RADARBEKASI.ID, JAKARTA-Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa pajak atas layanan transaksi elektronik bukan merupakan kebijakan baru. Pengenaan pajak atas layanan uang elektronik diatur melalui Undang-Undang PPN, yang telah diperbarui menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tertulis bahwa layanan uang elektronik tidak termasuk dalam objek yang dikecualikan dari PPN.
“Oleh karena itu, dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025, layanan uang elektronik juga akan dikenakan tarif baru tersebut,” ujar Dwi yang dikutip dari JPNN, Sabtu (21/12).
“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang mulai berlaku pada 1 Juli 1984. Artinya, ini bukan objek pajak baru,” ungkapnya.
BACA JUGA:PPN 12 Persen Bikin Pengusaha di Bekasi Ketar-ketir
Regulasi lebih rinci terkait penerapan PPN ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022. Layanan yang dikenakan PPN meliputi uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.
Perlu diketahui, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak pada berbagai sektor, terutama sektor digital dan teknologi finansial (fintech). Layanan seperti uang elektronik, dompet digital, dan platform pembayaran berbasis aplikasi akan merasakan langsung dampaknya.
Selain itu, layanan switching, kliring, transfer dana, dan penyelesaian akhir transaksi juga termasuk dalam kategori yang dikenakan PPN. Namun, beberapa sektor tetap dibebaskan dari PPN berdasarkan ketentuan yang berlaku. Sektor jasa keuangan tradisional, seperti perbankan konvensional, asuransi, dan kegiatan penjaminan, masih dikecualikan dari pengenaan PPN.
BACA JUGA:Pengusaha di Kota Bekasi Terbebani Upah dan PPN
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen memicu berbagai tanggapan dari masyarakat. Sebagian kalangan mengkhawatirkan dampaknya terhadap aktivitas transaksi digital yang semakin mendominasi gaya hidup modern. Pengguna uang elektronik merasa terbebani dengan potensi kenaikan biaya layanan, terutama di tengah upaya pemerintah mendorong transformasi digital.
Kelompok masyarakat tertentu menilai bahwa kebijakan ini dapat mengurangi daya beli, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang mengandalkan teknologi finansial untuk transaksi sehari-hari. Namun, DJP Kemenkeu menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan memperkuat basis penerimaan negara sekaligus menjaga stabilitas fiskal.
“Kami meminta masyarakat untuk memahami bahwa kebijakan ini bukan untuk memberatkan, melainkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan merata,” tambah Dwi. (ce1)