Berita Bekasi Nomor Satu

Pasport Kehendak Allah (2): Allah Mengantar ke Nabawi

Hazairin Sitepu berada di Tanah Suci. FOTO: DOKUMEN HAZAIRIN SITEPU

Oleh: Hazairin Sitepu

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rencana ikut City Tour ke Thaif bersama jamaah KBIHU YPHB hari Minggu itu saya batalkan. Saya harus ke Stasiun Haramain Ekspres Mekkah. Mau beli ticket ke Madinah. Naik Haji kali ini saya memang ikut KBIHU YPHB Kota Bogor.

Pukul 08:00 naik taksi dari hotel. Hanya kurang-lebih 20 menit sampai di stasiun. Sangat megah. Mewah. Lebih mewah dibanding stasiun kereta super cepat di Changsa.

Saya langsung ke depan meja penjualan ticket. Seorang petugas perempuan berbusana hitam-hitam, bercadar, melayani dengan ramah. Saya menunjukkan nomer pasport. “Bussenes or economics?” tanya perempuan itu. “Ekonomi,” jawab saya. “How many tickets you need,” tanyanya lagi. “Only one. Only me,” jawab saya.

“Your time Is still very long. Open gate twelev o clok,” katanya sambil menyerahkan tiket ke saya.

Saya menuju petugas dekat eskalator ke lantai dua. Rupanya saya harus menunggu di gate yang sedang dijaga petugas itu. “You can sit enywhere antil twelev,” katanya. Masih dua jam lagi.

Saya duduk sambil terkantuk-kantuk. Tahan, tidak boleh ketiduran. Harus orang pertama masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Saya ini pergi tanpa pasport.

Sepuluh menit sebelum pukul 12 saya minta izin apakah sudah boleh masuk. Tetap pukul 12:00 baru boleh.

BACA JUGA: Pasport Kehendak Allah (1): Pergi ke Depan Ka’bah

Ternyata di depan saya sudah ada seorang perempuan berbusana terusan warna hitam. Tanpa cadar. Berkacamata. Berkulit putih. Cantik. Saya memasang kuping mendengar dia berbicara dengan petugas pintu masuk. Dalam bahasa Arab medok.

“Astagfirullah. Saya tidak ingin melakukan pelanggaran sekecil apa pun sampai doa saya di depan Ka’bah itu benar-benar terkabul semuanya,” saya beristigfar.

Naik ke lantai dua. Ikut salat dzuhur berjamaah di mushola. Sebelum menuju kereta, saya minta tolong seorang petugas memoto saya di ruang tunggu yang luas itu. Biar ada bukti bahwa benar saya berada di stasiun Haramain.

Berjalan cepat ke gerbong tujuh. Naik ke atas kereta. Mencari nomer seat 156. Saya memang minta seat dekat jendela.

Tepat pukul 13:00 kereta bergerak keluar dari stasiun. Makin cepat. Cepat sekali, sampai mencapai 300 km/jam. Itu kecepatan tertinggi yang saya liat di layar monitor. “Ini saya di atas Haramain Ekspres. Menuju Madinah. Bukan ke Thaif,” bisik hati saya.

Tiba di Madina, saya cepat-cepat keluar dari stasiun. Bertanya ke petugas harus naik kendaraan apa ke Masjid Nabawi. “Ada dua cara. Mau naik taksi atau bus. Semuanya sampai Nabawi,” kata petugas berbaju keream dan bercelana cokelat itu.

Saya pilih naik bis. Hanya bayar 11,5 real. Kurang-lebih 25 menit bis itu tiba di ujung jalan dekat dari Masjid Nabawi. Menara-menara masjid tampak menjulang tinggi. Indah sekali.

Bergegas ke halaman masjid. Ambil wudhu. Cepat-cepat masuk ke dalam masjid untuk salat asar. Sepertinya larangan petugas Maktab masih menghantui.

“Alhamdulillah. Saya akhirnya sampai di masjid rasul-Mu ini tanpa membawa pasport. Ya Allah, Engkau membawaku ke sini tanpa kendala apa pun. Semua urusan Engkau mudahkan. Ini anugerah besar yang Engkau berikan kepada ku. Engkau kabulkan doaku di depan Ka’bah Mu. Terima kasih ya Allah.” Itu doa besar yang ku panjatkan.

Saya akhirnya benar-benar ke Madina Naik Haramain Ekspres. Tanpa pasport di tangan. Berziarah ke Makam Rasulullah Muhammad SAW dengan berlinang air mata.

Menyelesaikan salat lima waktu penuh di Masjid Nabawi. Ketika menulis ini saya sudah di Mekkah Al-Mukarramah. (*)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin