RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bekasi mencatat kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi yang tertinggi dibandingkan kasus lainnya.
Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), terdapat 215 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dari Januari hingga September 2024. Jumlah KDRT mencapai 40 kasus.
Tingginya angka KDRT karena perempuan semakin berani untuk melaporkan apa yang mereka alami ke UPTD PPA. Gencarnya sosialisasi dan edukasi yang dilakukan lembaga-lembaga di bawah naungan DP3A, seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), yang melibatkan tokoh masyarakat, juga mendorong para korban untuk melaporkan kekerasan yang dialami.
“Sejak terbentuknya UPTD PPA, layanan PPA, dan Satgas PPA (kasus,red) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kami tidak senang karena kasus meningkat, tetapi senang melihat masyarakat berani melapor. Awalnya, mereka takut, tetapi setelah sosialisasi, mereka berani bicara,” kata Kepala DP3A Kabupaten Bekasi, Iis Sandra Yanti, Senin (14/10).
Menurut Iis, sebagian masyarakat masih menganggap kekerasan sebagai aib rumah tangga. Banyak Perempuan yang takut melapor karena khawatir suami mereka ditahan polisi.
“Seorang istri yang mengalami KDRT tidak mau melapor karena khawatir suaminya ditahan polisi dan siapa yang akan mencari nafkah,” tambahnya.
Iis menekankan bahwa pada kasus-kasus tertentu yang menimpa anak dan perempuan, restorasi justice tidak diperkenankan. Namun, untuk kasus yang menimpa anak di bawah umur, kepentingan anak harus diutamakan.
BACA JUGA: Setiap Bulan 35 Perempuan di Kota Bekasi jadi Korban Kekerasan
“Sebetulnya kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan itu tidak boleh ada yang restorasi justice, kecuali pelakunya adalah anak,” terang Iis.
Selain KDRT, pelecehan seksual juga mendominasi dengan 36 kasus, dan kekerasan fisik sebanyak 25 kasus. Dari 19 jenis kasus kekerasan yang terlapor, 129 anak dan 86 perempuan di Kabupaten Bekasi menjadi korban. DP3A terus berupaya melakukan pendampingan dengan menghadirkan tenaga ahli psikolog dan memfasilitasi bantuan hukum bagi para korban.
“Pelecehan seksual sering kali dilakukan oleh orang terdekat, seperti bapak tiri, bapak kandung, atau guru ngaji. Faktor pengaruh media sosial dan pengasuhan orang tua yang membebaskan anak keluar rumah hingga larut malam juga berkontribusi,” ungkapnya.
Dalam upaya pemberdayaan, pencegahan, dan pendampingan, DP3A berkoordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, termasuk Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Kesehatan untuk penanganan medis korban, serta Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Pengadilan, dan Kepolisian.
“Kita upayakan ditangani dengan tuntas. Kalau sudah masuk ke pengadilan lebih ke arah penegak hukum. Kita sebatas untuk memfasilitasi ketika mereka butuh pendampingan seperti psikolog dan lainnya,” tandas Iis. (ris)