RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rotasi dan mutasi pejabat di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi sudah dua kali dilakukan sejak Tri Adhianto menjabat sebagai wali kota definitif, beberapa pihak berharap langkah ini tidak berdampak pada netralitas ASN. Netralitas ASN menjadi topik pembahasan dalam berbagai forum, pengawasan ASN menjelang pemilu serentak dilakukan oleh pemerintah lewat sistem yang telah dibuat.
Berbagai alasan mengharuskan ASN bersikap netral dalam Pemilu 2024, mulai dari mencegah intervensi yang tidak adil, menjaga pemilihan yang setara bagi semua peserta Pemilu, hingga menjaga kepercayaan publik. Beberapa waktu lalu Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah merilis Sistem Berbagi Terintegrasi (SBT) untuk mengawasi netralitas ASN.
Usai melantik 125 PNS Eselon III dan IV beberapa waktu kemarin Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto menampik rotasi mutasi tersebut dilakukan untuk mempertahankan suara pemilih pada Pilkada Kota Bekasi. Ia menyebut bahwa rotasi mutasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi, mengisi beberapa jabatan kosong di Pemkot Bekasi, serta telah sesuai dengan pertimbangan Baperjakat.
“Artinya banyak yang harus diisi, ya kalau isi satu kira-kira yang lain gerak nggak ?, Ya sudah itu saja jawabannya. Engga ada lah, orang kebutuhannya organisasi kok,” katanya belum lama ini.
Usai dilantik menjadi wali kota definitif, beberapa jabatan di lingkungan Pemkot Bekasi memang diketahui kosong, diantaranya empat jabatan kepala OPD, yakni Kesbangpol, Disperkimtan, DBMSDA, dan Dishub. Bahkan, Sekertaris Daerah (Sekda) Kota Bekasi pun saat itu kosong, masih duduki oleh Penjabat (Pj).
Akhir bulan Agustus, 11 pejabat eselon II dilantik, salah satunya adalah Sekda Kota Bekasi. Saat itu, ia meminta kepada belasan pejabat yang dilantik untuk menjaga kehangatan dan suasana damai mendekati Pemilu Serentak, terutama Kepala Kesbangpol dan Inspektorat yang dinilai perannya sangat fundamental.
“Berharap betul ASN memiliki netralitas dan membantu sosialisasikan pelaksanaan Pemilu damai pada tahun 2024 mendatang, abdi negara harus menjadi guide kepada masyarakat, agar menjalankan Pemilu untuk kelanjutan kedepannya,” ungkapnya.
Menjelang akhir pekan kemarin, 50 pejabat eselon III dan 75 pejabat eselon IV dilantik, beberapa diantaranya memiliki tugas untuk optimalisasi pendapatan daerah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Menanggapi kekhawatiran rotasi mutasi dilakukan beraroma politis, Peneliti Kebijakan Publik IDP-LP, Riko Noviantoro menyebut bahwa rotasi mutasi menjadi kewenangan kepala daerah sesuai dengan ketentuan pasal 65 ayat (1) Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 2014.
Namun kata Riko, rotasi mutasi memiliki rambu-rambu yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan, yakni upaya peningkatan kinerja organisasi. Dalam hal ini yang paling utama adalah tercapainya pelayanan publik secara optimal.
Selain itu, sesuai mekanisme dilakukan melalui penjaringan dan seleksi yang memenuhi kaidah merit sistem, yakni menempatkan pejabat sesuai kapasitas dan persyaratan administrasi yang dipertimbangkan oleh Baperjakat.
“Terkait rotasi di pemerintahan Kota Bekasi saat ini lebih bernuansa politis, karena dilakukan jelang masa berakhir jabatan kepala daerah,” ungkapnya.
Menurutnya, rotasi mutasi lebih ideal dilakukan sebelum masa jabatan atau saat wali kota masih berstatus Pj wali kota. Meskipun, proses rotasi mengikuti pertimbangan dari Baperjakat.
Menurutnya rotasi mutasi jabatan bernuansa politik dikhawatirkan dapat menurunkan kinerja pemerintahan. Wali kota harus menjaga iklim pemilu berjalan baik, dengan cara mendorong praktek netralitas ASN selama pemilu serentak.
“Sanksi dipastikan dapat diberikan jika ASN terbukti bersikap tidak netral,” tambahnya.
Sementara itu, Pengamat Politik, Ainur Rofiq mengatakan bahwa dari sudut pandang politik bisa saja asumsi rotasi mutasi untuk mendapat dukungan saat Pilkada muncul.
Namun, itu tidak bisa serta merta dibenarkan lantaran belum ada keputusan pasti Tri Adhianto mencalonkan atau dicalonkan sebagai calon Wali Kota Bekasi pada Pilkada 2024.
“Dari sisi mempersiapkan bisa saja, tapi kan kita masih belum tahu ini apakah beliau nanti naik ?. Tapi (rotasi mutasi) dalam konteks pemerintahan wajar,” ungkapnya.
Dari sisi pemerintah kata dia, rotasi mutasi bisa saja harus dilakukan lantaran sesuai dengan kebutuhan organisasi. Sisi lain, rotasi mutasi yang sudah dua kali dilakukan ini juga bisa dilatarbelakangi status sebelumnya masih Pelaksana Tugas (Plt) sehingga memiliki keterbatasan, belum berstatus wali kota definitif.
Lebih lanjut, dibutuhkan pengawasan hingga peraturan tegas terkait dengan netralitas ASN. Selama ini, diharapkan ASN dapat bersikap netral dan tidak dalam pengaruh politik, meskipun dalam praktiknya tidak berjalan ideal.
“Selama ini kan kita berharap birokrasi bisa netral dan lain sebagainya, tidak terpengaruh oleh yang namanya kandidasi dan lain sebagainya,” katanya.
Sekedar diketahui, tiga UU tegas menyebut ASN harus netral, salah satunya adalah UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan kepala Daerah (Pilkada). Sanksi pelanggaran netralitas pada UU tersebut dapat dikenakan sanksi pidana paling lama enam bulan penjara dan denda paling banyak Rp6 juta. (sur)