RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kaget bukan kepalang dialami oleh Kacung Supriatna (63) ketika tiga orang yang mengaku dari lembaga keuangan mendatangi rumahnya di RT 03 RW 03 Kampung Cikarang Desa Jayamulya Kecamatan Serangbaru Kabupaten Bekasi.
Warga lanjut usia (lansia) ini tiba-tiba diminta untuk melunasi pinjaman hampir sebesar Rp4 miliar dari agunan sertifikat tanah seluas 9.573 meter persegi. Pria yang berprofesi sebagai petani tersebut merasa tidak pernah mengajukan maupun mendapatkan pinjaman yang ditagihkan kepadanya.
Penagihan itu dialami oleh Kacung pada 2021 lalu. Hingga 2024, Kacung belum mengetahui pihak yang menggunakan identitas maupun sertifikat tanah miliknya sebagai agunan untuk pinjaman tersebut.
Kasus yang membuat Kacung tercatat memiliki utang miliaran rupiah ini telah dilaporkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Polres Metro Bekasi. Demikian diceritakan Kacung didampingi anaknya Karyan (40) saat ditemui Radar Bekasi di rumahnya, Minggu (14/1/2024).
Kacung menjelaskan, tiga orang yang mengaku menagih hutang kepadanya berasal dari lembaga keuangan yang berkantor di Jakarta.
“Datang tiga orang menagih hutang bilangnya dari bank asal Jakarta. Saya kaget kedatangan itu. Kata orang itu, saya punya tanggungan Rp3 miliar lebih hampir Rp4 miliar,” ungkap Kacung.
Kacung terkejut karena ia tidak pernah merasa melakukan pinjaman uang sepeserpun kepada pihak manapun. Kebutuhan hidupnya telah terpenuhi dari penghasilannya sebagai seorang petani.
“Selama ini saya gak ngerasa punya hutang sampe segitu, seratus ribu juga saya gak pernah pinjam,” tambahnya.
Sementara itu, Karyan mengatakan bahwa sepengetahuannya ayahnya tak pernah melakukan pinjaman kemana pun. Kedatangan tiga orang penagih hutang dari salah satu lembaga keuangan pelat merah membuatnya terkejut.
Saat datang ke rumahnya, pihak lembaga keuangan mengonfirmasi mengenai nama orangtuanya dan kepemilikan tanah seluas 9.573 meter persegi. Selanjutnya, mereka mengonfirmasi adanya pinjaman yang harus dilunasi oleh ayahnya, dengan membawa fotokopi sertifikat yang bertuliskan memiliki hak tanggungan sebesar Rp 4 miliar.
“Waktu datang menanyakan nama orangtua saya, punya tanah seluas 9.573 meter persegi itu betul pak? Saya bilang betul pak, ini ada tagihan tiba-tiga gitu dengan jumlah Rp4 miliar pada 2021 gitu. Yang dia bawa cuma fotocopy sertifikat, saya minta fotocopynya gak dikasih, cuma dikasih foto aja,” ujar Karyan.
Setelah dilakukan penelusuran, ternyata sertifikat milik ayahnya berada di tangan kakak ayahnya atau uwa setelah melakukan Ajudikasi. Kakak Kacung, sebagai anak paling tertua yang berhak memegang berkas dan arsip-arsip penting keluarga, memegang peranan dalam kepemilikan sertifikat tersebut.
Untuk kepentingan pemecahan sertifikat, keluarga memutuskan untuk melibatkan seorang perantara. Meskipun demikian, hingga saat ini, proses pemisahan sertifikat tersebut belum kunjung selesai setelah hampir dua puluh tahun berlalu.
Berdasarkan informasi dari kakak ayahnya, beberapa tahun lalu ada seseorang bernama Guntur yang meminjam sertifikat. Belum lama ini, keluarga melakukan verifikasi ke notaris atas nama Muzaki yang berkedudukan di Cikarang Barat.
“Saya telusuri kemarin, saya datang ke sana sama abang saya. Ternyata, data yang ada di sana itu di notaris itu datanya data palsu semua, termasuk bukti-buktinya saya minta dari sana gak dikasih, minta data semuanya berkas gak dikasih, cuma bisanya di foto,” tambah Karyan.
Tak hanya itu, Karyan juga menemukan banyak kejanggalan saat menelusuri ke Kantor Notaris, BPN Kabupaten Bekasi, hingga PT Askrindo Indonesia. Dalam berkas-berkas yang dilihatnya selama penelusuran, tanda tangan ayah dan ibunya berbeda di e-KTP dan surat penyetujuan hak tanggungan untuk lembaga keuangan hingga adanya surat nikah orangtuanya.
“Bapak saya belum pernah buat surat nikah dari dulu, ini (yang saya lihat) mah foto siapa mirip orang cina semua di surat nikah bapak saya. Surat nikah bapaknya bapak saya ditulisnya Kacung bin Hasan, tapi bapak saya nama bapaknya itu bukan Hasan melainkan Salem,” ujarnya.
Selain terdapat pemalsuan pada e-KTP dan surat nikah, pada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) juga terdapat kejanggalan. Karyan mengungkapkan bahwa SPPT yang seharusnya masih atas nama orangtua ayahnya telah mengalami perubahan menjadi atas nama ayahnya.
Sejak ditagih untuk melunasi pinjaman mulai 2021 sampai 2024, ayah Karyan tidak pernah mencicilnya. Namun Karyan bersama orangtuanya sampai saat ini sudah empat kali mendatangi pihak lembaga keuangan untuk klarifikasi.
Saat ini, Karyan bersama sang ayah telah melaporkan peristiwa itu ke BPN Kabupaten Bekasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan membuat laporan kepolisian ke Polres Metro Bekasi yang tercatat dengan nomor laporan LP/B/44/I/2024/SPKT/POLRES METRO BEKASI/POLDA METRO JAYA.
Ia berharap sertifikat tanah orangtunya dapat kembali tanpa harus membayar agunan sebesar Rp4 miliar lebih yang tak pernah dipinjam orangtuanya.
“Harapannya sertifikat tanah orangtua saya kembali tanpa harus ditebus apalagi sampai Rp4 miliar. Bapak saya cuma seorang petani,” tandasnya. (ris)