RADARBEKASI.ID, BEKASI – Hampir sebagian besar negara di dunia sekarang telah mengadopsi sistem demokrasi. Sistem pemerintahan yang berbasis demokrasi dianggap yang terbaik dibandingkan sistem yang lainya. Karena sistem demokrasi dapat mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat yang ada didalamnya.
Meskipun dalam praktiknya tidak mudah untuk dijalankan, tetapi sistem ini menjanjikan sebuah persamaan hak dan kewajiban. Negara yang dijalankan dengan pemerintahan otoriter pun hari ini mengaku mengadopsi nilai – nilai demokrasi dengan cara menyisakan corak budayanya masing – masing.
Sejatinya sistem demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang ingin mewujudkan kedaulatan rakyat. Dimana rakyat berasal dari kata “demos” dan kekuasaan yang berarti “kratos” yang berarti kekuasaan ditangan rakyat.
Berbeda dengan pemerintahan yang otoriter yang kekuasaannya dijalankan terpusat dan melihat kebebasan individu sebagai sebuah ancaman bagi kekuasaan.
Kepala negara atau presiden dalam sistem demokrasi dipilih melalui mekanisme pemilihan umum dengan “one men one vote” suara terbanyak menjadi pemenangan dan berhak untuk memimpin pemerintahan. Kekuasan presiden di negara demokrasi dibatasi agar tidak menumbuhkan kekuasaan yang otoriter.
Di Indonesia sendiri kekuasaan presiden dibatasi 5 tahun dan hanya boleh memimpin selama dua periode, yang artinya kekuasaan hanya berjalan selama sepuluh tahun. Tetapi dalam prakteknya sistem demokrasi bisa tidak bekerja dengan baik dan juga bisa mati di suatu negara.
Kenapa Demokrasi Bisa Mati?
Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam bukunya “How Democracies Die” mengatakan bahwa demokrasi bisa mati dengan dua cara, pertama demokrasi mati dengan cara pemimpin yang sah terpilih lewat pemilihan umum yang demokratis di tengah perjalanan dikudeta rezim militer.
Yang kedua, demokrasi mati jika pemerintahan yang memimpin ingin melanggengkan kekuasaanya dengan ikut dalam pemilihan umum dengan cara merusak sistem demokrasi dari dalam. Dalam praktiknya kita bisa belajar dari sejarah apa yang sudah terjadi di Jerman dan Chile.
Pada tanggal 8 November 1923 Adolf Hitler pemimpin diktator Nazi Jerman melakukan percobaan kudeta di Kota Munchen. Awalnya, Hitler mengira kudeta yang dilakukan akan berhasil tetapi justru dapat digagalkan oleh polisi dengan bantuan dari militer, sedangkan banyak pendukung yang akhirnya mundur dan meninggalkannya.
Kejadian itu membuat Hitler mengalami luka ringan dan membuatnya harus mendekam di penjara. Kegagalan kudeta itu tidak menyurutkan langkanya, berbalik justru membuat pamornya naik dan menjadi politisi yang diperhitungkan Jerman.
Setelah keluar dari penjara, Hitler melakukan perubahan strategi politiknya dengan membentuk partai dan mengikuti pemilu, sampai pada akhirnya Hitler menang lalu diangkat sebagai kanselir Jerman.
Kemudian, pada tanggal 27 Februari 1933, terjadi konspirasi kebakaran di Gedung Reichstag (Gedung Majelis Parlemen Jerman), Adolf Hitler langsung datang ke lokasi dengan memanfaatkan momen tersebut untuk berkomunikasi kepada awak media dan menuduh simpatisan komunis dari Belanda sebagai dalang atas kejadian tersebut.
Setelah itu, dia memunculkan dekrit darurat militer dan terjadilah penangkapan besar – besaran terhadap lawan politiknya dengan menuduh komunis, serta dengan cepat dia memberangus sistem demokrasi dan kebebasan sipil.
Presiden Sosialis Chili Salvador Allende terpilih melalui pemilu demokratis yang digelar pada tahun 1970. Awalnya, kemenangan Allende dirayakan masyarakat Chili karena dia menjadi presiden yang merepresentasikan kemenangan bagi para rakyat pekerja, petani dan masyarakat adat.
Program Allende yang berfokus pada nasionalisasi industri, jaminan pendidikan dan kesehatan dan redistribusi lahan petani populer dan sukses untuk peningkatan ekonomi dan menurunkan pengangguran. Tetapi kondisi ini tidak bertahan lama, Allende mendapatkan perlawanan dari kalangan oligarki yang tidak senang dengan kebijakanya.
Kemudian situasi itu dimanfaatkan oleh pemimpin militer Chili Pinochet untuk melakukan kudeta berdarah terhadap pemimpin yang sah terpilih melalui jalan demokrasi.
Sejarah mencatat kita pernah mengalami Demokrasi Pancasila ala Orde Baru (1966-1998) yang membawa rezim orde baru Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Suharto merusak sistem demokrasi dengan cara membubarkan partai dengan membentuk dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan satu Golongan Karya berdasarkan fusi yang kesemuanya dapat kendalikan.
Kebebasan berekspresi warganya dibatasi, media mendapatkan sensor ketat dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan untuk mencoblos Golkar setiap pemilu. Munculnya berbagai kecurangan, intimidasi dan tekanan yang dimobilisasi untuk membantu memenangkan Golkar.
Kemudian Soeharto dipaksa turun karena tekanan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menginginkan perubahan dan lahirlah demokrasi pasca reformasi hingga sekarang.
Jokowi mengkhianati reformasi
Awalnya, kemenangan pertama Jokowi pada pilpres 2014 memberikan harapan baru akan tumbuhnya meritokrasi demokrasi di Indonesia. Saat proses kampanye politik berlangsung banyak aktivis dan pegiat demokrasi ikut pasang badan mendukungnya. Tak berhenti disitu, banyak mantan aktivis yang mendirikan relawan dengan sukarela untuk memenangkannya.
Karena Jokowi lahir di tengah oase adanya harapan politik perubahan di tengah kejenuhan terhadap pemimpin yang ada yang tidak mewakili kalangan masyarakat. Dia dikenal sebagai pemimpin yang merakyat dengan sering turun langsung ke warga dan memperkenalkan model kampanye blusukan.
Kemudian tahun 2019 Jokowi dengan mudah memenangkan pilpres untuk kedua kalinya. Kekecewaan pendukung terutama kalangan aktivis dan pegiat demokrasi dimulai dari keputusannya untuk menggandeng rivalnya Prabowo Subianto masuk kedalam pemerintahan dengan dalih rekonsiliasi dan demokrasi gotong royong.
Publik terpedaya dan ditanamkan persepsi bahwa dengan masuknya ke Prabowo ke jajaran pemerintahan berarti kondisi akan damai akibat polarisasi politik yang ditimbulkan pasca pemilu, tetapi yang terjadi justru perlahan – lahan menghilangkan oposisi di pemerintahannya.
Tak berhenti disitu, untuk melemahkan oposisi, Jokowi terus menggandeng lawan politik lainya, mulai dari masuknya Sandiaga Uno, Zulkifli Hasan, dan yang terakhir Agus Harimurti Yudhoyono yang notabene selama ini menjadi oposisi dan selalu kritis dengan pemerintahan. Sehingga praktis hari ini hanya menyisakan PKS sebagai partai oposisi pemerintah.
Janji akan membangun SDM sebagai prioritas utama dalam periode kedua pemerintahan pun tidak berjalan baik, fakta nya kini hanya 6% penduduk Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan tinggi.
Jokowi lebih memfokuskan infrastruktur sebagai agenda politiknya, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang pembuatan UU IKN hanya sepihak dan mengabaikan proses demokrasi dengan mengabaikan masukan beberapa pihak.
Bahkan, disaat pandemi Jokowi tanpa ragu mengesahkan Undang – Undang Cipta Kerja yang menjadi kontroversi karena dinilai banyak pasal yang membatasi hak – hak pekerja. Belum lagi masalah UU ITE sudah diteken Jokowi beberapa kali yang pasalnya dinilai telah menjadi alat represi kebebasan berbicara di dalam demokrasi.
Publik dibuat kaget dengan majunya Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution ke dalam pilkada dengan memanfaatkan relasi kekuasaan atas dalih berkompetisi dalam demokrasi. Ketika kritik terhadap politik dinasti muncul, mereka selalu membikin bantalan isu bahwa setiap anak bangsa berhak untuk berbakti kepada negara.
Tak berhenti disitu, karpet merah pun diberikan oleh PSI untuk anaknya Kaesang yang tidak ada pada sejarah sebelumnya, orang masuk dua hari menjadi anggota partai, di hari ketiga menjadi ketua umum partai politik. Kemudian, ketika isu perpanjangan masa jabatan Presiden dua tahun karena pandemi, dan isu presiden bisa menjabat tiga periode yang mendapat penolakan publik, publik kembali dibuat kaget menjelang akhir pendaftaran capres – cawapres oleh putusan MK terkait batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang menyebutkan bahwa calon yang pernah terpilih melalui pemilu dapat mencalonkan meskipun belum berusia 40 tahun.
Jokowi melakukan pembiaran terhadap putusan MK terkait batas usia dan orang mulai tersadar bahwa Jokowi sedang membangun politik dinasti dengan merusak sistem demokrasi.
Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dipertontonkan secara terang benderang saat pemilu sedang berjalan. Dugaan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), adanya indikasi mobilisasi perangkat daerah dan praktik politik gentong babi dengan melakukan pemberian bansos saat pemilu menggunakan sumber daya negara demi kepentingan politik menyelimuti setiap tahapan pemilu kali ini.
Serta keberpihakan yang ditujukan kepada salah satu calon presiden, menimbulkan problem etika meresahkan berbagai kalangan, Peringatan gerakan moral suara dari para guru besar dan civitas akademik di beberapa kampus tidak dihiraukan.
Bahkan, pemilu belum diputuskan pemenangnya santer terdengar kabar program makan siang gratis salah satu calon sudah ikut dibahas dana dianggarkan saat rapat kabinet pemerintah. Kondisi ini seolah menguatkan indikasi bahwa dugaan terkait prakondisi kemenangan salah satu calon yang sudah sebelum pemilihan itu benar ada.
Kini masyarakat, aktivis dan pegiat demokrasi yang dulu mendukunya pelan – pelan mulai balik badan dan mengerti bahwa orang yang dulu mereka dukung sebagai orang merepresentasikan demokrasi adalah orang lahir dari seorang pengusaha yang mempunyai mental pragmatis yang peduli dengan demokrasi. Bahkan dia telah merusak sistem demokrasi pasca reformasi untuk melanggengkan kekuasaan politik dinastinya.
Ahli Sejarah Inggris Lord Acton mengingatkan kita bahwa “pemerintah selalu dijalankan oleh manusia tetapi manusia juga melekat kelemahan, manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, begitupun manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menggunakan secara tak terbatas pula (power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely). (*)