Berita Bekasi Nomor Satu

Nelayan Muaragembong Dilanda Paceklik

ILUSTRASI: Perahu nelayan bersandar di Muaragembong Kabupaten Bekasi, beberapa waktu lalu. Nelayan di perairan laut Muaragembong dilanda paceklik dalam beberapa tahun terakhir. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Nelayan di perairan Muaragembong dilanda paceklik atau masa sulit dalam beberapa tahun terakhir. Hasil tangkapan mereka semakin minim akibat dampak pencemaran limbah yang telah merambah perairan dan kerusakan dasar laut.

Selain itu, kehadiran para nelayan dari daerah lain turut memberikan tekanan tambahan. Beberapa dari mereka, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan saat mengambil hasil laut di perairan Muaragembong. Praktik ini bisa merusak lebih lanjut ekosistem laut yang sudah rentan.

Kondisi sulit ini membuat Adi Winata (39), salahsatu dari ribuan nelayan di Muaragembong merana. Bukan hanya kehidupan sehari-hari mereka yang terancam, tetapi juga keberlangsungan mata pencaharian yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Nelayan yang sebelumnya hidup sejahtera, kini harus berjuang keras untuk mendapatkan hasil tangkapan yang cukup.

Adi mengakui, sulitnya mendapatkan tangkapan dari laut sejak beberapa tahun belakangan ini. “Sekarang kebanyakan kosong ketimbang dapatnya. Mungkin karena faktor cuaca atau limbah,” ujar nelayan yang tinggal di Desa Pantai Bahagia Kabupaten Bekasi ini kepada Radar Bekasi, Selasa (21/11).

Kondisi sulit ini membuat pendapatan Adi mengalami penurunan drastis. Pada tiga sampai lima tahun terakhir, dirinya bisa memperoleh pendapatan dari hasil penjualan tangkapan dari laut seperti cumi, ikan, dan rajungan per hari sekitar Rp900 ribu hingga Rp1 juta. Namun, kini pendapatan hariannya hanya sekitar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu.

“Sebelumnya saya dapat cumi per harinya 30 kig. Sekarang paling lima kg. Paling banyak 10 kg,” ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Desa Pantai Bahagia, Ahmad Qurtubi, mengungkapkan perubahan signifikan dalam upaya mencari hasil laut di perairan Muaragembong. Ia menyatakan, situasi ini sangat berbeda dengan kondisi sepuluh tahun lalu.

Menurut Qurtubi, pada beberapa tahun yang lalu, para nelayan dapat dengan relatif mudah mendapatkan hasil laut di perairan Muaragembong. Namun, kini para nelayan menghadapi kesulitan yang cukup besar untuk mencari hasil laut di perairan tersebut.

“Sekarang itu masyarakat Muaragembong nyari ikan, kepiting, rajungan, sampai ke Kepulauan Seribu. Dulu nggak mesti ke sana, karena di perairan kita juga banyak,” katanya.

Sejumlah faktor menjadi pemicu sulitnya para nelayan Muaragembong dalam mendapatkan hasil laut. Qurtubi menegaskan, beberapa faktor ini memberikan dampak signifikan terhadap kondisi perairan Muaragembong.

Pertama, Qurtubi menyoroti masalah pencemaran limbah yang merambah perairan. Pencemaran ini telah merugikan ekosistem laut dan secara langsung mempengaruhi produktivitas hasil tangkapan nelayan. Kerusakan dasar laut, termasuk terumbu karang, juga menjadi perhatian utama karena dapat mengubah habitat dan mengurangi kelimpahan ikan dan lainnya.

Faktor kedua, praktik para nelayan dari luar Kabupaten Bekasi yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap seperti cangkrang dan sejenisnya dapat merusak ekosistem laut dan mengancam keberlanjutan hasil tangkapan di Muaragembong.

“60 persen nelayan pendatang masih menggunakan alat tangkap yang tak ramah lingkungan. Nelayan di sini rata-rata menggunakan perahu-perahu kecil. Mereka kalah bersaing dengan perahu-perahu nelayan pendatang,” ucapnya.

Ia mengungkapkan, ada keterbatasan kewenangan dalam menangani masalah nelayan pendatang di perairan Muaragembong. Meskipun telah berusaha melakukan koordinasi dengan Dinas Kelautan Provinsi, Qurtubi menemui kendala dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Sebelumnya, Qurtubi telah beradu pendapat dengan Dinas Kelautan Provinsi Jawa Barat untuk mengatasi masalah nelayan pendatang yang dinilai tidak ramah terhadap lingkungan. Namun, hasil audiensi menunjukkan bahwa nelayan tersebut bukan dari luar daerah karena masih berasal dari provinsi yang sama, seperti Cirebon dan Indramayu.

Dalam audensi tersebut, turut hadir Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Bekasi beserta jajaran pimpinan bidangnya. Meski demikian, Dinas Perikanan Kabupaten Bekasi mengalami keterbatasan kewenangan karena masalah ini berkaitan dengan wilayah provinsi. Pemerintah Kabupaten Bekasi tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menangani persoalan ini secara langsung.

Untuk itu, diperlukan kerjasama antarprovinsi dan koordinasi yang lebih intensif agar permasalahan nelayan pendatang dapat diatasi secara efektif. Tindakan bersama ini menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan perairan Muaragembong dan memastikan bahwa sumber daya laut tetap lestari.

“Jadi atur-aturannya yang masih bias menurut saya. Karena kalau orang lokal, luar kampung pun sudah pendatang disebutnya. Sedangkan ini dari luar daerah, tapi sudut pandang kepala bidang tangkap dinas provinsi mengatakan, mereka bukan pendatang karena masih satu wilayah provinsi Jawa Barat,” jelasnya.

Dalam pandangannya, perlu adanya perbaikan menyeluruh, terutama dalam aspek ketegasan pemerintah dalam melarang penggunaan alat tangkap yang merugikan lingkungan.

Qurtubi menegaskan pentingnya langkah tegas dari pemerintah untuk melarang penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Menurutnya, tindakan ini merupakan langkah konkret untuk menjaga ekosistem laut dan memastikan kelangsungan mata pencaharian nelayan.

Qurtubi juga menyoroti permasalahan pencemaran limbah di perairan Muaragembong. Limbah diidentifikasinya sebagai salah satu faktor utama yang menyulitkan nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan yang memadai. Oleh karena itu, menurut Qurtubi, penanganan limbah harus menjadi fokus utama dalam mengatasi kendala ini dan mendukung nelayan setempat.

“Ikan diperairan Muaragembong, mulai dari yang kecil ikan teri sampai yang gede ikan cuee, cumi-cumi, rajungan, dan masih banyak lainnya. Kondisi seperti ini sudah terjadi sejak sepuluh tahun yang lalu, nelayan kita semakin sulit,” ucapnya.

Dalam kondisi saat ini, nelayan juga menghadapi tantangan serius terkait permodalan. Sebelumnya, tengkulak atau juragan yang biasanya memberikan pinjaman modal untuk pembelian alat tangkap, perawatan perahu, dan kebutuhan lainnya kepada nelayan, kini juga mengalami kesulitan.

Hal ini disebabkan karena nelayan tidak lagi mampu menjual hasil tangkapannya dengan jumlah yang cukup kepada tengkulak atau juragan tersebut. Akibatnya, kemampuan mereka untuk memberikan modal kepada para nelayan juga terbatas.

“Akibatnya masyarakat nelayan harus mengambil atau meminjam uang di bank keliling, emok, maupun lainnya. Akhirnya menyebabkan konflik sosial di kehidupannya. Jadi di situ caruk maruknya. Mereka harus pinjam uang ke bank keliling, emok, rentenir, sampai mengakibatkan banyak yang kolep,” ungkapnya. (pra)