Oleh: Dr. Susetya Herawati ST, M.Si.
Dosen Kajian Pembangunan Perkotaan dan Wilayah Universitas Krisnadwipayana
RADARBEKASI.ID, BEKASI – Ada berbagai pertimbangan ekonomi dan teknologi untuk membangun sektor pertanian. Antara lain adalah adanya paradigma pembangunan pertanian terkait dengan proteksi atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.
Skala ekonomi bagi usaha pertanian rakyat, kedalaman proses value-chain produk yang menghasilkan multiproduk dan memanfaatkan teknologi pengolahan yang berbeda-beda dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan juga adanya kerjasama manajemen dan teknologi dengan perguruan tinggi terkait.
Pembangunan sektor pertanian ini mempunyai arti dan dampak yang sangat penting, karena di samping meningkatkan produktivitas nasional, sekaligus program ini juga akan memberikan dampak pengentasan kemiskinan di Indonesia secara signifikan. Mensejahterakan para petani di Indonesia akan mengentaskan kemiskinan 70 persen penduduk miskin di Indonesia ( Dillion: 2018).
Hal ini karena umumnya mereka memiliki sebidang tanah yang kecil, bertani dengan masa tanam yang panjang dan tidak menggunakan alat pertanian dan teknologi proses modern, selain itu mereka juga tidak memiliki tabungan untuk membiayai hidup keluarga selama masa tanam.
Jadi secara struktural memang harus diakui bahwa keluarga petani pada umumnya miskin. Karena tidak mempunyai tabungan, maka mereka menjadi objek “rentenir’ atau “pengijon”. Apalagi mereka yang hidup sebagai buruh tani.
Mengubah cara pandang bersama bahwa petani harus diangkat kemampuannya menjadi seorang yang mempunyai kualifikasi “Pengusaha Petani”, dalam sejarah peradaban tiap bangsa, pengusaha mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam pembangunan ekonomi bangsa.
Mereka , para pengusaha, memiliki jiwa dagang , “Kewirausahaan” atau entrepreneurship. Dengan jiwa dagang mereka, produsen mengetahui produk-produk apa yang dibutuhkan oleh pasar.
Karena jiwa dagang mereka, para produsen melakukan inovasi dan belajar teknologi yang dibutuhkan. Dengan meningkatkan kemampuan petani berarti mengangkat ketahanan ekonomi petani.
Jika mereka adalah seorang pengusaha tani yang kuat, rentenir, pengijon maupun tengkulak, hanya dapat melakukan praktik perdagangan yang wajar, yang biasa disepakati oleh pengusaha dan mediator yang setara.
Caranya adalah dengan membentuk satu badan usaha (badan Hukum) koperasi di satu wilayah, dengan luas lahan mencapai skala ekonomis tertentu, selanjutnya ajak pemilik lahan dan semua penduduk usia kerja yang ada untuk menjadi anggota koperasi.
Bentuk manajemen dan organisasi yang diwakili oleh anggota yang qualified. Dalam proses pembinaan selanjutnya masih membutuhkan waktu 3-5 tahun , dan juga masih ada proteksi atau fasilitas yang harus diberikan pemerintah, tetapi sifatnya harus mendidik.
Fasilitas tersebut adalah, yang pertama adalah permodalan, pada tahun pertama pemerintah memberikan modal kerja, dimana para petani yang baru menjadi “calon pengusaha tani“ perlu di support untuk mendapatkan kepercayaan dirinya. Cara ini akan lebih baik dibandingkan dengan memberikan bantuan tunai, yang tidak mendidik.
Yang kedua adalah dukungan “ risiko bisnis” yang merupakan proses belajar , jika terjadi kerugian maka pemerintah dapat memberikan pinjaman lunak. Proteksi atas resiko bisnis lain adalah jika over produksi, pemerintah akan menyerap hasil pertanian tersebut, jika paceklik pemerintah memberikan bantuan modal .
Proteksi tersebut adalah adanya larangan impor beras. Kita lihat di Jepang, beras dan produk pertanian tertentu lainnya merupakan produk vital yang dilindungi pemerintah. Pemerintah adalah satu satunya pembeli hasil pertanian dari para petani.
Untuk itu, kita dapat menggunakan Badan Urusan Logistik (Bulog) seperti selama ini. Pola pembinaan dan proteksi atau fasilitasi serupa dapat dilakukan pada sektor perkebunan, perikanan dan kelautan. (*)
