RADARBEKASI.ID, BEKASI – Aliansi Mahasiswa Bekasi – Karawang (AMBK), mendesak kepada presiden Joko Widodo kembali ke koridor demokrasi serta mengawal pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai amanat Undang-undang (UU). Desakan tersebut disampaikan dalam aksi puluhan mahasiswa di jalan Cut Mutia, Bekasi Timur, Kota Bekasi, kemarin.
Selain berorasi, massa juga nampak membagikan lembaran kertas bertuliskan lima dosa Politik Jokowi. Kemacetan tidak bisa dihindari saat mahasiswa memakan sebagian besar ruas jalan utama di Kota Bekasi tersebut.Dalam orasinya, mahasiswa menyampaikan kritik atas situasi politik nasional yang terjadi akhir-akhir ini.
“Sebenarnya hari ini kita aksi mengkritik bahwa presiden melanggar sumpah jabatan. Secara konstitusi presiden adalah pejabat publik, pejabat publik harus bersikap adil terhadap semua elemen masyarakat,” kata Juru Bicara AMBK, Aditya Syahran, Selasa (6/2).
Mahasiswa menilai presiden tidak lagi nampak sebagai pejabat publik, melainkan sebagai pihak yang berkepentingan melanggengkan kekuasaan. Politisasi Bantuan Sosial (Bansos) disebut sebagai salah satu cara Jokowi bersikap tidak netral dalam Pemilu.
Beberapa poin dosa Politik Jokowi diantaranya adalah upaya membangun politik dinasti, dilakukan dengan menghalalkan segala cara.”Jokowi memang tidak melanggar hukum, tetapi Jokowi melanggar etika moralitas dalam berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.
BACA JUGA: Aliansi Mahasiswa Bekasi – Karawang ‘Sentil’ Jokowi
Berikutnya adalah sinyal munculnya Neo Orba yang mengancam cita-cita reformasi, pelemahan pemberantasan korupsi, hingga abai terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sikap tidak netral presiden dinilai akan berdampak pada sikap jajan pemerintah dibawahnya, mulai dari menteri hingga kepala daerah. Hal ini dinilai akan merusak kinerja pejabat publik dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat.”Kita menuntut kepada Presiden Jokowi untuk kembali kepada koridor demokrasi,” tambahnya.
Mahasiswa memastikan aksi akan terus berlanjut hingga presiden merespon kritik yang disampaikan oleh masyarakat kampus akhir-akhir ini.
Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana menilai respon kampus terhadap situasi politik yang terjadi akhir-akhir ini sebagai peringatan bagi para peserta Pemilu, pejabat negara, serta penyelenggara Pemilu. Ia menyebut penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2024 tidak boleh main-main dan merusak esensi demokrasi.
“Respon dari Civitas akademika ini merupakan hal baik ditengah banyak kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan,” ucapnya.
Semua pihak tidak boleh tinggal diam kata Ihsan, harus ada respon dan mekanisme hukum yang bekerja dalam menindaklanjuti permasalahan yang sudah terjadi. Respon yang muncul dari para akademisi ini merupakan bagian untuk meminta para penyelenggara Pemilu sungguh-sungguh dalam merespon segala bentuk dugaan kecurangan.
“Semua pihak tidak boleh tinggal diam dalam permasalahan yang sudah terjadi, harus ada respon dan tindak lanjut serta mekanisme hukum yang bekerja,” ungkapnya.
Sementara itu founder Haidar Alwi Institute (HAI) R. Haidar Alwi menyampaikan pendapat berbeda soal munculnya aspirasi dari civitas kampus itu. Dia menduga ada pihak yang memanfaatkan momentum, sekaligus memobilisasi suara para akademisi itu. “Karena bisa serentak muncul di dua pekan menjelang pemilu ini,” katanya.
BACA JUGA: Akademisi Warning Jokowi
Dia khawatir ada motif menggoyang posisi Presiden Joko Widodo dengan isu-isu demokrasi, dinasti, dan netralitas. “Gerakan tersebut sengaja memanfaatkan tensi politik jelang pemilu yang memang sudah tinggi. Sehingga dapat memicu chaos yang lebih besar,” kata Haidar pada Selasa (6/2).
Haidar mengatakan situasi saat ini sangat mengherankan dan patut dipertanyakan. Karena dalam waktu dua minggu sebelum pemilu, puluhan kampus kompak menyuarakan aspirasinya. Menurutnya, jika tidak ada aktor yang memobilisasi, rasanya sulit menggerakkan akademisi dari banyak kampus seperti itu. “Kecuali hanya untuk ikut-ikutan,” katanya. Haidar mengatakan kalau memang kritik murni, kenapa baru disampaikan sekarang.
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Maria mengungkapkan, perspektif hak anak masih sangat minim dalam praktik elektoral di Indonesia. Buktinya, dalam pemilu dan pilkada kali ini kasus pelanggaran hak anak masih cukup besar.
”Kami sudah melakukan pengawasan perlindungan hak anak dalam politik sejak 10 tahun terakhir, artinya lima kali pemilu dan pilkada, ternyata pelanggarannya masih terjadi,” ujarnya dalam Media Talk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) di Jakarta, kemarin (6/2).
Bentuk pelanggarannya pun banyak yang berulang, namun tak jarang yang baru. Hingga kemarin, pihaknya mencatat ada sekitar 53 kasus pelanggaran hak anak pada masa penyelenggaraan pemilu dan pilkada ini. Adapun, 6 diantaranya merupakan laporan masyarakat dan sisanya hasil pengamatan di lapangan baik itu secara langsung maupun melalui media sosial.
”Misalnya, menjadikan anak sebagai jurkam atau penganjur untuk memilih calon tertentu melalui rekaman video yang kemudian disebar di medsos,” paparnya. Kemudian, kasus anak yang dijadikan operator politik uang oleh caleg di Palembang, tokoh politik yang melibatkan anak untuk memilih caleg tertentu, hingga penggunaan tempat pendidikan termasuk pondok pesantren menjadi lokasi kampanye oleh petinggi politik maupun timsesnya. ”Padahal ini sudah dilarang,” sambungnya.
Atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, ia mengaku sudah berkoordinasi dengan KPU, Bawaslu, dan KemenPPPA untuk kemudian bisa ditindaklanjuti. Diakuinya, sejauh ini, sanksi kebanyakan hanya seputar administrative saja. ”Tapi kabar gembira juga, ada yang sampai penegakan hukum. Ini agar menjadi pembelajaran untuk calon atau paslon lain untuk gak main-main dengan hak anak,” tegasnya.
Sebetulnya, pihaknya sudah memitigasi kasus-kasus ini sejak awal tahun lalu. KPAI telah rapat dan melakukan koordinasi menerus dengan pihak-pihak terkait agar pelanggaran terkait hak anak tidak terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Sayangnya, kondisi ini masih terulang kembali.
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KemenPPPA Ciput Eka Purwanti mengungkapkan, orang tua harusnya peka terhadap hak anak. Dia menekankan, bahwa anak selayaknya orang dewasa yang memiliki hak penuh. Sehingga tak boleh disepelekan. Termasuk, soal hal-hal yang berkaitan dengan pengikutsertaan anak dalam kampanye-kampanye pemilu dan pilkada.
”Apa gak deg-degan anak-anak itu? Biasa di rumah tiba-tiba ada di stadion yang rame banget. Anak kan beda-beda, tidak semua nyaman dengan kondisi tersebut,” jelasnya.
Dia pun turut mengusulkan adanya teguran atau sanksi untuk para orang tua yang masih melibatkan anak dalam kampanye-kampanye pemilu dan pilkada tersebut. Dengan begitu, orang tua bisa lebih memperhatikan hak-hak anak.
”Selama ini hanya parpol dan paslon yang ditegur Bawaslu, harusnya orang tua harus mendapat teguran serupa,” ungkapnya. (sur/jpg)