Oleh: Dahlan Iskan
PROYEK raksasa ini seperti dipaksa harus selesai sebelum ganti presiden. Ini memang proyek bersejarah. Wajar kalau yang membuat sejarah itu yang sebaiknya meresmikannya. Maka di masa injury time kepresidenannya, Jokowi ke Gresik, Jatim. Ia meresmikan smelter Freeport di situ: investasinya Rp 56 triliun.
Itu 23 September lalu.
Tidak sampai tiga bulan kemudian bencana yang mengejutkan terjadi: salah satu bagian di smelter itu terbakar. Yakni bagian yang mengolah CO2 menjadi zat yang tidak menyebabkan polusi.
Akibatnya: keseluruhan proses pemurnian tembaga dan emas di Gresik itu terhenti. Bagian yang terbakar itu sendiri sebenarnya hanya satu bagian kecil. Ibaratnya hanya gara-gara knalpotnya pecah Ferrari yang mahal tidak bisa jalan.
Bagian yang terbakar itu mungkin hanya bernilai kurang Rp 50 miliar. Tapi karena terbakar menyebabkan investasi Rp 56 triliun jadi ikut terbengkalai. Tidak ada kesedihan yang dialami pengusaha melebihi yang seperti ini.
Tentu bagian itu bisa diperbaiki. Atau kalau kebakarannya berat semua mesin bisa diganti. Apalagi kalau masih dalam waktu penjaminan garansi. Bahkan jangan-jangan belum diserahterimakan. Masih jadi tanggungjawab kontraktor. Belum diserahkan ke pemilik proyek: Freeport.
Meski secara langsung itu kerugian kontraktor tapi Freeport juga rugi besar. Produksinya tertunda.
Padahal tiap tahun smelter di Gresik itu akan menghasilkan 50 ton emas, 900.000 katoda tembaga, dan 210 ton perak.
Berita terakhir, Freeport harus berhenti produksi sampai September 2025. Lama sekali. Berarti hampir satu tahun tertunda.
Kesusnya mengejar target agar bisa diresmikan di akhir masa jabatan Presiden Jokowi sepertinya tidak ada hubungan dengan kebakaran itu.
Freeport adalah perusahaan Amerika Serikat. Manajemennya ala Amerika Serikat. Teknologinya Amerika Serikat. Tidak mungkin Freeport ceroboh mau mengorbankan proyek hanya untuk mengejar peresmian.
Smelter ini luasnya 104 hektare. Lokasinya di kawasan industri milik grup Aneka Kimia Raya (AKR). Anda tentu sering berhubungan dengan AKR. Yakni kalau Anda lagi isi bensin. AKR punya banyak stasiun pompa bensin.
Kawasan industri itu, JIIPE, luasnya 1.500 hektare. JIIPE punya pelabuhan sendiri. Di selat Kamal. Menghadap pulau Madura. Freeport memang memerlukan pelabuhan besar. Freeport harus mendatangkan konsentrat tembaga dari pelabuhan Timika, Papua.
Konsentrat itu berasal dari tanah yang mengandung tembaga, timah, dan emas. Setelah unsur tanahnya dibersihkan jadilah konsentrat.
Tanah yang mengandung emas, tembaga, dan timah itu dikeruk dari pegunungan Papua tidak jauh dari Tembaga Pura. Tanah tersebut “dicuci” di dekat Timika. Tanahnya dibuang di dekat Timika. Konsentratnya dikirim ke smelter untuk dipisah-pisah mana emas, mana tembaga, mana timah.
Sudah sejak 60 tahun lalu konsentrat itu dikirim ke luar negeri. Dimasukkan smelter di luar negeri. Di Jepang dan lain-lainnya.
Baru di era Presiden Jokowi Freeport bisa ditekan agar harus mengolah konsentratnya di dalam negeri. Lalu Freeport memilih lokasi di JIIPE, Gresik.
Begitu besarnya smelter Freeport di Gresik itu sampai bisa mengolah 1,7 juta ton konsentrat setahun.
Pemerintah pun melarang Freeport mengekspor konsentrat. Seperti juga melarang ekspor nikel ore.
Tentu smelter-smelter di luar negeri yang selama ini mendapat bahan baku dari Papua menjerit setengah mati. Mereka pun rebutan bahan baku dari mana pun yang masih bisa didapat.
Kini persoalan muncul: dengan berhentinya smelter Freeport di Gresik bagaimana dengan konsentrat yang dihasilkan Freeport Papua. Tentu Freeport minta dispensasi: agar selama smelternya belum berproduksi diperbolehkan ekspor konsentrat.
Menteri seperti Bahlil Lahadalia sudah tegas menolak permohonan dispensasi itu. Bahkan menteri ESDM itu curiga kalau ekspor diizinkan perbaikan smelternya bisa lebih lambat.
Kasus kebakaran smelter baru Freeport ini tentu menarik ditinjau dari segi apa pun: manajemen proyek, sistem komisioning, manajemen instalasi sampai ke manajemen pengawasan proyek.
Proyek besar yang mirip seperti itu terjadi Krakatau Steel. Lebih 10 tahun lalu. Peleburan baja di Cilegon itu meledak di saat uji coba produksi. Masih belum diserahterimakan ke pemilik proyek: Krakatau Steel.
Memang itu masih dalam tanggung jawab kontraktor EPC, tapi dampaknya bagi Krakatau Steel sangat mematikan. Apalagi si kontraktor asing tidak dalam kemampuan mengatasi biaya rehabilitasinya –praktis seperti membangun peleburan baru.
Kalau di Freeport hanya mesin bagian polusi yang terbakar. Di Krakatau Steel mesin utamanya yang meledak hancur.
Proyek besar punya 2 besar. Hanya orang dengan nyali besar berani masuk proyek besar.(Dahlan Iskan)