RADARBEKASI.ID, BEKASI – Selama delapan bulan terakhir, ribuan pekerja dari berbagai perusahaan di Bekasi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Fenomena ini antara lain disebabkan oleh perusahaan yang mengganti karyawan tetap dengan tenaga “outsourcing”.
Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat (Disnakertrans Jabar), dari 1 Januari hingga 7 Agustus 2024, terdapat 5.764 orang yang mengalami PHK. Jumlah tertinggi terjadi di Kabupaten Bekasi dengan 1.729 orang dan Kota Bekasi dengan 628 orang.
Sementara itu, data dari serikat pekerja sebanyak 5.000 orang di Kabupaten Bekasi dan 1.000 orang di Kota Bekasi terkena PHK.
“Banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan efisiensi tidak melaporkan kepada instansi terkait,” kata Sekretaris Konsulat Cabang FSPMI Bekasi, Sarino.
Isu ancaman gelombang PHK ini telah disampaikan oleh serikat pekerja sejak UU Cipta Kerja dan aturan turunannya diterbitkan. Mereka berpendapat bahwa ada celah besar bagi perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja karyawan dengan alasan efisiensi.
Sarino menilai tingginya jumlah PHK bukan disebabkan oleh kekalahan dalam persaingan, relokasi perusahaan ke daerah dengan upah lebih rendah, atau alasan lainnya. Praktik di lapangan menunjukkan bahwa perusahaan mengganti pekerja tetap dengan tenaga outsourcing atau magang.
Upaya serikat pekerja untuk menggugat UU Cipta Kerja belum membuahkan hasil, sehingga hukum tersebut harus diterima. Sarino menyarankan agar pemerintah, khususnya Pak Prabowo dan kabinetnya, mampu membuat regulasi untuk mencegah PHK.
“Artinya kita hanya meminta kepada pemerintah, khususnya pak Prabowo dan nanti kabinetnya mampu regulasi untuk bagaimana mencegah terjadinya PHK,” ucapnya.
Solusi seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan pemberian bansos dianggap tidak memadai, karena hanya bersifat sementara. Pekerja yang kehilangan pekerjaan tetap harus memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan keluarga mereka.
“Misalnya orang lapar, hari itu makan, lalu selanjutnya bagaimana?. Orang itu harus, hari itu dikasih minum, setelahnya bagaimana?. Itu bukan solusi menurut saya,” tambahnya.
Sarino mengusulkan agar pemerintah membuat regulasi yang mengatur kerja sama antara perusahaan besar dengan usaha rumahan atau UMKM, sehingga usaha kecil bisa menjadi sub-industri.
Contohnya termasuk memasok komponen bagi industri otomotif atau menyediakan layanan katering. Regulasi ini perlu diatur di tingkat pemerintah daerah hingga pusat sebagai solusi bagi masyarakat pra kerja atau yang terkena PHK.
Terpisah, Sekretaris DPC SPSI Kota dan Kabupaten Bekasi, Fajar Winarno,
mengungkapkan bahwa gejolak PHK telah terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Menurutnya, tidak ada tindakan nyata dari pemerintah untuk membendung barang impor yang membanjiri pasar domestik. Selain itu, pengusaha juga terbebani oleh biaya tinggi, seperti pajak dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil, yang membuat biaya bahan baku impor meningkat.
“Jelas tingginya PHK kalau dianggap karena upah buruh yang tinggi itu tidak benar, buktinya gelombang PHK justru terjadi di wilayah yang upah (UMK) nya lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain,” paparnya. (sur)