Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Bullying di Sekolah Marak di Bekasi

Kasus Kekerasan Terhadap Anak Meningkat

ILUSTRASI: Sejumlah siswa SMPN 28 Kota Bekasi berada di lingkungan sekolah saat jam istirahat, belum lama ini. Perundungan atau bullying terhadap anak masih menjamur di lingkungan sekolah wilayah Kota Bekasi. DEWI WARDAH/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Perhatian orang tua terhadap anak saat ini mesti ditingkatkan lagi, hal ini seiring tingginya kasus perundungan atau bully hingga kekerasan terhadap anak. Ya, kasus perundungan tidak mengenal tempat, bisa terjadi di lingkungan bermain anak, keluarga, bahkan lembaga Pendidikan. Upaya sosialisasi yang telah digaungkan beberapa tahun belakangan belum mampu menyudahi kekerasan terhadap anak.

Aksi perundungan atau bully di lembaga sekolah terjadi di setiap tingkatan pelajar, mulai dari SD hingga SMA sederajat. Tidak hanya berupa fisik, bully juga menyerang psikis anak, seperti hinaan dan ejekan.

“Sekarang anak-anak SD itu sudah berani ngebully temannya. Bahkan, ada salah satu siswa akhirnya tidak mau sekolah lagi karena kerap dibully oleh temannya. Padahal tidak dipukul, tapi berupa ejekan,”kata koordinator kelas, salah satu sekolah swasta di Bekasi Selatan yang tidak ingin disebutkan namanya di media.

Kondisi ini juga terjadi di SMPN 1 Babelan. Sebanyak 8 orang kelas VII menjadi korban bully oleh kakak kelasnya. Mereka dipukul wajahnya dengan menggunakan sandal berulang kali. Bahkan aksi perundungan yang dilakukan sempat viral di media sosial. Aksi perundungan itu diduga dilakukan di perkampungan dekat SMPN 1 Babelan.

Humas SMPN 1 Babelan, Maradum Tambunan, membenarkan bahwa delapan siswa yang menjadi korban perundungan itu merupakan siswanya. Menurutnya, peristiwa itu terjadi sekitar seminggu yang lalu.

Dari hasil penelusuran pihak sekolah, kata Maradum, aksi perundungan itu diduga dilakukan oleh siswa kelas tiga. Sedangkan korbannya siswa kelas 1 dan kelas 2 SMPN 1 Babelan. Berdasarkan pengakuan pelaku, aksi perundungan itu dilakukan atas perintah alumni SMPN 1 Babelan. Alasannya, perundungan itu sebagai tradisi antara senior kepada juniornya.

Pihak sekolah masih menelusuri kasus ini dengan memanggil seluruh siswa yang menjadi korban dan pelaku perundungan. Seluruh siswa yang terlibat juga masih dalam pengawasan dan pembinaan pihak sekolah. Atas kejadian tersebut, pihak sekolah melakukan pemanggilan terhadap tiga sampai empat siswa kelas 3. Sedangkan korban mencapai 10 orang.

“Kalau korban kurang lebih ada 10 orang, pihak sekolah akan melakukan pembinaan dulu nanti melalui wali kelas dan BK, orang tua pelaku dan korban sudah bertemu,” ucapnya.

Berdasarkan data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bekasi, kasus perundungan cukup banyak terjadi di satuan pendidikan. Khusus bullying atau perundungan di lembaga satuan pendidikan sendiri yang masuk laporan ke UPTD PPA ada 10 kasus. Sementara kasus kekerasan anak sampai saat ini ada 111.

Bahkan dari beberapa kejadian perundungan yang sudah ditangani UPTD PPA, tidak hanya di tingkat SMA dan SMP saja. Tapi sudah terjadi di SD. “Kasus perundungan ini terjadi bukan hanya di tingkat SMP, SMA. Namun di tingkat SD juga ada. Perundungan itu ada yang jenis fisik, psikis, mengucilkan, sehingga anak itu tidak mau beraktivitas sekolah. Kasus perundungan itu cukup banyak,” ujar Kepala UPTD PPA DP3A Kabupaten Bekasi, Fahrul Fauzi, saat dimintai keterangan.

Menyikapi aksi perundungan terhadap siswa di SMPN 1 Babelan, kata Fahrul, termasuk kekerasan fisik karena dari senior ke junior. Sebenarnya UPTD PPA menangani kasus perundungan juga, namun memang prosesnya cukup lama, karena biasanya ada ego dari masing-masing orang tua. Misalkan sifatnya perorangan. Sedangkan perundungan di SMPN 1 Babelan informasi sudah menjadi budaya para siswa disana.”Saya sudah dapat laporan, jadi memang ini katanya sudah budaya. Istilahnya penataran senior ke junior,” tuturnya.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, Novrian mengatakan bahwa laporan kasus perundungan setahun terakhir mengalami peningkatan. Tahun 2022 lalu, KPAD mencatat empat laporan kasus perundungan, sampai dengan bulan September 2023 KPAD telah menerima laporan enam kasus.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi kasus perundungan, baik dilakukan oleh pelaku perorangan maupun kelompok. Ada berbagai bentuk perlakuan tergolong perundungan, seperti diskriminasi lantaran anak memiliki keterbatasan fisik, dan lain sebagainya.

“Pengasingan itu juga bentuk dari bullying, jadi anak-anak itu diasingkan, didiskriminasikan karena mungkin keterbatasan fisiknya. Bully bukan hanya terjadi antar anak, terkadang bisa jadi guru, tanpa disadari,” ungkapnya.

Contohnya, menjadikan anak sebagai objek percontohan perilaku tidak baik atau tidak disiplin, padahal tindakan ini tidak menjamin anak berubah menjadi lebih baik. Begitu juga dengan orang tua, perundungan di lingkup privat terjadi saat orang tua membandingkan anak atau menyinggung kondisi fisik anak.

Diakui Novrian, bahwa tidak mudah membuktikan perilaku perundungan non verbal, kecuali disertai dengan kekerasan fisik. Pendekatan hukum tidak menjadi pilihan utama dalam penyelesaian kasus perundungan ini, terlebih jika kasusnya terjadi antara anak.

“Kalau pelakunya orang dewasa, dan tingkat bullynya itu sudah pada kekerasan fisik dan itu membahayakan anak, mau nggak mau proses hukumnya harus berjalan,” ucapnya.

Belum lama ini, KPAD dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) telah berkeliling sekolah untuk mensosialisasikan pencegahan bullying. Sosialisasi dilakukan kepada anak, orang tua, serta guru sekolah.

Selanjutnya, akan dibentuk satgas anti kekerasan di sekolah, sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) nomor 46 tahun 2023. Satgas yang dimaksud Novrian terdiri dari siswa, guru, dan orang tua atau komite sekolah.

Ia mengingatkan agar sekolah tidak selalu memutuskan untuk memberhentikan bahkan menskorsing siswa pelaku perundungan. Menurutnya, sanksi tersebut bukan solusi, serta tidak mencerminkan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan.

“Kalau mengeluarkan saja kan apa sebenarnya fungsi sekolah. Fungsi sekolah itu kan mendidik anak yang tadinya tidak baik menjadi baik sebenarnya,” tambahnya.

Kemarin, KPAD Kota Bekasi tengah mendampingi anak R10), korban penganiayaan ayah kandung. Peristiwa yang terjadi di rumah kontrakan di kawasan Kecamatan Jatiasih tersebut diketahui setelah guru R di sekolah mencurigai perubahan perilaku R.

Setelah dilakukan pemeriksaan, terdapat bekas luka di badannya, diduga akibat menerima kekerasan dari orang tuanya. Malam kemarin, nampak komisioner KPAD bersama dengan beberapa petugas lain dari Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bekasi mendampingi anak R di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasbullah Abdulmajid. (pra/sur)