RADARBEKASI.ID, BEKASI – Potensi aset Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi masih rentan direbut oleh ahli waris. Pasalnya, sebanyak 881 bidang lahan milik Pemkab Bekasi belum bersertifikat.
Dalam pendataan tahun-tahun sebelumnya, beberapa aset seperti kantor desa, sekolah, dan puskesmas terbentuk tanpa legal kepemilikan yang memadai. Akibatnya, Pemkab Bekasi terpaksa membayar ganti rugi melalui APBD.
Dengan kondisi ini, Penjabat (Pj) Bupati Bekasi, Dani Ramdan, akan melakukan percepatan dan berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional/Agraria Tata Ruang (BPN/ATR) Kabupaten Bekasi serta Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi.
“Ya, kami harus menjaga marwah pemerintah. Sebenarnya penguasaan fisik bertahun tahun sebenarnya sudah menjadi salah satu bukti kepemilikan. Namun, hal ini kami menduga adanya mafia mafia tanah yang harus ditertibkan,” ucapnya.
Dani mengakui bahwa masalah aset merupakan persoalan yang sudah berkepanjangan. Penanganannya tidak bisa dilakukan secara umum, melainkan harus dilakukan secara kasuistik, satu per satu. Meskipun demikian, berbagai upaya terus dilakukan, termasuk percepatan pencatatan aset itu sendiri.
Oleh karena itu, Pemkab Bekasi berkomitmen melaksanakan perapihan aset. Salah satunya adalah untuk mencegah timbulnya gugatan dari pihak-pihak lain.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bekasi, Hudaya, membenarkan adanya sejumlah aset lahan milik pemerintah daerah yang belum bersertifikat. Terdapat setidaknya 881 bidang lahan yang dimiliki oleh pemerintah daerah namun belum memiliki sertifikat, dengan mayoritas di antaranya berupa sekolah dan fasilitas kesehatan.
“Hasil pendataan sebelumnya terdapat 881 bidang lahan yang belum bersertifikat dan kini tengah diurus persyaratannya agar nantinya bisa bersertifikat,” kata Hudaya.
Hudaya, menargetkan seluruh aset dapat bersertifikat dalam dua tahun ke depan. Target tahap pertama, yakni tahun ini sejumlah 150 bidang lahan dapat disertifikatkan. Sedangkan sisanya dialokasikan pada 2024 mendatang.
“Tahun ini targetnya 150 bidang lahan atau tanah yang disertifikatkan. Sejauh ini dari jumlah tersebut sudah 80 lahan yang berprogres, sedangkan sisanya terus kami kejar untuk diupayakan. Lalu tahun depan target kami seluruhnya sudah tersertifikatkan. Secara data dan juga anggaran sudah bisa dialokasikan,” ujarnya.
Dalam menghadapi kondisi ini, Hudaya mengakui adanya sejumlah kendala dalam pengurusan aset negara, terutama minimnya bukti kepemilikan. Hal tersebut menjadi masalah di banyak lahan yang saat ini digunakan untuk bangunan sekolah negeri dan puskesmas.
Dari berbagai kasus yang terjadi, minimnya bukti kepemilikan disebabkan oleh banyaknya lahan hibah dari masyarakat yang tidak didokumentasikan secara otentik. Akibatnya, setelah puluhan tahun berlalu, kepemilikan lahan dapat digugat oleh pihak ketiga sebagai ahli waris.
“Seperti banyak kasus SD inpres yang ketika dulu kan orang kita tanahnya luas-luas, maka dengan sukarela kakek nenek kita itu menghibahkan lahan untuk dibangun sekolah atau puskesmas. Nah hibah itu jaman dulu tidak diurus administrasinya. Ketika sudah puluhan tahun, lalu anak cucunya berupaya menggugat karena merasa lahan yang ditempati masih milik mereka,” jelasnya.
Demi mencegah gugatan serupa terus terjadi, proses percepatan sertifikat terus dilakukan. Pemerintah daerah diberi hak untuk menerbitkan bukti penggunaan lahan bertahun-tahun.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Dwi Astuti Benniyati, menyatakan bahwa persoalan aset terjadi di banyak daerah. Oleh karena itu, kejaksaan membuka koordinasi dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan berbagai permasalahan terkait aset.
“Karena jaksa itu sebagai pengacara negara yang turut serta juga untuk mengamankan aset-aset daerah ini. Maka upaya itu terus dilakukan termasuk di Kabupaten Bekasi ini,” ujarnya. (and)