Berita Bekasi Nomor Satu
Disway  

Sidang Semu

Oleh: Dahlan Iskan

“Orang itu sekali hidup harus pernah bikin sejarah”.

Anak-anak muda ini sudah bikin sejarah besar justru saat mereka masih kuliah di semester tujuh. Itu karena mereka bukan hanya kutu buku. Mereka juga aktivis.

“Kami aktif di komunitas pemerhati konstitusi,” ujar Enika Maya Oktavia, salah seorang dari empat orang mahasiswa yang kini terkenal itu.

Yang dia maksud dengan ”kami” adalah dia dan Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Tsalis Khoriul Fatna.

Anda sudah tahu: mereka baru saja memenangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Berkat gugatan mereka, mulai Pilpres 2029 nanti partai politik kecil pun bisa ajukan calon presiden sendiri. Tidak harus punya kursi di DPR. Apalagi harus 20 persen kursi seperti selama ini. Yang penting partai itu sudah ikut pemilu di tahun tersebut.

Empat mahasiswa itu ternyata sudah sangat ”berpengalaman”. Mereka selalu ikut ”sidang” di MK. Yakni sidang Mahkamah Konstitusi secara simulasi.

Simulasi itu mereka adakan sendiri. Seminggu sekali. Tiap hari Sabtu. Istilahnya: pelatihan sidang semu. Seperti sidang MK beneran, tapi mereka sendiri yang jadi pemohon, hakim, dan panitera.

Hanya untuk saksi ahli yang non mahasiswa. Mereka datangkan dari luar. Bisa dosen sendiri, bisa juga ahli hukum konstitusi dari universitas lain.

Pernah dalam sidang semu itu mereka mendatangkan ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada. Namanya: Dr Yance Arizona. Ternyata hubungan dengan Yance tidak hanya sampai di situ.

Ketika permohonan empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini disidangkan di MK, Yance-lah saksi ahli beneran yang mereka pilih.

Sebenarnya masih tiga nama lagi yang mereka minta. Semua oke. Tapi hanya Yance yang waktunya tersedia di hari itu.

“Kami kan tidak punya uang. Kami harus cari ahli yang bersedia ke Jakarta dengan biaya sendiri,” ujar Enika.

Rizki yang bertugas menghubungi Yance. Rizki yang masih menyimpan nomor telepon Yance.

“Kebetulan beliau dalam perjalanan ke Padang. Bisa mampir Jakarta untuk sidang di MK,” ujar Rizki.

Anda sudah bisa menebak. Dari namanya, Yance pastilah orang Minang. Yance alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Lalu meraih master hukum di Universitas Indonesia. Ia tidak hanya ahli hukum tata negara. Yance juga ahli hukum adat. Bukunya banyak membahas hukum adat.

Dua dari empat mahasiswa itu ikut Yance ke Jakarta: Rizki dan Faisal. Yang wanita seperti Enika dan Tsani tidak ikut. Dari empat orang itu memang hanya Rizki dan Faisal yang laki-laki. Itulah satu-satunya sidang yang mereka hadiri secara langsung. Selebihnya, enam kali sidang lainnya, mereka ikuti secara online.

Rizki satu-satunya dari empat orang yang bukan lulusan Madrasah Aliyah Negeri. Ia lahir di Tasikmalaya. Sekolahnya di SMA Islam Bina Insan Mandiri, jauh di selatan kota Tasikmalaya. Yakni di kecamatan Pamijahan, dekat makam wali dari tarekat Syattariyah di sana.

Setelah ibunya tidak bersama ayahnya lagi, Rizki ikut paman dari pihak ayah. Lalu dikirim ke pondok Ma’had Aly di Solo. Dari situ ia masuk ke Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia juga aktivis di komunitas pemerhati konstitusi.

Di fakultas itu mereka ambil jurusan hukum tata negara. Sudah lama ada jurusan tata negara di UIN. Bahkan sudah ada UIN yang buka fakultas kedokteran.

Enika sendiri ternyata lahir di Pati. Saat sebelum TK dia dan kakaknyi dibawa merantau di Kalteng. Tepatnya ke Sampit –setengah jam terbang dari Surabaya atau Semarang. Satu-satunya adik lahir di Sampit.

Enika dibesarkan ibunyi –pun setelah sang ibu tidak bersama ayahnyi lagi. Di Aliyah Negeri Sampit, Enika tergolong sangat pintar -nasib membawanyi ke UIN Sunan Kalijaga.

Enika sangat sedih. Begitu lulus Aliyah, Enika tidak bisa mendaftar ke universitas negeri kecuali ke UIN. Padahal dia ingin masuk Universitas Sebelas Maret, Solo.

Penyebabnya: sangat teknis. Nomor induk siswa nasional miliknyi tidak bisa diaktifkan. Setiap kali diakses tidak terhubung. Berbagai usaha dilakukan tetap tidak bisa.

“Lebih 100 teman kami yang mendapatkan nasib yang sama,” ujar Enika.

Enika tidak tahu mengapa orang tuanya memberi nama Enika. “Saya cari sendiri di internet. Ternyata itu dari bahasa Hawaii. Artinya kemenangan,” ujarnyi. Sesuai sekali dengan jalan hidupnyi.

Enika juga sudah lengket dengan Sampit. Setelah lama di Yogya dia kangen masakan Sampit: nasi kuning sambal habang khas Sampit, dan sayur kelakai. Yakni sayur dengan bahan tanaman paku-pakuan.

Saat wawancara, Enika kelihatan memang sangat terampil dalam olah kata. Bicaranyi cepat, langsung, berisi. Kelihatan sekali kalau suka debat –dan bahkan pernah jadi juara debat nasional soal konstitusi.

Debat itu diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi bersama Universitas Andalas, Padang. MK memang sering mengadakan acara seperti itu. Tiap tahun. Hanya sejak Covid-19 belum ada debat lagi.

Komunitas pemerhati konstitusi itu sendiri sudah ada sejak 12 tahun lalu. Sangat aktif. Punya kurikulum segala. Setiap Sabtu mengadakan Sidang Semu MK. Hasilnya sangat nyata.

Kini partai-partai pusing. Salah satu kekuasaan partai yang selama ini jadi monopoli mereka telah dipereteli empat mahasiswa.

Partai, soko guru demokrasi itu, memang masih yang paling tidak demokratis.(Dahlan Iskan)