Oleh A.A. Ariwibowo*
Kritik bertubi-tubi publik menghunjam relung perilaku berpolitik jelang Pilpres 2024. Sikap kritis atas dinasti politik menyerbu Gibran Rakabuming Raka yang nota bene putra sulung Presiden Joko Widodo. Aneka opini mengisi jagat media arus utama dan media sosial. Mereka tidak ingin terjadi patgulipat.
Mengapa politik dinasti memantik dan mengusik perhatian publik? Sikap dasar apa saja yang melatarbelakangi munculnya kritik atas dinasti politik pada Gibran Rakabuming Raka? “Last but not least”, kritik terasa kian nyaring bergema lantaran Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh paman Gibran dirasa-rasakan bernuansa melapangkan jalan bagi Walikota Surakarta itu di Pilpres 2024.
Pelatuk kritik ditarik manakala Gibran melaju dan didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto.
Digunakan pilihan kata didaftarkan, karena pasangan Prabowo-Gibran diusung oleh Koalisi Indonesia Maju yang dihuni sembilan partai politik, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Garuda, Partai Gelora, Partai Prima, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Apa reaksi Jokowi ketika merespons panggung politik menjelang pilpres 2024 dengan penampilan putra sulungnya itu? Sebagai kepala keluarga, Jokowi menyatakan, “Ya orang tuanya hanya tugasnya mendoakan dan merestui”.
Pernyataan itu terlontar setelah ia menghadiri Apel Hari Santri Nasional 2023 di Tugu Pahlawan, Surabaya, Minggu (22/10).
Sikap Jokowi itu merujuk kepada adat istiadat masyarakat Jawa, bahwa setiap orangtua wajib mendoakan dan merestui perjalanan hidup anak-anaknya. Tidak mengikuti kewajiban ini dapat dianggap sebagai hal yang ganjil dan “tidak njawani”. Kewajiban utama orangtua adalah menjaga agar putra-putrinya menjadi orang (dadi wong), menjadi anggota yang terpandang di masyarakat. Orangtua Jawa tidak ingin anaknya dilabel sebagai “durung Jawa”, yaitu belum menjadi orang Jawa, belum mengenal aturan-aturan kehidupan.
Ungkapan “durung Jawa” mengacu kepada larangan kepada anak-anak agar tidak terjerumus oleh dorongan naluriah dan emosi sesaat.
Anak-anak yang njawani wajib dilatih sedikit demi sedikit untuk mengikuti aturan, berlaku pantas, dan menguasai diri dalam setiap perilaku di masyarakat. Anak-anak diharapkan untuk diisi oleh orangtua dengan aturan-aturan kehidupan dan kebudayaan – termasuk adab berpolitik – dengan mengembangkan rasa malu (isin).
Rasa malu atau isin merujuk kepada suara hati. Rasa malu, rasa khawatir berkaitan dengan penampilan seseorang. Malu untuk berbuat yang nista, khawatir untuk jangan sampai dikritik atau ditertawakan orang. Singkatnya, rasa malu berujung kepada rasa “rikuh” terhadap pandangan dan pendapat orang lain.
Nilai positif dari “isin”, justru dapat membantu seseorang untuk membantu dan melatih penguasaan diri, memberi sumbangsih kepada perkembangan rasa hormat kepada orang lain dan menghindari pertikaian atau konfrontasi.
Nah, laju kritik soal dinasti politik kemudian membawa sejumlah opini yang beraneka ragam, kalau tidak ingin dibilang memunculkan konfrontasi, bahkan aksi saling membongkar skenario, tanpa menimbang rasa malu, tanpa menakar rasa isin.
Betapa tidak?
Tersebutlah bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membongkar skenario masa jabatan tiga periode untuk Presiden Joko Widodo. Langkah itu PDIP lakukan beberapa hari setelah kader yang juga putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.
Isu itu berangkat dari pernyataan politikus PDIP Adian Napitupulu. Adian berkata keretakan hubungan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Jokowi bermula dari isu presiden tiga periode.
Mega dan PDIP sempat diminta mendukung rencana itu. Namun, mereka menolak. Menurut Adian, penolakan itu menjadi awal mula memburuknya hubungan Mega dengan Jokowi.
Puncak “konfrontasi” yang tidak bernuansa “njawani” itu terjadi saat Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo meminta kepada Gibran agar mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) sebagai upaya memperjelas status keanggotaan putra Jokowi itu.
Kubu PDIP ingin agar Gibran taat asas dalam melakoni kiprah politik. Kalimat lugasnya, tidak bermain politik di dua kaki, tetapi tegak lurus kepada partai. Desakan itu muncul sebagai pemecah kebekuan dari konfrontasi antara kubu Gibran cs dengan PDIP.
“Kan enggak perlu dipecat, kesadaran diri, datang kelihatan muka, pulang juga kelihatan punggung. Itu kan budaya bangsa kita sendiri. Menurut saya lebih baik Mas Gibran datang kelihatan muka di DPC, meninggalkan DPC dengan mengundurkan diri ya dengan kelihatan punggung itulah pesan saya, dan harapan kepada Mas Gibran,” kata Rudy saat ditemui di kediamannya, pada Rabu (25/10/2023).
Pepatah Rudy itu sama sebangun dengan Pitutur Adi Luhur khas Jawa, bahwa Becik ketitik ala ketara, artinya orang tidak hanya dinilai dari kata-kata tetapi dari Tindakan, sikap, atau tingkah laku dan perbuatannya.
Orang dinilai dan disebut jempolan atau dikatakan baik (becik) bila perbuatan bersama perilakunya baik (baca: terpuji dan terhormat). Sebaliknya, orang ditakar buruk (ala) kalau segala yang dilakukan buruk atau jahat. Ibarat, menanam pohon yang baik menghasilkan buah yang baik; pohon yang jelek memproduksi buah yang jelek.
Becik ketitik ala ketara, dalam kasus Gibran, memberi pitutur adi luhur dalam atmosfer Jawa, bahwa tidak sulit sebenarnya membedakan mana orang yang baik, dan mana orang yang berperilaku buruk, di satu pihak. Di lain pihak, pitutur ini ingin menasehati orang agar tidak terlalu gusar dengan penilaian orang lain.
Becik ketitik ala ketara yang bermakna dua rangkap itu, mengajak serentak mengimbau para pelantun tembang kritik bertajuk Dinasti Politik agar kalau tidak bersalah, artinya berlaku baik, biarkan saja apa kata orang, kalau memang baik, pada akhirnya orang akan tahu. Becik ketitik, yang baik akan diketahui; ala ketara, yang jelek akan tampak.
Bagi politisi muda siapapun dia dan dari kalangan mana saja, becik ketitik ala ketara itu lantas diperkaya dan dimaknai lebih mendalam oleh pujangga Joyoboyo. Pertama, mumpung anom ngudiya laku utama, artinya selagi masih muda upayakanlah laku utama.
Kedua, kaduk wani kurang deduga, artinya terlalu berani, tapi tanpa perhitungan. Ketiga, melik nggendhong lali, artinya ingin sekali, menyebabkan lupa.
Dalam konteks Pemilu 2024, petuah Joyoboyo itu merujuk kepada Sasmita Jaman Kaliyuga, bahwa Ratu dadi kawula, kawula dadi ratu, bahwa rakyat akan menjadi pemimpin, pemimpin akan menjadi rakyat. Orang yang berilmu dan berkuasa kelak menjadi rakyat, sedangkan para bandit yang tidak mengetahui “upa bengkong”, bakal dilantik sebagai pemimpin.
Bagaimana jadinya?
Peran “rasa” dalam ribut-ribut Dinasti Politik dapat dibaca juga bahwa peran orang tua Jawa tampak tidak berpegang teguh pada anak-anak mereka secara sangat posesif. Selama anak berada dalam asuhannya, anak harus mematuhi petunjuk-petunjuk orangtua, meskipun anak mempunyai watak dan perilaku sendiri, dan orangtua tidak bertanggungjawab.
Hanya saja, apakah Gibran sedang menempuh dan menjalani kebiasaan “ngenger”? Menurut Niels Mulder dalam bukunya berjudul Pribadi dan Masyarakat di Jawa, ngenger atau magang artinya, mengabdi pada seseorang yang lebih unggul. Sekalipun orang tua mungkin mengetahui atau ingat bahwa magang dan pengabdian itu tidak jarang justru tidak menyenangkan bagi sang anak.
Petuah Jokowi sebagai ayah, kepada Gibran sebagai anak, bahwa adalah baik bagi anak untuk mengalami pendidikan berat dan spartan dalam gelanggang politik kehidupan. Anak harus mengalami liku-liku kehidupan pada usia muda untuk dapat merasakan kesukaran, kemudian mencicipi kesenangan atau kemuliaan apabila keadaan menjadi lebih baik.
Silang pendapat seputar Dinasti Politik bukan semata dan bukan sebatas ungkapan sarat gimik, “disenyumin aja”, tetapi lebih memuat dan menyentuh koordinat “rasa” dalam atmosfer Jawa. (***)
*Penulis Wartawan LKBN Antara, 1991-2021. Staf pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS)