RADARBEKASI.ID, BEKASI – Akademisi gelisah. Suara keprihatinan akan kondisi politik, etika, dan demokrasi terdengar dari lingkungan kampus. Meluas dari satu Perguruan Tinggi (PT) ke PT yang lain. Presiden Joko Widodo menyebutnya sebagai bagian dari demokrasi.
Sejumlah pihak menilai kritik dan desakan kali ini bukan peringatan biasa lantaran disuarakan dari masyarakat kampus, termasuk para dosen dan guru besar di beberapa PT negeri maupun swasta. Dimulai dari Petisi Bulaksumur Universitas Gadjah Mada (UGM) pada akhir Januari 2024.
Sivitas akademika UGM menyampaikan keprihatinan sekaligus kekecewaan mereka terhadap dinamika politik yang terjadi di akhir periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi. Prinsip dan moral demokrasi yang menyimpang disoroti dalam Petisi Bulaksumur ini.
“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” kata Guru Besar Psikologi UGM, Koentjoro.
Sejumlah kasus menjadi catatan, mulai dari pelanggaran etik dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, hingga pernyataan presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye. Presiden Jokowi, para pejabat negara, dan aktor politik di belakangnya didesak untuk segera kembali ke koridor demokrasi, serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
BACA JUGA: Jokowi Bilang Boleh Kampanye dan Memihak, KPU: Jokowi Harus Izin Cuti Presiden
“segera kembali pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial,” lanjut Koentjoro membacakan isi petisi tersebut.
Pernyataan sikap bertajuk ‘Indonesia Darurat Kenegarawanan’ menyusul dibacakan oleh sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII). Kritik sivitas akademika UII menyoroti penyalahgunaan wewenang, pudarnya sikap kenegarawanan presiden, hingga pemberian Bantuan Sosial (Bansos) oleh Presiden Jokowi ditengarai sarat dengan nuansa politik praktis.
“Situasi di atas menjadi bukti, Indonesia sedang mengalami darurat kenegarawanan yang bisa berujung pada ambruknya sistem hukum dan demokrasi,” kata Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Fathul Wahid membacakan pernyataan sikap di Sleman.
Suara kegelisahan terhadap proses demokrasi makin terdengar, PT lain yang menyampaikan keprihatinannya adalah Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Khairun Ternate, Universitas Andalas, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Hasanuddin, Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia, serta sivitas akademika Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta.
Pernyataan sikap pada 3 Februari kemarin disampaikan oleh Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang. Mahasiswa menilai cita-cita reformasi di bidang hukum mengalami kemunduran di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, serta prihatin terhadap hilangnya nilai dan etika moral di setiap tindakan presiden yang dinilai berupaya melanggengkan kekuasaan.
Nilai-nilai demokrasi telah diperjuangkan oleh Munir Said Thalib sebagai pendahulu mahasiswa Universitas Brawijaya hingga akhir hayat, harus tetap dijaga sebagai wujud meneruskan perjuangan penegakan keadilan. Kondisi hukum di Indonesia dinilai sedang dalam kondisi terbalik, kekuasaan dituding telah memutar posisi ideal politik harus tunduk pada hukum, dimulai dari putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
BACA JUGA: “Presiden Miliki Hak Politik dan Boleh Berkampanye”
Mahasiswa mendesak seluruh jajaran kabinet yang terlibat secara langsung dalam Pemilu untuk mundur, juga meminta aparatur sipil negara di tingkat pusat hingga daerah untuk menjaga netralitas selama Pemilu.
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama membangun kesadaran kolektif akan kebutuhan untuk memperbaiki tatanan demokrasi dan koridor konstitusi di Indonesia,” seru Wakil Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum, Azka Rasyad Alfatdi.
Seruan dari para guru besar di beberapa universitas layak dinilai sebagai peringatan serius terhadap kondisi demokrasi saat ini. Bukan hanya menjadi perhatian para guru besar di beberapa universitas, tapi juga sudah menjadi perhatian dunia internasional.
“Pemilu sudah beberapa hari lagi, tentu kita ingin di sisa hari-hari ini Pemilu bisa berjalan dengan baik dan hasilnya bisa diterima oleh publik,” ungkap Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati.
Pemerintah perlu segera merespon situasi ini. Salah satu caranya, memastikan tidak ada lagi praktik yang menyimpang dari nilai demokrasi seperti cawe-cawe dan ketidaknetralan yang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan Pemilu kali ini.
“Ini yang perlu dijaga oleh presiden untuk memastikan tetap menjaga demokrasi di akhir periodenya,” tambahnya.
Informasi yang dihimpun oleh Radar Bekasi, gerakan ini nampaknya masih akan terus meluas ke berbagai kampus. Beberapa kampus rencananya akan menyampaikan sikap, petisi, atau setidaknya seruan serupa pekan ini. (sur)