Oleh:Dahlan Iskan
“Saya mahasiswi S-3 fisika awan”, ujar Fitria Sari.
“Saya S-3 entomology,” ujar Siti Fauziyah.
“Saya S-2 urban planning,” ujar Siti Arfah.
“Saya S-1 fisika murni,” ujar Andias Santoso.
“Saya akuntansi dan data science,” ujar Putra Ganesha.
“Saya desain industri,” ujar Aicha dari Malang.
Saya masih ingat acara perkenalan sebelum makan siang di Urbana Champaign, sehari sebelum pulang ke Indonesia pekan lalu.
Hari itu, mumpung di Chacho, saya melakukan perjalanan ke Urbana. Naik mobil. Dua jam. Anda sudah tahu: di situ ada kampus Illinois University Urbana Champaign.
Di tengah jalan saya ingat: anak teman baik saya kuliah di situ. Saya hubungi anak itu: Aicha.
Dalam dua jam, lima mahasiswa asal Indonesia berhasil dia hubungi. Kami ajak makan siang. Mereka sendiri yang memilih restorannya.
Itu hari Sabtu. Mereka sedang libur kuliah. Kami pun makan di restoran Golden Harbor, dekat kampus.
Mereka adalah lima dari sekitar 200 mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universiry of Illinois di Urbana Champaign. Kampusnya Menkeu Sri Mulyani dulu.
Kampus itu begitu besarnya sampai sebagian masuk wilayah kota Champaign, sebagian lagi masuk wilayah kota Urbana.
Dulu Sri Mulyani di kampus selatan –untuk studi ekonomi dan sosial. Lima mahasiswa yang memperkenalkan diri tadi di kampus utara –berbagai macam studi teknik. Dua kampus itu hanya dipisahkan jalan besar.
Yang di utara itu pun juga masih dipisah-pisahkan banyak jalan besar –ada yang utara dekat dan utara jauh. Utara barat dan utara timur.
Dari Chicago saya diantar ke kampus itu oleh Stevanus Nugroho dan istrinya, Monchie. Mereka sudah lebih 30 tahun tinggal di Chicago.
Sebelum itu pun Stevanus sudah enam tahun di Amerika: kuliah teknik elektro di salah satu universitas di Ohio.
Saya diminta tinggal di rumahnya yang besar di kota Chicago. Halaman belakangnya indah dan luas. Tiga anaknya sudah punya rumah sendiri-sendiri. Di garasinya ada tiga mobil, salah satunya mobil listrik mewah: Porsche.
Saya beruntung bertemu lima orang itu. Aicha yang memilih di restoran apa kami makan. Ternyata dia juga yang sudah lebih dulu membayarnya.
Lebih beruntung lagi ada Siti Fauziyah yang sedang mendalami entomology. Dia ternyata sudah dipercaya untuk memegang kunci banyak ruang laboratorium di universitas itu. Berarti Fauziyah digolongkan seorang peneliti yang sangat serius. Suka hidup di laboratorium. Dia juga menjadi asisten pengajar di kampus yang begitu hebat.
Kami pun diajak ke satu gedung. Lima atau enam lantai. Isinya lab semua. Salah satunya adalah lab di mana teknologi MRI ditemukan di universitas ini. Masih ada model-model MRI di awal penelitiannya di situ.
Lalu kami dibawa masuk ke lab partikel material. Lab coating. Lab tentang cara kerja otak. Lab microskop. Dan banyak lagi.
Fauziyah juga mengajak kami ke gedung lain. Melewati taman-taman, halaman, dan jalan aspal. Langkah Fauziyah cepat sekali. Sudah seperti orang Amerika.
Total, empat gedung yang kami masuki. Terpisah jauh-jauh. Semuanya lab. Yang terakhir adalah lab penelitian serangga. Fauziyah akan menjadi doktor serangga. Khususnya capung.
Ketika masih di Kebumen, masih di SMA, Fauziyah terpana akan capung. Hari itu hujan lebat. Hujan angin. Seekor capung terbang di tengah badai. Terlihat kuat terbang melawan angin. Sayapnya tidak menjadi berat karena basah.
Ketika kuliah di jurusan biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fauziyah bertemu profesor tamu dari Finlandia. Dia diskusikan capung itu. Setelah sang profesor pulang kampung, Fauziyah ditelepon: boleh mendalami capung di Finlandia selama enam bulan.
Ketika SMP di Kebumen itu Fauziyah tinggal di pondok pesantren –untuk belajar agama. Pun ketika masuk SMA di Yogyakarta dia tinggal di pondok.
Melihat capung nan sakti, critical thinking Fauziyah berputar. Dia tidak bersikap pupus ”itu keajaiban dari Allah”. Dia berpikir dan bertanya-tanya: ada unsur apa di sayap capung sampai kalis pada air. Lalu: pergerakan sayap seperti apa yang membuatnya mampu terbang melawan badai.
Maka di Illinois U itu Fauziyah mulai berkolaborasi dengan disiplin ilmu material, teknik mesin, aeronautical, dan kimia-coating.
Meski sudah empat tahun di situ, Fauziyah belum akan bisa lulus doktor tahun depan. Mungkin masih dua tahun lagi. Begitu lama untuk bisa jadi doktor di Illinois.
Dari lima mahasiswa itu ada satu yang tidak terlihat mengambil makanan yang begitu banyak di meja bundar: Fitria Sari. Ada nasi goreng, udang mayonese, tahu sapo, daging fillet, irisan ikan goreng tepung, sayur, dan beberapa lagi.
“Saya lagi puasa,” katanyi.
“Ini kan hari Sabtu…,” kata saya.
“Puasa tengah bulan,” jawabnyi.
Saya ingat: nanti malamnya adalah bulan purnama. Bahkan kali ini disebut supermoon. Inilah penampakan bulan yang paling besar. Posisi bulan lagi paling dekat ke bumi.
Habis maghrib ketika kami balik ke Chicago terlihat jelas dari highway. Bulan terbit dengan menornya.
Fitria selalu berpuasa setiap bulan purnama. Dia pun mengutip sebuah dalil dalam bahasa Arab dengan fasih.
Fitria akan jadi ”doktor fisika awan” pertama di Indonesia. Dia sudah ahli meteorologi dan fisika tapi masih terus ingin mendalami perilaku awan. Lewat penelitiannyi tentang fenomena hujan es.
Fitria lahir, sampai SMA, di Pasuruan, Jatim. Ayahnyi pegawai Pemda. Dia bekerja di Badan Meteorologi dan Geofisika. Saya berharap, kelak, jutaan petani bisa tertolong dari ancaman kemarau panjang.
Sudah banyak doktor meteorologi yang kita miliki. Sudah sekitar 40 orang. Namun baru Fitria yang mengkhususkan diri di fisika awan.
Mahasiswa yang masih S-1, mendengarkan dengan tekun banyak hal yang disampaikan Fauziyah dan Fitria.
Mereka adalah para penuntut ilmu berdasar keinginan kuat dari pedalaman tekad mereka sendiri. Mereka adalah para pemburu beasiswa yang tidak kenal menyerah.
Ilmu tidak akan lari ke mana tapi memang harus dikejar. (Dahlan Iskan)