sebagai langkah mundur.
Usulan tersebut disampaikan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi saat bertemu Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Rabu malam (30/8/2023).
Salah satu poin revisinya, penanganan sampah akan menyesuaikan kondisi di daerah masing-masing. Di DKI Jakarta, kata Heru, paling cocok membuat fasilitas pengelolaan sampah dengan metode Refuse-Derived Fuel (RDF) ketimbang Intermediate Treatment Facility (ITF).
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan rencana tersebut sebagai langkah mundur karena tidak mengikuti kebutuhan Jakarta dalam pengelolaan sampah menjadi energi terbarukan.
Menurut Ali, pengelolaan sampah yang dibutuhkan di Jakarta adalah memilih mana lebih efektif
mengolah sampah dengan cepat dan tuntas, karena Jakarta adalah kota besar dengan penduduk
yang padat dengan produksi sampah yang tinggi sekitar 8.000 ton per hari.
“Jakarta dengan volume sampah 8.000 ton per hari dan kota besar lain, seperti Bekasi 1.600 ton
per hari, lebih tepat dengan teknologi ITF karena lebih efektif mengurangi timbulan sampah di
Jakarta maupun di tempat pembuangan akhir,” kata Ali, dalam keterangan tertulis, Kamis (31/8/2023).
BACA JUGA: Wali Kota Bekasi Diminta Tidak Terburu-buru Umumkan Perusahaan Pemenang Tender PLTSa TPA Sumurbatu
Menurut Ali, ITF sudah digunakan di banyak negara dan berbagai kota besar dunia, seperti Singapura, Tokyo, serta kota-kota di Eropa dan Amerika. Tetangga terdekat Indonesia, Singapura,
sudah memiliki 5 unit ITF untuk menyelesaikan masalah sampah di negara kota tersebut.
Demikian pula dengan kota-kota besar lainnya di dunia telah menggunakan ITF. “Bahkan ITF di
Jepang ada di tengah kota, di dekat rumah sakit dan dekat mall, karena tidak berbahaya,” kata Ali.
Menurut Ali, teknologi ITF bisa mengolah segala macam sampah dengan membakar habis lebih
dari 90℅, sisanya tinggal residu, yang juga dimanfaatkan. Sampah yang masuk ke fasilitas ITF
meliputi banyak jenis sampah, sampah basah dan kering, tanpa harus dipilah terlebih dahulu.
Proses dilakukan dengan pembakaran oksidatif pada suhu 850 – 1.400 derajat Celcius. Pada suhu tersebut, sampah dalam kondisi apapun akan terbakar dan hancur.
BACA JUGA: Respons Wali Kota Bekasi Soal Diminta Jangan Terburu-buru Tetapkan Investor PLTSa TPA Sumurbatu
“Sekarang teknologi insenaratornya sudah umum diterapkan di dunia karena sekarang sudah
semakin maju, prosesnya tertutup sehingga asap pembakarannya tidak keluar dari fasilitas ITF, sehingga relatif aman, selain itu kita dapat listrik dari proses yang ramah lingkungan,” kata doktor
bidang waste managemen dan biomassa dari Universitas Indonesia itu.
Sedangkan RDF hanya dapat mengolah sampah maksimal 30%, sehingga sisanya harus diolah
kembali dan tetap menjadi timbulan sampah di TPA sehingga sampah tidak cepat terurai dan
berpotensi menimbulkan tumpukan sampah kembali.
Selain itu proses pengeringan sampah melalui fasilitas RDF butuh waktu yang relatif lama,
sementara timbulan sampah di Jakarta tiap harinya bertambah dalam jumlah besar.
Ditambah lagi, tidak semua jenis sampah bisa diolah dengan teknologi pengeringan RDF.
Dia mencontohkan, hanya 10% kadar air dari tongkol jagung yang bisa dikeringkan melalui RDF.
Sisanya, sebesar 90%, tetap menjadi sampah yang tidak terolah.
Dari hasil pembakaran sampah, dengan ITF atau insinerator hasilnya langsung dikonversi menjadi listrik yang bisa digunakan untuk konsumsi internal (menekan biaya operasional) maupun dijual
ke perusahaan lain (industri terdekat maupun PLN). Sedangkan RDF hasilnya berupa biopelet
untuk dijual ke PLN sebagai co-firing atau pembakaran bersama di PLTU batubara sehingga
memperpanjang umur PLTU Batubara yang sebenarnya dalam proses dipensiunkan.
Ali mendorong pemda DKI Jakarta agar segera melanjutkan rencana sebelumnya yang akan mengoperasikan proyek Fasilitas Pengelolahan Sampah Antara (FPSA) atau Intermediate
Treatment Facility (ITF) di beberapa titik di Jakarta. Proyek yang menggunakan teknologi
insinerator atau moving grate incenerator dinilai lebih efektif mengurangi timbunan sampah di
Jakarta saat ini maupun di masa mendatang.
Ali menilai, rencana penggunaan RDF tidak seharusnya menghentikan pembangunan insinerator.
Sebelumnya Haru mengatakan, melalui perbaikan Perpres nomor 35 tahun 2018, penanganan
sampah di Jakarta akan lebih fleksibel menyesuaikan kondisi di daerah masing-masing.
“Terkait fleksibilitas untuk menyelesaikan sampah, jadi pakai teknologi apa aja sesuai dengan
kondisi daerah masing-masing, misalnya Medan pakai apa, Jakarta cocoknya RDF ya RDF,
Surabaya cocoknya pakai teknologi ITF, ya, silakan,” jelasnya. (rbs)