RADARBEKASI.ID, BEKASI – Fenomena tingginya angka bunuh diri di Indonesia termasuk di Bekasi, menjadi perhatian banyak pihak. Delapan bulan terakhir, ada delapan kasus penemuan mayat yang diduga bunuh diri di Bekasi. Beberapa diantaranya ditemukan tergantung di pintu kamar hingga jembatan, salah satunya ditemukan tewas dengan kondisi pisau di perut.
Delapan kasus bunuh diri di Kota Bekasi justru korbannya sudah berusia dewasa, semua masih berada pada usia produktif. Sebagian diduga lantaran depresi akibat kondisi ekonomi, terlilit hutang, dilatarbelakangi masalah pekerjaan hingga masalah keluarga.
Psikolog, Joice Manurung menyampaikan bahwa bunuh diri sangat mungkin didasari oleh depresi yang dialami oleh seseorang. Situasi ini tidak datang begitu saja, melainkan telah melewati beberapa fase hingga seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
“Keputusan pendek seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang dalam kondisi yang tidak stabil, tidak matang, baik secara kognitif maupun secara emosi,” ungkapnya.
Tidak heran jika bunuh diri bisa saja terjadi sekalipun seseorang sudah menginjak dewasa. Depresi bisa saja dilatarbelakangi oleh faktor keturunan, atau faktor riwayat perjalanan hidup yang pernah muncul pada kondisi tertentu.
Perilaku bunuh diri cenderung muncul pada saat seseorang menginjak usia remaja, saat mencari jati diri. Fase kegagalan dalam hidup, merasa tidak berharga, hingga tidak lagi bermakna membuat seseorang menganggap hidupnya tidak lagi berguna.
“Justru perilaku bunuh diri muncul di (usia) remaja, yang berkembang lebih kompleks saat dia dewasa. Jadi makin dewasa makin kompleks sebenarnya,” katanya.
Kondisi ekonomi adalah salah satu faktor penyerta depresi. Bunuh diri dapat ditangani dengan pengelolaan faktor bawaan, penyerta, hingga pemicu depresi.
Pertama-tama, perlu dilakukan identifikasi dengan mental Checkup. Hasilnya, akan diketahui terapi yang cocok untuk setiap individu.”Jika ini sudah terjadi pada seseorang, maka mau tidak mau jika mengalami depresi yang bisa memicu gangguan bunuh diri ada dua treatment nya. Pertama Psikoterapi, dan yang kedua adalah treatment medis,” tambahnya.
Sementara itu, dari penelitian yang dilakukan oleh BRIN, korban kasus bunuh diri di kalangan remaja cukup tinggi. Persoalan asmara atau percintaan, tidak bisa diremehkan karena jadi salah satu pemicu utamanya.
Kasus bunuh diri di kalangan remaja itu dipaparkan oleh Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Organisasi Riset Kesehatan, BRIN Yurika Fauzia Wardhani. Dia memaparkan data sejak 2012 hingga 2023 terjadi 2.112 kasus bunuh diri. Dia menjelaskan terdapat 985 kasus yang terjadi pada remaja atau sekitar 46,63 persen dari total kasus.
Yurika mengatakan usia SMA menjadi fase yang cukup krusial. “Pada anak-anak SMA, ada perubahan (kehidupan) yang banyak,” katanya. Perubahan ini belum dirasakan ketika duduk di bangku SMP atau di bawahnya. Salah satu perubahan yang dia maksud adalah, mulai ada rasa cinta, suka, atau menyayangi terhadap lawan jenis.
Yurika mengatakan pada anak-anak usia SMA itu, mulai muncul rasa dan ikatan percintaan. Urusan percintaan ini tidak bisa diremehkan. Pasalnya dalam data yang ia suguhkan, urusan percintaan ini menjadi kelompok alasan tertinggi nomor dua. Disusul kemudian masalah pribadi, masalah psikologi, dan masalah dengan keluarga.
Dia lantas menyampaikan beberapa solusi untuk mencegah kasus bunuh diri. Khususnya di kalangan remaja. Diantaranya adalah orang tua, guru, atau lingkungan bisa memahami kondisi remaja secara individu maupun kelompok. “Kemudian bersama-sama mencari solusi yang tepat, dari kacamata remaja,” tuturnya.
Selanjutnya Yurika mengatakan perlu memasukkan materi soal pencegahan bunuh diri kepada remaja. Misalnya lewat kurikulum pendidikan, unit kesehatan sekolah (UKS), dan lainnya. Dia menegaskan pada kasus bunuh diri, biasanya dipicu rasa tidak berdaya dan tidak berguna. Perasaan seperti itu harus didampingi, supaya tidak berujung kasus bunuh diri.
Sementara itu pakar Psikologi Klinis Universitas Indonesia (UI) Dini Rahma Bintari menyampaikan analisa lain. Dia mengatakan alasan di balik kasus bunuh diri adalah masalah psikologis atau tingkat stres yang tinggi. Oleh karena itu perlu dicari tahu lebih lanjut penyebab stres yang menyebabkan tindakan bunuh diri.
Dia menjelaskan stres adalah suatu kondisi yang merupakan hasil interaksi antara orang dan lingkungannya yang mengandung kesenjangan. Yaitu kesenjangan antara tuntutan sebuah situasi dengan sumber daya atau kemampuan biologis, psikologis, ataupun sistem sosial individu. Biasanya kesenjangan itu hanya persepsi yang tidak realistis dari individu tersebut mengenai diri dan lingkungannya. Tetapi ada juga kesenjangan yang faktual atau benar-benar terjadi.
Dia lantas menyoroti istilah kena mental, yang jamak digunakan anak-anak muda saat ini. “Apakah kita sudah kena mental atau kita dapat bertahan menghadapi stres?” katanya kemarin (23/1). Dini mengatakan apabila ingin meningkatkan kemampuan menghadapi stres, seseorang perlu mengenali dan mengelola stres yang dialami.
Persoalan sehari-hari, konflik dengan orang lain, frustrasi, dan trauma juga termasuk jenis stres dalam bentuk yang khusus. Setiap hari, seseorang menghadapi tantangan dari lingkungan dan dapat dipersepsikan sebagai stressor atau penyebab stres. “Misalnya, kita setiap hari menghadapi kemacetan atau kerepotan di rumah tangga, atau masalah di kantor, atau konflik dengan teman dan kerabat,” ujar Dini.
Dia menegaskan stres memiliki dampak yang berbeda-beda pada setiap orang. Salah satu dampak yang menjadi konsekuensi berat dari stres yang tidak tertangani dengan baik, adalah agresivitas yang dapat meningkat. Seperti yang belakangan ini sering terdengar, yaitu bunuh diri dan pembunuhan. Emosi negatif termasuk kemarahan dan kekecewaan yang tidak tertangani dapat menurunkan kemampuan kontrol diri serta kemampuan berpikir logis dan sehat. (sur/wan)