Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Penguatan Nilai-nilai Kearifan Lokal di Era Disrupsi Komunikasi

Oleh: Dr. Ika Yuliasari, M.Si.

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya, Ketua Departemen Organisasi Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Perbincangan tentang disrupsi, pergeseran tatanan kehidupan, dan eksistensi kearifan lokal mengemuka sejak revolusi industri berlangsung secara global.

Disrupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai suatu hal yang tercabut dari akarnya. Proses disrupsi merupakan interupsi pada kegiatan yang telah berlangsung berkesinambungan.

Memasuki era revolusi industri pemanfaatan teknologi komunikasi dan media baru mengakibatkan informasi global dan budaya asing mudah diakses warganet. Interaksi komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, bahkan komunikasi massa mengalami perubahan dengan pemanfaatan platform media internet seperti Blog, Website, Whatsapp, Instagram, Telegram, Facebook, Youtube, Google Meet, Zoom, Skype, X (Twitter), e-commerce, dan platform lainnya.

Schwab (2019) menyatakan bahwa disrupsi berlangsung dengan konvergensi aspek fisik, digital dan biologi. Di era disrupsi, organisasi media melakukan adaptasi dengan konvergensi platform media digital sehingga masyarakat mudah memperoleh informasi di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ideologi, pendidikan, dan sebagainya.

Bahkan media sosial seperti Instagram, Tiktok, Youtube, dan Facebook digunakan organisasi media konvensional sebagai sarana transformasi pesan kepada khalayak. Dinamika dunia virtual tersebut dapat berimplikasi pada pergeseran budaya komunikasi masyarakat dimana interaksi secara fisik tergantikan dengan interaksi secara virtual (daring).

Gangguan disrupsi memunculkan permasalahan komunikasi di dunia virtual seperti fenomena kecemasan komunikasi , pelanggaran ekspektasi komunikasi, hoaks (berita bohong), ujaran kebencian (hate speech), perundungan, trolling (pesan ancaman), toxic relationship (hubungan tidak sehat), flexing (pamer di media sosial ), fear of missing out (FOMO- kecemasan ketinggalan informasi media), trend imitasi budaya asing, menurunnya kebanggaan pada produk budaya nasional dan modus kejahatan dunia siber.

Realitas yang terjadi adalah interaksi komunikasi media sosial yang bersifat serba cepat menimbulkan risiko proses penerimaan pesan dan pemahaman pesan kurang optimal.

Peran aktor komunikasi di dunia virtual seperti influencer, buzzer, endorser, selebgram, gamers, youtubers diharapkan dapat menjaga kesimbangan ekosistem komunikasi.
Namun acapkali muncul sengketa informasi akibat rendahnya literasi digital warganet, memudarnya etika komunikasi dan menurunnya kepatuhan warganet terhadap regulasi.

Apabila tidak dilakukan strategi untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif media digital, maka fenomena viral dan algoritma media sosial berpotensi menjadi celah pelanggaran Undang-Undang ITE

Ancaman lain dalam proses disrupsi adalah terganggunya sistem civil society dimana ikatan sosial yang terbentuk oleh nilai nilai kehidupan masyarakat mengalami gangguan.

Contoh gangguan terhadap civil society adalah merebaknya budaya komunikasi instan, pelanggaran etika komunikasi, lunturnya sikap simpati empati, renggangnya interaksi individu, menurunnya ikatan sosial dan gotong royong, berkurangnya nilai toleransi, friksi dalam interaksi, konflik dengan isu SARA dan kurangnya pemahaman tentang identitas bangsa.

Dinamika komunikasi digital dan beragam dampaknya menjadi penanda bahwa aktivitas komunikasi secara fisik dan virtual mengalami perubahan signifikan. Dengan kondisi tersebut, apakah masyarakat Indonesia memiliki kecukupan pengetahuan literasi digital dan kekuatan mental untuk menahan gempuran informasi global? Indonesia dikenal dengan ciri khas budaya dan sistem kehidupan masyarakat heterogen.

Keragaman budaya yang ber-Bhinneka Tunggal Ika menjadi identitas bangsa yang sarat nilai-nilai kearifan lokal dan ditransformasikan antar generasi.
Kearifan lokal sebagai rangkaian pemahaman dan pandangan hidup terhadap lingkungan alam dimana warga berdiam diaktualisasikan dalam kehidupan sehari hari. Local wisdom sebagai gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, tertanam baik dan dipatuhi warga masyarakatnya.

Quaritch Wales memberikan istilah Local genius yakni kemampuan kebudayaan masyarakat di suatu tempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing di waktu kedua kebudayaan berhubungan (Rosidi, 2011).

Nilai nilai kearifan lokal diwujudkan dalam sistem pemerintahan, sistem sosial, norma sosial budaya, kepercayaan, tata bahasa, sikap dan pola perilaku, busana adat, ritual upacara adat, cagar budaya dan karya budaya yang dimiliki oleh masyarakat.

Eksistensi aturan agama di Indonesia dan kearifan lokal dapat menahan pengaruh budaya asing, mendukung adaptasi budaya asing sesuai nilai-nilai lokal dan memberikan arah pengembangan budaya tanpa meninggalkan karakter identitas lokal. Demikian luhurnya nilai kearifan lokal, maka aktualisasinya dalam kehidupan masyarakat menjadi akar identitas bangsa yang harus dilestarikan.

Pesatnya perkembangan teknologi dan pergeseran di era disrupsi tidak bisa dihindari oleh masyarakat Indonesia. Permasalahan tersebut harus dihadapi dengan upaya kuat dalam membendung dampak negatif disrupsi .

Hasil survei APJII (Kominfo, 2024) menunjukkan total populasi warga negara Indonesia sebesar 278,6 juta jiwa dengan persentase pengguna internet berjumlah 79,5 persen atau sebanyak 221 juta jiwa.

Kontribusi pengguna internet secara berurutan adalah kalangan generasi Z, generasi milenial, generasi X, baby boomers, post generasi Z serta pre boomers.

Dominasi generasi milenial dan generasi Z Indonesia dalam pemanfaatan internet tersebar di wilayah perkotaan hingga perdesaan dan diindikasikan dengan meningkatnya aktivitas komunikasi di media internet dan media sosial.

Keterbukaan informasi publik didukung perkembangan teknologi menghantarkan generasi milenial dan generasi Z menemukan wadah kreativitas di media digital.

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan perubahan dalam interaksi sosial namun di sisi lain menghantarkan masyarakat menuju masyarakat informasi. Fukuyama (1999) menjelaskan bahwa pada masa revolusi industri, disrupsi menjadi gangguan dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Transformasi masyarakat industri menjadi masyarakat informasi menimbulkan guncangan sistem sosial. Sebagai contoh guncangan adalah degradasi nilai-nilai budaya bangsa, merosotnya ikatan sosial masyarakat, peningkatan tindak kriminalitas dan kerenggangan ikatan sosial keluarga.

Berdasarkan hasil riset Yuliasari (2023), generasi Z dan generasi milenial di wilayah lokal telah menggunakan media sosial sebagai sarana memperoleh informasi pemerintah, pendidikan, budaya, agama, politik, perdagangan dan hiburan.

Salah satu temuan di wilayah Provinsi Banten adalah generasi muda di Baduy Luar Desa Kanekes menggunakan smartphone (telepon seluler) dan mengakses beragam informasi termasuk transaksi perdagangan produk lokal Baduy.

Pada dasarnya modernisasi sarana komunikasi warga Baduy tidak sesuai dengan peraturan adat Sunda Wiwitan yakni larangan penggunaan teknologi komunikasi. Dampak negatif penyimpangan tersebut dapat menimbulkan kerentanan berupa penurunan kesadaran masyarakat dalam menjaga nilai-nilai kearifan lokal dan pelanggaran etika komunikasi di media digital.

Dampak positifnya adalah kemampuan adaptasi pemanfaatan teknologi komunikasi menghantarkan masyarakat menjadi lebih inovatif dan kreatif.

Nilai-nilai kearifan lokal mengalami transformasi dari generasi ke generasi dan menjadi unsur pembentuk identitas bangsa. Menghadapi era disrupsi komunikasi yang penuh gejolak dan perubahan, dibutuhkan strategi penguatan nilai-nilai kearifan lokal agar stabilitas kehidupan masyarakat dan karakter jati diri bangsa tetap terjaga.

Pertama, peningkatan pengetahuan dan aktualisasi nilai nilai kearifan lokal di lembaga sosial keluarga. Generasi muda berkembang secara fisik dan psikis dengan proses belajar dan bimbingan orangtua di lingkungan keluarga.

Pola komunikasi keluarga dan pengasuhan anak dapat dilakukan dengan pengenalan nilai nilai ideologi Pancasila, aturan agama dan norma sosial budaya untuk membentuk karakter. Bimbingan keluarga dapat ditekankan pada penyeimbangan interaksi komunikasi secara fisik dan penggunaan media internet oleh anggota keluarga.

Sebagai contoh adalah etika komunikasi dengan bahasa lokal dan bahasa Indonesia yang baik, memiliki sikap dan perilaku sesuai tata krama, melakukan seleksi terhadap arus informasi budaya asing dan mematuhi regulasi berlaku. Upaya ini diterapkan untuk membentuk ikatan sosial secara fisik, membendung gempuran budaya asing dan penanaman nilai kebanggaan individu pada identitas bangsa.

Kedua, sosialisasi dan pembelajaran tentang UUD 1945, ideologi Pancasila ,nilai nilai kearifan lokal dan regulasi terkait interaksi di media komunikasi digital. Program tersebut dapat dilaksanakan di lingkungan sekolah, perguruan tinggi, lembaga pemerintah, lembaga swasta dan organisasi masyarakat.

Pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai ideologi, norma agama dan budaya lokal mendukung aktualisasi sikap dan perilaku masyarakat. Sebagai contoh adalah perancangan materi pembelajaran sekolah dengan muatan ideologi Pancasila, agama, kewarganegaraan dan nilai-nilai budaya setempat.

Implementasi di tingkat lembaga publik dapat dimanifestasikan dalam birokrasi pelayanan dan budaya kerja berbasis kearifan lokal. Literasi digital, pemahaman regulasi UU ITE serta regulasi global menjadi faktor pendukung proses transformasi masyarakat informasi.

Ketiga, penerapan kebijakan pemerintah dan lembaga terkait dalam operasionalisasi platform media digital di Indonesia untuk menanggulangi derasnya informasi global. Langkah penertiban dapat dilakukan dengan pembatasan informasi dan pemblokiran konten media seperti pornografi, kriminalitas, informasi negatif berbau SARA, ujaran kebencian, berita bohong, dan informasi negatif lainnya.

Keempat, penerapan program kegiatan masyarakat yang membangun interaksi sosial secara fisik dan virtual. Ikatan sosial masyarakat akar rumput menjadi modal dalam membentuk karakter gotong royong, kerjasama, toleransi, simpati, dan empati. Interaksi komunikasi di forum dasa wisma, perkumpulan pemuda pemudi, forum pertemuan warga masyarakat dan forum komunitas masyarakat dapat menjadi pembentuk harmoni dan penguat ikatan sosial.

Kelima, kolaborasi berbagai pihak dalam promosi produk budaya kepada masyarakat khususnya generasi muda seperti bahasa, busana, kuliner, filosofi hidup, tata krama, karya budaya, ritual budaya dan sebagainya. Beragam kegiatan secara fisik, virtual maupun hybrid dapat dikemas dalam bentuk festival budaya, talk show, pameran budaya, karnaval, duta pertukaran budaya, kompetisi produk lokal dan sebagainya. Kolaborasi program promosi secara daring dan luring mendorong tumbuhnya kecintaan dan pelestarian budaya Indonesia.

Berdasarkan uraikan tersebut, strategi penguatan nilai- nilai kearifan lokal dan peningkatan literasi digital menuntut langkah terintegrasi dari berbagai pihak. Dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, lembaga swasta, masyarakat dan pihak terkait untuk transformasi pengetahuan budaya, praktek berbudaya dan pemanfaatan media digital di era disrupsi. (*)