Berita Bekasi Nomor Satu

Jumlah Siswa Putus Sekolah Bertambah

ILUSTRASI: Sejumlah pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) menaiki angkutan kota (angkot) di Jalan Gatot Subroto, Cikarang Utara, belum lama ini. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Siswa putus sekolah masih ditemukan di Kabupaten Bekasi. Bahkan jumlahnya dinilai terus bertambah meski secara persentase kecil.

Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi, Heri Herlangga mengakui apabila masih ada anak putus sekolah.

“Ya masih ada anak putus sekolah. Biasanya saat anak dari kelas tiga naik ke kelas empat. Kalau kelas satu, dua, tiga masih belum,” katanya.

Menurut dia, terdapat kenaikan jumlah siswa putus sekolah setiap tahun. Namun jika dibanding dengan jumlah siswa yang terus bertambah, persentase putus sekolah cenderung menurun.

“Memang secara jumlah bertambah tapi kalau persentase turun karena jumlah sisa kan meningkat. Sehingga relatif kecil dengan persentase di bawah nol koma sekian persen,” ucap dia.

Berdasarkan data 2022 Dapodik Pusdatin, di Kabupaten Bekasi terdapat 284 siswa jenjang SD yang putus sekolah, 137 siswa jenjang SMP, 14 siswa jenjang SMA, dan 125 siswa jenjang SMK.

Beberapa faktor penyebabnya antara lain masalah lingkungan, pergaulan, hingga ekonomi keluarga. Fenomena putus sekolah ini tidak hanya terjadi pada anak di usia remaja, tetapi bahkan sejak duduk di kelas 3 ke 4 SD.

BACA JUGA: Pendidikan Belum jadi Investasi Sebabkan Belum Optimalnya Wajib Belajar 12 Tahun di Kabupaten Bekasi

Adanya tiga faktor itu, Heri menyampaikan, para orang tua terutama kepala keluarga bisa lebih maksimal dalam pola asuh anak.

Meskipun aspek ekonomi dapat dibantu melalui program pemerintah dengan program sekolah gratis, namun biaya kebutuhan sekolah masih diperlukan. Sehingga hal ini membuat seorang anak berhenti sekolah karena terpaksa harus membantu ekonomi keluarga.

“Fenomena ini ada. Tidak tega melihat orang tuanya bekerja, jadi anak juga ikut bekerja. Apalagi mungkin ada adik-adiknya juga yang harus diberi makan,” ucap dia.

Kemudian, terkait perlunya pola asuh anak yang lebih baik dari orangtua. Pihaknya memberikan tugas khusus kepada guru bimbingan konseling (BK).

Sebab pola asuh yang kurang baik dapat membuat anak menjadi bandel dan siswi menjadi salah pergaulan. Sehingga harus dikeluarkan dari sekolah.

“Karena tidak diperhatikan orang tuanya, anak terbawa lingkungan yang buruk sampai tidak pernah sekolah, membandel sampai akhirnya mendapatkan sanksi dikeluarkan dari sekolah. Faktor ini menambah jumlah putus sekolah,” ucap dia.

Menurut Heri, pola asuh sangat berperan penting dalam pendidikan anak. Mereka yang terjerumus lingkungan negatif karena kurangnya perhatian orang tua. Bisa karena sibuk bekerja atau orang tua yang bercerai hingga anak menjadi korban.

BACA JUGA: Wajib Belajar 12 Tahun Belum Optimal di Kabupaten Bekasi

“Keberadaan sosok ayah dan ibu sangat penting bagi anak. Karena kan anak ini peniru yang baik, segala sesuatu meniru dari orang tuanya. Ketika orang tua tidak hadir, anak akan meniru pada sosok yang lain atau lingkungan. Ini yang terjadi,” ucap dia.

Menurut Heri dengan menempatkan seorang guru konseling di setiap sekolah, baik SD maupun SMP, membantu anak saat mengalami persoalan agar tidak sampai putus sekolah.

Hanya saja langkah ini belum sepenuhnya maksimal karena jumlah guru konseling yang terbatas.

“Biasanya guru konseling kan di SMP dan SMA, tapi kami tempatkan juga di SD. Hanya saja memang jumlah guru ini terbatas. Baru sekitar 30 persen SD yang sudah memiliki guru konseling, itu pun yang di wilayah perkotaan,” ucap dia.

Langkah lainnya yakni dengan mendorong anak putus sekolah ikut pendidikan penyetaraan.

“Misalkan ikut paket A, B atau C. Walau terpaksa harus keluar dulu sekolah, tapi bisa lanjut lagi lewat penyetaraan. Kami membantu ini, karena minimal nanti anak-anak putus sekolah ini bisa melanjutkan pendidikannya meski sempat tertunda,” ucapnya.(and)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin