Berita Bekasi Nomor Satu

Cuaca Ekstrem Hantam Petani Sayur di Kota Bekasi, Produksi Anjlok 50 Persen

CANGKUL :Petani Sayuran Darkim (49) sedang mengolah lahan di Kelurahan Perwira, Bekasi Utara, Kota Bekasi, Selasa (17/12). Akibat Cuaca Ekstrem ia mengalami penurunan omset hingga 50 persen. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Cuaca ekstrem yang melanda wilayah Kota Bekasi dan sekitarnya dipengujung tahun ini membuat petani sayuran kelimpungan. Darkim (49) salah satunya.

Petani sayur di Bekasi Utara tersebut mengaku mengalami penurunan produksi hingga 50 persen akibat intensitas hujan yang terlampau tinggi.

“Anjlok sampai 50 persen,” kata Darkim saat ditemui di lahan garapannya seluas 500 meter persegi, Selasa (17/12).

BACA JUGA: Cuaca Ekstrem Kota Bekasi, Waspadai Penyakit pada Anak

Darkim selama ini memilih bertani beragam sayuran mayur seperti kangkung, sawi, kenikir, kemangi, dan pepaya. Pada tahun-tahun sebelumnya, ketika musim penghujan berlangsung normal, Darkim bisa memanen sayurannya dua kali dalam tiga bulan. Namun situasi itu tidak ia dapatkan pada pengujung 2024 ini.

“Hujan deras bikin biji yang ditanam ke bawa air. Kadang busuk dan akhirnya tanaman kita gak bisa tumbuh banyak,” ungkapnya.

Apa yang terjadi pada Darkim tentu saja berdampak pada rantai pasokan dan distribusi di pasar. Dan kondisi ini membuat harga sayuran mulai melambung. Pada kondisi normal, harga kangkung dan sawi bisa dibeli Rp10 ribu per ikat. Namun pada saat cuaca ekstrem sekarang harganya bisa naik dua kali lipat.

“Kalau hujan terus, harga jual ke tengkulak bisa tinggi. Tapi ya itu, kita bersaing sama petani lain, karena mereka juga ngejual ke tengkulak,” jelas Darkim.

BACA JUGA: Cuaca Ekstrem Hantui Mudik Nataru

Meski demikian, Darkim menegaskan, kenaikan harga sayuran tak lantas membuatnya mampu meraup laba yang tinggi. Itu karena persaingan di antara petani sayuran semakin ketat, sementara kualitas sayuran yang dihasilkan juga tidak selalu optimal.

Selain cuaca, masalah lain yang dihadapi petani sayur adalah smahalnya harga pupuk. Darkim mengeluhkan bahwa sejak enam bulan terakhir, ia tidak lagi menerima pupuk bersubsidi dari pemerintah daerah.

“Petani padi masih dapat pupuk subsidi, tapi kita yang petani sayuran gak dapat. Sekarang beli pupuk sendiri Rp200 ribu per karung, kalau pakai subsidi cuma Rp125 ribu,” kata Darkim.

Menurutnya, tanpa subsidi pupuk, biaya produksi meningkat tajam. Ini menjadi beban tambahan di tengah cuaca ekstrem yang sudah lebih dulu menggerus hasil panen. Darkim berharap pemerintah tidak tebang pilih dalam memberikan bantuan subsidi kepada petani.

BACA JUGA: Pengelola Wisata Sunge Jingkem Pastikan Perahu Tak Beroperasi Jika Cuaca Buruk

“Kami juga petani, sama-sama butuh pupuk. Bukan cuma petani padi aja yang harus diperhatikan. Kita butuh subsidi juga,” tegasnya.

Darkim menyadari bahwa dua bulan pertama nanti pada Januari–Februari 2025 akan menjadi periode krusial. Berdasarkan pengalamannya tahun lalu, hujan deras di awal tahun berpotensi besar membuat lahan tergenang.

“Kalau sudah banjir kita nggak bisa ngapa-ngapain. Bibitnya hilang, busuk, semua jadi rugi,” katanya.

Darkim berharap pemerintah lebih peduli dengan nasib petani sayuran. Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan dukungan berupa subsidi pupuk, pelatihan, dan penyuluhan.

“Kalau petani padi diperhatikan, kenapa petani sayur enggak? Sayur itu juga kebutuhan pokok. Kalau makan nasi gak ada sayur, kan gak enak,” ucap Darkim dengan nada kecewa.

Selain itu, ia berharap pemerintah bisa menyediakan solusi agar petani tidak terus-menerus dirugikan oleh cuaca ekstrem. Bantuan teknologi pertanian atau fasilitas pengendalian banjir di lahan garapan bisa membantu mereka menghadapi musim hujan yang panjang. (rez)