RADARBEKASI.ID, BEKASI – Masyarakat Bekasi kini tidak bisa lagi berbelanja atau berjualan melalui Layanan aplikasi media sosial (medsos). Pasaalnya, pemerintah sudah melarang Medsoss ebagai lapak jualan online (e-commerce). Jika masih ada yang membandel, bakal langsung diblokir oleh Kementerian Kominfo.
Ya, berbagai keluhan bermunculan usai media sosial difungsikan sebagai pasar bagi barang dan jasa, diduga ada praktik Predatory Pricing hingga ancaman mematikan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Ada berbagai alasan mendasari konsumen memilih berbelanja di Social Commerce, terutama Live Shopping. Konsumen mendapatkan penjelasan menarik dari host, potongan harga, terlebih harganya yang dinilai relatif lebih murah.
Salah satu warga Bekasi, Rina (53) mulai memasarkan produk pakaian wanita di media sosial pada tahun 2020 silam. Pekerjaannya sebagai guru fokal di sekolah saat itu terganggu akibat Pandemi Covid-19, ia juga membuka privat di rumah.
Situasi tersebut membuat ia memilih untuk berjualan di platform media sosial Face Book (FB), latarbelakang sebagai MC membuat ia mudah beradaptasi, menawarkan produknya dengan baik saat live di FB. Begitu penonton tertarik dengan barang yang ditawarkan, transaksi memang tidak terjadi saat itu juga, komunikasi berlanjut lewat aplikasi perpesanan yang menghubungkan ia dengan konsumen.
“Saya sendiri memang transaksi langsung ke WA sih, mereka hanya bisa lihat disitu (siaran langsung FB), selanjutnya lewat WA,” katanya, Senin (25/9).
Lewat cara ini, ia bisa mendapatkan keuntungan Rp600 hingga Rp800 ribu dalam sehari. Busana wanita ia jual sama dengan harga pasar, sehingga keluhan terhadap Social Commerce seperti saat ini tidak terdengar dari pada pedagang atau pelaku UMKM.
Tapi, saat ini kondisinya berbeda, omsetnya ikut turun, kalah dengan Social Commerce lain. Ia mengaku masih bertahan dengan aktifitasnya berjualan di FB hingga saat ini.”Walaupun tidak sebagus dulu, tapi paling tidak masih jalan dan bisa membantu perekonomianku,” ucapnya.
Sejauh yang ia ketahui, penjualan barang dengan harga dibawah pasaran menjadi penyebabnya. Tidak jarang mereka yang berjualan di media sosial adalah tangan pertama, baik distributor maupun produsen langsung.
Keputusan pemerintah untuk melarang Social Commerce digunakan untuk jualan tidak tepat, pemerintah hanya perlu mengatur dan membuat batasan-batasan tertentu. Seperti berjualan dalam bentuk video atau foto, sedianya tidak perlu dilarang.
Hal lain yang perlu diatur adalah produsen atau distributor yang menjual secara langsung di media sosial.”Jangan dilarang sama sekali. Kalau dilarang sama sekali, pemerintah bisa kasih makan kami, kasih kerjaan kami, kan nggak bisa,” ungkapnya.
Keputusan larangan Medsos sebagai lapak jualan merupakan hasil rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Jakarta kemarin (25/9). Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan, dari rapat itu dilakukan revisi Permendag 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
“Pertama, isinya (revisi Permendag) sosial commerce (termasuk medsos) hanya boleh memfasilitasi promosi barang dan jasa,” katanya usai rapat. Aplikasi medsos atau sosial commerce tidak boleh transaksi langsung atau penjualan langsung. Fungsinya seperti televisi saja. Yaitu, sebatas menampilkan promosi atau iklan. Saat ini, mereka memfasilitasi pembayaran transaksi jual-beli.
“Keputusan yang kedua tidak ada (fungsi) media sosial untuk berdagang,” katanya. Jadi medsos dikembalikan lagi sebagai aplikasi berbagi atau bercengkrama di dunia maya. Sedangkan, layanan jual beli dijalankan oleh aplikasi e-commerce. Misalnya, Tokopedia, Shopee, Bukalapak, atau yang lainnya.
Ketentuan berikutnya soal pengaturan produk impor. Kemendag akan menerbitkan positif list atau produk-produk impor yang boleh dijual di Indonesia. Dia mencontohkan, kain atau baju batik, hanya boleh produk dalam negeri. Apalagi produk batik dalam negeri jumlahnya melimpah.
Produk impor yang dijual secara online, juga harus diperlakukan sama dengan produk lokal. Misalnya, makanan atau minuman, wajib bersertifikat halal. Kemudian, produk kosmetik wajib memiliki izin dari BPOM. Selain itum produk lain seperti alat-alat listrik, harus memiliki standardisasi seperti SNI atau sejenisnya. “Harga barang impor minimal USD 100,” imbuhnya.
Zulkifli menegaskan, setelah Permendag baru keluar jika masih ada aplikasi yang bandel maka, Kemendag langsung menyurati Kementerian Kominfo. Supaya dilakukan penjatuhan sanksi seperti pemblokiran atau hukuman lainnya sesuai aturan perundang-undangan.
Pada kesempatan yang sama Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki menyebutkan, pengaturan produk impor tersebut bukan soal kalah atau menang dengan produk UMKM. Kondisi saat ini, di pasar online maupun offline, dibanjiri produk asing dengan harga sangat murah.
“Kita atur perdagangan yang fair antara online dan offline. Selama ini, perdagangan secara offline diatur dengan begitu ketat. Sehingga perdagangan online juga harus diperlakukan secara sama,” bebernya.
Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi mendukung upaya menciptakan suasa perdagangan yang fair. “Bukan free trade, tapi fair trade,” ujarnya.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, jika sosial media dilarang untuk berjualan, itu memutus satu step UMKM bisa go digital dan sebuah langkah mundur dari pemerintah. ”Yang harusnya dilakukan adalah mengatur social commerce agar bisa setara dengan e-commerce atau pedagang offline. Sehingga pada akhirnya tercipta level playing field yang setara diantara pelaku penjualan ini,” urainya. (sur/hil/agf/dio)