RADARBEKASI.ID, BEKASI – Para nelayan budidaya ikan, udang dan rumput laut mengeluhkan sejak disegelnya pagar laut milik PT Mega Agung Nusantara (MAN) di Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.
Beberapa dampak yang dirasakan oleh ratusan nelayan budidaya perikanan yang sudah turun temurun tersebut, mulai dari tidak bisanya memasang waring atau jaring yang terbuat dari anyaman plastik, hingga tak bisa meninjau tambak milik mereka.
Kondisi itu diperparah dengan adanya plang penyegelan pagar laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sehingga membuat para nelayan segan melintas, karena khawatir melanggar kasus hukum.
Ketua Kelompok Budidaya Perikanan Desa Hurip Jaya, Ahmad Sahil mengatakan, 99 persen warga di Desa Hurip Jaya merupakan nelayan budidaya yang memanfaatkan pesisir laut untuk dibuat tambak menggunakan waring dan bambu. Dan juga menggantungkan hidupnya dari hasil budidaya tersebut. Budidayanya pun beragam, mulai dari rumput laut, ikan dan udang.
“Karena adanya segel tersebut, aktivitas nelayan jadi berhenti. Karena kan ada pemasangan plang dari KKP. Kami taat hukum, karena ada plang ini, kami jadi terganggu untuk kerja. Meninjau tambak saja kami jarang sekali, makanya hampir banyak yang hilang, bambu, terpal, padahal luar biasa modalnya, bukan cuma ratusan ribu, tapi puluhan juta,” ucap Sahil kepada Radar Bekasi di Tarumajaya, Senin (24/2).
BACA JUGA: Rieke Desak Pagar Laut di Tarumajaya Bukan Hanya Dicabut
Kata dia, budidaya perikanan bersama nelayan lainnya itu sudah dilakukan jauh sebelum adanya pagar laut, yang belakangan diketahui milik PT MAN.
Sejak dulu, mereka membuat tambak-tambak di pesisir laut. Dan pada tahun 2025 ini, lanjut Sahil, sebanyak 7 kelompok perikanan budidaya teregistrasi KKP dengan bukti kepemilikan kartu Kusuka.
Setiap kelompok terdiri dari 15 hingga 25 nelayan di bawah naungan Dinas Perikanan Kabupaten Bekasi. Terkait adanya pemasangan pagar laut yang tengah viral itu, Sahil bersama nelayan lainnya juga sempat terimbas difitnah sedang memasang pagar laut.
“Nelayan ada yang meminjam modal dari bank, bahkan ada dari bank emok, istrinya kan nongkrong setiap minggu untuk bayarin bank emok, sementara hasilnya belum didapat dari tambak ini, karena adanya plang tersebut,” bebernya.
BACA JUGA: Kepala Desa Segarajaya Akui Bakal Diperiksa Bareskrim Soal Pagar Laut
Adanya pagar laut dan isu pembongkaran ini juga membuat khawatir para nelayan budidaya, karena tambak yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun itu terancam, apabila adanya pembongkaran pagar laut.
Sahil berharap, KKP dapat membedakan pagar laut yang dibuat oleh PT MAN dengan tambak-tambak milik nelayan budidaya yang berada di pesisir laut.
“Kami kan orang awam, jadi dengar isu begitu, apalagi kalau sudah ada bahasa ratakan-ratakan, kembalikan menjadi laut, ini membuat resah warga yang cari makan untuk istri dan anak, bukan untuk memperkaya diri. Walaupun ada yang punya harta, itu kelempengan karna budidayanya bagus,” terang Sahil.
Diakuinya, nelayan budidaya di Desa Hurip Jaya ini pernah dua kali mendapatkan prestasi. Yang pertama pada tahun 2005, dimana nelayan Desa Hurip Jaya meraih juara 1 tingkat nasional dalam lomba budidaya rumput laut Gracilaria. Kemudian prestasi berikutnya juga diraih pada tahun 2006 menjadi juara 2 tingkat nasional kategori serupa.
“Dan juara 1 itu dulu juara nasional itu yang menyerahkan langsung Presiden Megawati, untuk budidaya rumput laut Gracilaria di Desa Hurip Jaya Kecamatan Babelan,” ungkapnya.
Kini, Sahil bersama nelayan lainnya berharap Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan atau PSDKP, dapat berdiskusi bersama para nelayan budidaya, untuk mencari solusinya.
“Masalahnya bukan sebatas pagar laut saja, ini persoalan sosial yang lebih luar biasa lagi, karena ribuan anggota keluarga ini penghasilannya dari budidaya,” pungkasnya. (ris)