Berita Bekasi Nomor Satu
Disway  

PIK Rahasia

Seorang nelayan di Ketapang Pelelangan, Kabupaten Tangerang, menceritakan kondisi laut sebelum adanya polemik pagar laut misterius dan sertifikat-Disway.id/Candra Pratama-

Oleh: Dahlan Iskan

Saya pernah menjelajah daerah dekat pantai utara Tangerang. Mungkin sekarang sudah masuk plot PSN PIK2.

Saya marah: kenapa proyek transmisi dari Teluk Naga ke Tangerang tidak kunjung bisa dibangun.

Padahal tanpa transmisi itu investasi triliunan rupiah di PLTU Teluk Naga sia-sia. Dan lagi, saat itu, Tangerang krisis listrik. Byar-petnya luar biasa. Kawasan industri besar di sana mengeluh berat.

Saya sudah panggil kepala proyek transmisi. Sebenarnya tidak harus saya yang memanggil. Tapi proyek sudah keterlaluan terlambatnya. Marah tidak ada gunanya.

Saya dorong kepala proyek dengan kabar gembira. Saya beri semangat. “Kalau Anda bisa menyelesaikan proyek ini, Anda saya beri mobil baru dari uang pribadi saya”.

Saya tahu tidak mungkin memberi semangat seperti itu boleh pakai uang PLN. Karena itu saya salut kepada Presiden Prabowo yang juga sering pakai uang pribadi untuk menyemangati anak buahnya.

Harga satu mobil hanya seperti sebutir debu bila dibanding keuntungan kalau proyek itu selesai. Setahun bisa untung Rp 2 triliun. Tiap tahun.

Hadiah itu rupanya kurang besar. Proyek tetap tidak bisa berjalan.

Penyebabnya: beberapa tanah yang akan dilewati transmisi tidak bisa dibebaskan. Tanah itu milik beberapa petani setempat.

Sebenarnya petani mau saja melepaskan tanah mereka. Asal harganya bisa untuk membeli sawah yang ukurannya sama di sebelahnya. Tapi PLN tidak mau membeli dengan harga yang diminta petani.

Bukan PLN tidak punya uang. Tapi PLN tidak boleh melanggar peraturan. Sebenarnya harga yang diminta petani itu hanya ibarat sebutir debu dibanding nilai proyek. Tapi PLN tidak boleh menyetujuinya.

Ada peraturan pemerintah: harga tanah untuk transmisi maksimal harus sekian rupiah. Patokan itu jauh di bawah harga yang diinginkan petani.

Bila PLN membayar di luar harga patokan maka akan dianggap korupsi. Pun bila itu sangat menguntungkan negara.

Pernah ada kasus serupa. PLN membayar ganti rugi pohon melebihi harga pohon yang dipatok pemerintah. Kepala PLN setempat, di Klaten Jateng, sudah hati-hati: minta persetujuan muspida (bupati, kapolres, dandim, kajari). Dirapatkan. Disetujui. Daripada rakyat demo.

Sekian tahun kemudian –ketika semua pejabat sudah berganti– kepala PLN setempat jadi tersangka korupsi uang ganti rugi pohon tersebut. Dijatuhi hukuman 4 tahun –sekitar itu. Kami semua sedih.

Di Tangerang utara terjadi kasus serupa. Bukan pohon tapi transmisi. Sama saja. Ini sulit dipecahkan. Berlarut.

Akhirnya saya putuskan untuk ke lapangan. Saya akan menemui sendiri para petani itu.

Bertemu.

Begitu berdialog dengan para petani saya langsung berubah drastis. Dari marah menjadi terharu.

Para petani itu bercerita. Ceritanya membuat saya sedih: mereka jadi petani di situ karena tidak berdaya. Terpaksa. Mereka sudah tiga kali jadi korban penggusuran. Mereka korban pembangunan.

Awalnya mereka tinggal di dekat Kebayoran Baru. Masih sawah waktu itu. Lalu mereka digusur. Ke sekitar Condet. Masih sawah juga. Lebih murah.

Di dekat Condet pun wilayahnya berkembang. Mereka digusur lagi. Pindah ke dekat pantai utara Tangerang itu. Lalu mereka bertekad tidak mau lagi digusur.

Saya dengarkan kisah itu dengan menahan linangan air mata. Begitu selesai saya rapat dengan pimpinan proyek. Di dekat sawah itu. Saya minta kepadanya: mereka tidak boleh kita gusur.

Di situ saya juga putuskan. PLN membeli saja tanah di dekat lokasi itu. Bukan untuk transmisi. Untuk membangun gudang. Kalau bukan untuk transmisi PLN, boleh membayar dengan harga pasar. Dengan membeli tanah untuk gudang tidak ada peraturan yang dilanggar.

Begitulah. Transmisi dibelokkan sedikit ke “tanah gudang” PLN. Gudangnya sendiri rasanya tidak jadi dibangun. Proyek pun selesai. Triliunan rupiah bisa diselamatkan. Krisis listrik di Tangerang teratasi.

Mobil untuk kepala proyek tetap saya berikan. (Hallooo… masih kerja di PLN kah Anda?). Maafkan saya lupa nama Anda.

Sebenarnya saya ingin tetap merahasiakan cerita ini. Bisa dikira pansos terkait pagar laut. Toh sudah terjadi 14 tahun lalu.

Ada lagi alasan untuk tetap merahasiakannya: saya bisa jadi tersangka.

Saya bisa dianggap korupsi karena menyiasati peraturan. Apalagi masih banyak cara serupa saya lakukan untuk atasi krisis listrik di seluruh Indonesia saat itu.

Karena itu mohon cerita ini Anda baca sambil menyendiri. Jangan Anda share ke siapa pun. Cukup untuk Anda sendiri –sebagai rahasia kita berdua.(Dahlan Iskan)