RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dalam memberikan pemahaman tentang strategi komunikasi dan menangkal disinformasi serta ujaran kebencian pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang, Universitas Paramadina mengadakan diskusi publik mengenai Literasi Media Berbasis Politik.
Forum diskusi yang dibuka oleh Rektor Universitas Paramadina, Didik Junaidi Rachbini, dan Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban, Tatok Djoko Sudiarto, berlangsung di Aula Nurcholish Madjid tersebut, bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan dihadiri oleh ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi se-Jabodetabek.
Adapun narasumber pada acara forum diskusi itu, Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Erik Ardiyanto; Komisioner KPU RI, Yulianto Sudrajat; Kepala Biro Hukum dan Humas Bawaslu RI, Agung Indra; dan Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso.
Yulianto mendorong mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu serentak pada 2024 mendatang, termasuk merefleksi tentang ujaran kebencian dan hoaks, yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu.
“Saya memiliki catatan pemilu sebelumnya, dan berharap di Pemilu 2024, bisa berjalan lebih dewasa,” beber Yulianto.
Dia menjelaskan, dalam Pemilu 2024 yang berlangsung serentak, KPU memiliki visi untuk mewujudkan pemilu yang adil, dan mensejahterakan rakyat, sekaligus menyatukan anak bangsa.
Menurut Yulianto, segmentasi konstituen di Indonesia hari ini, mayoritas anak muda, sehingga peran pemilih muda menjadi sangat signifikan dalam pemilu, yang dapat menentukan postur pemilihan nasional. Literasi media menjadi alat refleksi, dan alat baca anak muda ketika melakukan kegiatan di media sosial (medsos).
BACA JUGA: Pendalaman Materi Kelas XII Kurang Relevan, Sekolah Alihkan Fokus ke Aspek Literasi dan Numerasi
Sementara Agung, memaparkan tentang cara mewujudkan medsos yang humanis. Menurutnya, minimnya literasi digital serta kurangnya pengetahuan hukum yang didapat, merupakan faktor penyebab penyebaran disinformasi dan hate speech.
“Demi meminimalisir adanya pelanggaran dalam berkampanye atau berpendapat, maka Bawaslu mengawasi medsos, agar tidak adanya penyebaran hoaks dan sara”, tutur Agung.
Berbeda dengan beberapa narasumber yang lain, Erik Ardiyanto menjabarkan lebih mendalam tentang strategi Komunikasi Politik menangkal disinformasi dan ujaran kebencian.
“Berbicara terkait demokrasi dan kepemiluan, harus bisa menciptakan meritokrasi dimana setiap anak bangsa, dari mana asalnya dan latar latar belakangnya, berhak memilih dan dipilih dalam kontestasi, tanpa adanya privilege atau hak istimewa. Dengan mengikuti peraturan yang berlaku, bukan sebaliknya menerabas peraturan yang ada untuk berkuasa,” tegas Erik.
Disisi lain, kebebasan berbicara, berpendapat dan berserikat, juga diatur di dalamnya, sehingga memungkikan anak bangsa bisa mengekspresikan dirinya tanpa adanya intervensi.
“Strategi komunikasi politik, hidup dalam alam demokrasi yang sejatinya, harus bisa menjadi alat penerang, agar kebijakan-kebijakan pemerintah dapat dipahami oleh masyarakat, tetapi pada saat yang bersamaan, bisa menjadi kritik ketika ada penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah, karena juga berfungsi sebagai alat pembebasan,” ujarnya.
Erik juga tidak menampik, pada dasarnya disinformasi dan ujaran kebencian, nyaris tak terhindarkan, terutama di musim pemilu seperti sekarang ini.
“Ini adalah tugas masyarakat sebagai pelaku, pengawas dan regulator politik, serta media untuk bahu-membahu membentuk iklim komunikasi yang baik, agar tercipta pemilu dan peradaban yang arif dan bijaksana,” tegas Erik.
Kata dia, pada dasarnya media, pelaku politik, dan masyarakat, nyaris tidak dapat dipisahkan. Masing-masing dari elemen tersebut, akan saling mempengaruhi satu sama lain, dan pengaruh yang paling baik adalah literasi, meliterasi, dan terliterasi. (bis)