Oleh: Hazairin Sitepu
RADARBEKASI.ID, BEKASI – Apakah Anies Baswedan benar-benar ditinggal pergi oleh partai-partai yang telah menyatakan mendukung dia sebagai calon gubernur Jakarta. Lalu, langkah Anies untuk maju sebagai calon gubernur pun berhenti sampai di sini? Ataukah ‘Yura’?
Manuver politik di Jakarta Agustus ini sepertinya sedang mengerucut kepada satu realitas baru. Kemungkinan enam hal yang bisa ditulis di sini untuk membuktikan realitas baru itu. Hal-hal itu sangat terkait satu sama lain, sekaligus untuk menjawab dua pertanyaan di atas.
Pertama, Ridwan Kamil (Emil), yang sebelumnya lebih santer disebut akan maju dalam Pilkada Jawa Barat pada 2024 ini, oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM), ditarik ke Jakarta. Emil diminta maju dalam Pilkada Jakarta.
Meski secara logika elektoral Emil mungkin saja lebih memilih Jawa Barat. Karena sebagai mantan gubernur (satu periode) dia masih memiliki pengaruh besar di daerah berpenduduk 51 juta jiwa ini.
Sementara jika ke Jakarta, Emil harus berhadapan dengan Anies yang sudah didukung partai-partai Koalisi Perubahan: Nasdem, PKS dan PKB. Hasil survei terakhir Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, elektabikitas Anis di Jakarta (39,7 persen) jauh lebih tinggi dibanding Emil (13,1 persen).
Indikator juga merilis hasil survei terakhirnya di Jawa Barat. Dalam simulasi dua nama, elektabilitas Emil 55,1 persen dan Dedi Mulyadi 38 persen. Jika maju di Jawa Barat, Emil kemungkinan bisa menang langsung.
Kedua, Emil dibawa ke Jakarta untuk memberikan peluang kepada Dedi Mulyadi maju dan memenangkan Pilkada di Jawa Barat. Dedi memang akan dimajukan oleh Gerindra bersama partai koalisi KIM.
Modal elektabilitas 38 persen itu sangat besar. Dedi kemungkinan bisa menang telak jika Pilkada Jabar benar-benar tanpa Emil.
Ketiga, Emil tentu tidak ingin spekulatif masuk Jakarta. Elektabikitas yang baru 13,1 persen itu sudah pasti membutuhkan modal sangat besar, termasuk logistik.
Emil harus meninggalkan elektabikitas 55,1 persen di Jabar, karena itu ia membutuhkan garansi (elektoral) dari KIM untuk menang di Jakarta.
Lalu apa paket negosiasi politik antara Emil-(Golkar) dengan KIM supaya menang? Ibarat mencari onggokan logam di dasar laut dalam, itu harus dideteksi menggunakan sonar.
Tetapi kemungkinan antara lain begini: Emil di Jakarta diusung Golkar-Gerindra dan semua partai koalisi KIM. Emil memang pengurus teras DPP Golkar. Dedi di Jabar diusung Gerindra-Golkar dan semua partai koalisi KIM. Dedi saat ini ketua Gerindra Jawa Barat.
Keempat, supaya Emil menang di Jakarta, maka cara terbaik adalah melakukan ‘tindakan politik ekstrem’: mencegah Anies sebelum deklarasi pencalonan.
Caranya? Membujuk (‘membajak’) satu partai besar di Koalisi Perubahan untuk bergabung ke KIM. Tentu dengan janji manis yang menggiurkan.
Dengan begitu Anies tidak bisa maju, karena jumlah kursi koalisi tidak lagi mencukupi syarat threshold 20 persen. Dan partai yang ‘dibajak’ itu adalah PKS. Ini partai paling besar di Jakarta. Saat ini memiliki 18 kursi di DPRD.
Kelima, Koalisi Perubahan yang tinggal dua partai itu: Nasdem (11 kursi) dan PKB (10 kursi), segera ditarik pula ke KIM. Karena ada kekhawatiran dari pihak KIM dua partai itu berkoalisi dengan PDIP yang memiliki 15 kursi di DPRD Jakarta. Maka, terjadilah apa yang disebut KIM-Plus.
Jika analisis ini memiliki akurasi dan itu benar terjadi, maka Koalisi Perubahan di Jakarta benar-benar bubar. Anies tidak bisa maju sebagai calon gubernur. PDIP pun tidak bisa mencalonkan karena jumlah kursinya tidak memenuhi syarat threshold pencalonan.
Jika Koalisi Perubahan bubar dan PDIP kehilangan peluang mencalonkan, maka akan terjadi calon tunggal.
Hanya ada satu calon saja. Lawannya adalah KOTAK KOSONG. Keenam, lalu siapa calon wakil Emil? Kemungkinan dari partai besar yang dibajak itu: PKS.
Dan PKS pun sudah menyiapkan tiga kader terbaiknya: Suswono (mantan menteri pertanian), Ahmad Syaihku (sekarang presiden PKS) dan Mohammad Sohibul Iman (wakil ketua Majelis Syuro PKS).
Jadi, di Jakarta Emil berpasangan dengan PKS (Emil-PKS). Sedangkan di Jawa Barat Dedi berpasangan dengan calon Golkar (Dedi-Golkar). Ini jika skenario yang menjadi sorotan analisis ini berjalan.
Ataukah manuver itu justru memunculkan semacam second hop kepada Anies. Sehingga bisa ‘Yura’ dengan koalisi baru? Ini hanya analisis.
Tetapi sesungguhnya ‘manuver ekstrem’ ini tidak sekadar untuk memenangkan Pilgub Jakarta, lebih dari itu, untuk kepentingan politik jangka panjang: pemilihan presiden 2029.
Tentang mengapa PKS Masuk KIM, akan dianalisis secara luas pada bagian kedua tulisan ini. (****)