RADARBEKASI.ID, BEKASI – Penyebab pasien anak Alvaro didiagnosis mati batang otak usai menjalani operasi amandel terus diselidiki. Pemerintah Kota (Pemkot) bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tengah merancang dua Raperda untuk menjamin pelayanan kesehatan di Kota Bekasi memenuhi standar, guna memberikan pelayanan maksimal dan keselamatan pasien. Sementara itu, Komite Nasional Keselamatan Pasien (KNKP) ikut menyoroti kasus tersebut.
Apa bagian dari tindakan operasi yang menyimpan resiko besar hingga pasien mati batang otak, dan mengapa pasien kekurangan suplai oksigen ke otak, itu adalah pertanyaan dari keluarga Alvaro yang sampai saat ini belum terjawab. Pihak keluarga berharap hal ini bisa terjawab hingga tuntas setelah berbagai pihak turun tangan menindaklanjuti kasus ini.
“Sejauh ini yang kami tahu, dan ada juga penjelasan dari rumah sakit adalah anak kami ini suplai oksigennya kurang sampai ke otak. Yang menjadi pertanyaan kami selanjutnya adalah kenapa anak kami supply oksigennya bisa kurang,” kata orang tua pasien, Albert Francis (38).
Dipastikan oleh Albert, tidak ada keluhan dan gejala penyakit lain saat anaknya hendak menjalani operasi. Kalaupun ada, Albert yakin akan terlihat dari hasil pemeriksaan laboratorium yang lebih dulu sudah dilakukan.”Tapi disitu uji darahnya semuanya normal, kalau untuk anak kami ya kondisinya normal,” tambahnya.
Selain proses hukum yang sedang berjalan saat ini, ia berharap tidak lagi ada cerita Alvaro lainnya di semua Rumah Sakit (RS) di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan RS dan dokter, pada poin ini ia menitikberatkan keselamatan pasien.
Konflik antara pasien atau keluarga dengan RS bukan kali pertama terjadi di Kota Bekasi akibat ketidakpuasan layanan maupun dugaan kelalaian. Radar Bekasi mencatat sebagian kecil kasus serupa terjadi sejak 2019 hingga yang terakhir di RS Kartika Husada Jatiasih di tahun 2023 ini, setidaknya ada empat kasus yang terjadi dan menyita perhatian.
Dua pasien meninggal dunia dalam rentetan kasus ini. Hal ini memberikan informasi perlunya pengawasan ketat pada pelayanan kesehatan di Kota Bekasi.
Terkait dengan kasus dugaan malpraktik yang terjadi di RS Kartika Husada Jatiasih, menjelang akhir pekan kemarin beberapa pihak mendatangi RS, termasuk Komite Nasional Keselamatan Pasien (KNKP). Pada hari yang sama juga terjadi pertemuan antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi, dan Dinkes Provinsi Jawa Barat.
Usai pertemuan tersebut Kabid Pelayanan Kesehatan (Yankes) Dinkes Kota Bekasi, Fikri Firdaus mengatakan bahwa pertemuan tersebut membentuk sebuah tim untuk menangani kasus ini.
“Itu hanya pembentukan tim dari keselamatan pasien saja sedang berlangsung,” katanya.
Terkait dengan pelayanan kesehatan di RS, sebelumnya Fikri menyampaikan bahwa Kota Bekasi telah memiliki satu Perda terkait dengan Sistem Kesehatan. Perda yang dibentuk pada tahun 2022 ini mengatur sejumlah hal, mulai dari perizinan RS sampai dengan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP).
Selain Perda tentang Sistem Kesehatan tersebut, ada dua Raperda yang tengah disusun oleh Pemkot bersama dengan DPRD, yakni Raperda Mutu Layanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan.
Diakui bahwa tidak bisa semua masyarakat dijamin puas dengan layanan yang diberikan oleh Faskes. Tapi, setidaknya tiga produk hukum daerah tersebut bisa mengikat kualitas layanan kesehatan di setiap Faskes kepada masyarakat.
“Kita akan menggunakan tiga Perda ini dalam sebuah Perwal yang akan mengikat Rumah Sakit beserta dengan apa sanksi-sanksi yang ada disitu,” ungkapnya.
Awal pekan kemarin, Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah bertemu dengan Dinkes kota Bekasi, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Kota Bekasi, serta BPJS dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP). Rapat tersebut membahas layanan kesehatan setelah mendengar banyak pertanyaan dari masyarakat pada saat pelaksanaan reses beberapa waktu kemarin.
Raperda tentang mutu layanan kesehatan juga disampaikan oleh Ketua Komisi IV DPRD Kota Bekasi, Daradjat Kardono. Setelah disahkan dan berlaku, Dinkes akan melakukan evaluasi secara periodik terhadap layanan RS di Kota Bekasi.
Sejumlah pertanyaan disampaikan oleh masyarakat kepada anggota DPRD kota Bekasi, diantaranya terkait dengan pembuatan BPJS PBI, tidak adanya lagi kartu fisik BPJS kesehatan, hingga kejelasan terkait dengan informasi bahwa masyarakat bisa berobat langsung ke RS hanya dengan menggunakan NIK.
Setelah pertemuan tersebut disampaikan bahwa registrasi pembuatan BPJS PBI bisa dilakukan di Faskes atau melalui fasilitasi anggota DPRD. Terkait dengan kartu fisik BPJS kesehatan, disampaikan hawa saat ini BPJS Kesehatan tidak lagi mengeluarkan kartu fisik, melainkan kartu berbasis digital.
Sedangkan terkait dengan alur pengobatan ke RS hanya dengan NIK, Daradjat menyebut ada salah persepsi oleh sebagian masyarakat. Pelayanan kesehatan tetap dilakukan berjenjang, mulai dari Faskes tingkat satu yakni Puskesmas atau Klinik, kecuali kondisi darurat.”Ya sosialisasinya kurang,” katanya, Selasa (3/9).
Pihaknya juga menyampaikan bahwa Dinkes kedepan harus melakukan evaluasi secara berkala kepada seluruh RS swasta di Kota Bekasi. Dalam hal ini, Dinkes akan mengawasi standar pelayanan kesehatan sesuai dengan yang tertera dalam Perda yang saat ini tengah digodok.
“Sekarang kan kita lagi menggodok Perda Standar Pelayanan Minimum Kesehatan Kota Bekasi. Disitu sudah diatur tuh, untuk layanan sudah ada SPMnya,” ucapnya.
Bila perlu kata dia, dibuatkan survei kepuasan masyarakat terkait dengan pelayanan kesehatan di tiap RS untuk mendapatkan data layanan yang harus diperbaiki atau dipertahankan oleh RS. Jika didapati pelayanan kesehatan dibawah standar minimal, maka hari dilakukan pembinaan untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Apresiasi atau reward bisa dipilih untuk merangsang setiap RS berkompetisi menyediakan layanan terbaik kepada masyarakat. “Kalau nanti hasil evaluasinya bagus harus di share juga, harus diapresiasi,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinkes Kota Bekasi, Tanti Rohilawati mengatakan bahwa pihaknya telah menerima beberapa keluhan dari masyarakat yang disampaikan langsung oleh Komisi IV DPRD Kota Bekasi. Beberapa poin yang disampaikan kata dia, akan ditindaklanjuti bersama dengan ARSSI dan BPJS Kesehatan.
“Ini langkah kedepannya memang ada beberapa yang perlu kami luruskan dan perbaiki. Termasuk kita secara rutin melaporkan juga kepada yang terhormat sehingga pada saat masyarakat menanyakan tidak terjadi Miss,” ungkapnya.
Salah satu Pekerjaan Rumah (PR) yang harus diselesaikan, salah satunya adalah sosialisasi kepada masyarakat.
Sementara itu Ketua ARSSI Kota Bekasi, Eko Nugroho mengatakan bahwa pihaknya mendukung terkait dengan langkah RS untuk meningkatkan dan menjaga mutu layanan. Rumah Sakit swasta di Kota Bekasi juga kata dia, telah berkomitmen untuk menjalankan enam pilar transformasi kesehatan.
Tahun 2022 lalu, hasil survei ARSSI mengatakan bahwa 50 persen dari total 42 RS anggota di Kota Bekasi sudah menggunakan rekam medik elektronik.
“Jadi sejauh ini sih sudah banyak, tinggal sedikit rumah sakit yang memang perlu mengadopsi rekam medik elektronik. Tapi yakin lah akhir Desember 2023 ini semua sudah mengadopsi rekam medik elektronik,” katanya.
Terkait dengan pengawasan RS, Eko menyampaikan bahwa selama ini pengawasan sudah dilakukan lewat berbagai laporan untuk dievaluasi. Selain itu, RS memiliki kewajiban untuk melaporkan fasilitas yang dimiliki, sesuai dengan ketentuan Kemenkes.”Itu sudah, dan perannya Dinkes ke kita sebagai pembina, pengayom, dan pengawas,” tambahnya. (sur)