Berita Bekasi Nomor Satu
Disway  

Kawan Lama

Bersama Kuncoro Wibowo (tengah), owner Kawan Lama (Azko).--

Oleh: Dahlan Iskan

Kawan Lama itu pemberani. Termasuk berani melepaskan partner lama Amerikanya: ACE Hardware. Maka berakhirlah waralaba Amerika itu di Indonesia: terhitung 1 Januari 2025.

Saya berkunjung ke kantor pusat grup Kawan Lama di kawasan Meruya, Jakarta. Dua hari sebelum saya berangkat umrah bersama istri dan satu cucu.

Pemilik Kawan Lama itu teman lama: Kuncoro Wibowo. Waktu saya menjadi ketua umum barongsai Indonesia Kuncoro yang jadi ketua hariannya. Bertahun-tahun berteman. Tanpa bertengkar.

Di lantai paling atas gedung Kawan Lama itu saya dijamu lontong Cap Go Meh. Hari itu memang 15 hari setelah Imlek. Cap Go artinya lima belas –dalam bahasa daerah Hokkian.

Saya amati benda-benda seni di seluruh lantai paling atas itu. Banyak lukisan dan patung Bali. Di lukisan-lukisan itu warna Indonesianya sangat menonjol. Termasuk lukisan punokawan wayang Jawa. Semar. Dan anak-anaknya.

Di salah satu dindingnya saya baca tulisan mandarin dalam ukuran besar: 张友. Pertemanan yang panjang.

Dari filsafat inilah bisnis Kawan Lama dibangun. Berarti kata “lama” dalam “Kawan Lama” bukan berarti “kawan sejak lama”. “Lama” di situ dalam pengertian selamanya. 张友lebih “dalam” maknanya dibanding 老友 (teman lama).

Hanya pertemanannya dengan Ace Hardware-nya Amerika yang tidak selamanya. Tapi lama juga: 30 tahun. Itulah pertemanan berdasar kontrak. Masa berlakunya: 15 tahun. Bisa diperpanjang. Setiap perpanjangan harus 15 tahun.

Menjelang masa perpanjangan ketiga, Kawan Lama mengajukan perubahan kontrak. Minta agar fee waralabanya turun. Kontribusi atas penggunaan merk Ace Hardware di Kawan Lama tidak setinggi dulu lagi.

Rupanya tidak tercapai kesepakatan. Kontrak pun berakhir: 30 Desember 2024.

Maka nama PT Ace Hardware Indonesia di pasar modal Jakarta pun diubah: menjadi PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (AHI). Kode sahamnya tetap: ACES. Harga sahamnya, minggu lalu, tetap di sekitar Rp 805/lembar. Tidak jauh dari harga perdananya di tahun 2007 dulu: Rp 820/saham.

Waktu go public dulu salah satu anak perusahaan grup Kawan Lama ini mendapatkan dana Rp 422 miliar –sebagian besar untuk ekspansi usaha.

Kini AHI memiliki 350 gerai di seluruh Indonesia. Merk Ace Hardware yang dulu terpasang di setiap gerai berubah menjadi Azko. Merek nasional.

Ternyata PT AHI tetap kokoh tanpa Ace. Nilai perusahaan ini mencapai Rp13 triliun.

Sebenarnya saya diminta ke lantai delapan gedung itu. Seluruh lantai isinya barang-barang baru. Di lantai itulah diseleksi: barang baru mana yang akan dipilih untuk dijual di Azko. Seleksinya ketat. Jenis. Mutu. Harga. Dan mana yang akan paling laku. Selebihnya di-reject.

Saya tidak sempat ke lantai delapan. Harus buru-buru ke Bogor. Ada perayaan Cap Go Meh di sana. Dari Bogor balik Surabaya untuk membuka dan menutup turnamen golf Harian Disway. Dari lapangan golf Citraland itulah saya langsung ke bandara menuju Jeddah.

Seleksi barang baru seperti di lantai delapan itu mengingatkan Kuncoro ke masa kecilnya. Di sebuah rumah di Jalan Kokosan, Mangga Besar, Jakarta kota.

Sampai saat ini nama jalan itu masih sama. Hanya sebutan kampungnya yang berubah. Jalan Kokosan itu di masa lalu disebut kampung Tanki.

Di situlah Kuncoro, tiga kakaknya dan lima adiknya dilahirkan. Sembilan bersaudara. Rumah ayahnya itu punya halaman. Banyak pohon besar di halaman itu. Sang ayah juga memelihara kelinci, ayam, anjing, dan kura-kura. Kuncoro suka dengan binatang-binatang itu.

Di sebelah rumah ada pabrik penggergajian kayu jati: Botjiang. Lalu ada lapangan sepak bola milik klub UMS –United Make Strong. Di belakang rumah ada sungai dengan air yang jernih. Aneh, di Mangga Besar pernah ada pemandangan semenarik itu.

Wing Jin baru menikah di umur 38 tahun. Yakni setelah ekonominya mapan. Ia menikahi Tang Giok Liang yang berumur 18 tahun.

Di halaman itulah ayah Kuncoro melakukan seleksi atas alat-alat pertukangan yang akan dijual di tokonya. Produsen alat pertukangan datang ke rumah itu membawa produk seperti gergaji, palu, tatah, alat serut, obeng,  dan seterusnya. Kuncoro menyaksikan bagaimana ayahnya menyeleksi barang. Itulah “sekolah dagang” yang berharga baginya.

Ayah Kuncoro masih lahir di Tiongkok. Di Xin Hui, provinsi Guangdong. Namanya Wong Jin. Ketika merantau ke Hindia Belanda Wong Jin masih perjaka: 1930. Sudah pandai menjadi tukang kayu.

Dengan ketrampilan itu Wong Jin tidak sulit mendapat pekerjaan di Batavia. Belanda lagi memerlukan tukang kayu yang sangat pandai: untuk membangun interior kapal. Pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh tukang kayu biasa.

Hasil kerja Wong Jin dipuji pemilik kapal. Wong Jin pun dapat uang banyak. Ia bisa beli rumah di Jalan Kokosan itu. Ia pun pindah dari rumah tinggal sementara milik yayasan suku Guangdong di Jakarta.

Persatuan orang Gungdong memang memiliki yayasan. Lengkap dengan gedungnya. Orang-orang sesuku yang baru tiba di Batavia ditampung di situ.

Kelak, ketika Wong Jin sudah mampu, ia menjadi pengurus yayasan itu. Dari ditolong menjadi ikut menolong.

Wong Jin juga punya modal untuk membuka toko. Yakni toko peralatan tukang kayu. Mengapa? Wong Jin mengalami sendiri betapa sulit mendapatkan alat pertukangan ketika mendapat pekerjaan interior kapal.

Toko alat pertukangannya itu berlokasi di Pasar Atom. Nama tokonya sama dengan namanya: Toko Wong Jin.

Belakangan toko itu berubah menjadi Zhang You (张友). Dan ketika ada keharusan pakai bahasa Indonesia jadilah toko Kawan Lama.

Pasar Atom sendiri lantas dibangun baru. Namanya juga berubah menjadi Lendeteves. Kini: Pasar Baru.

Wong Jin mengalami kesedihan yang sangat dalam ketika sekolah-sekolah Tionghoa ditutup. Tahun 1966. Orde lama runtuh. Pak Harto berkuasa.

Ia sedih karena tiga anaknya harus meneruskan sekolah ke Tiongkok. Suasana politik di Batavia tidak menentu. Anak wanita yang sudah berangkat dewasa harus diselamatkan.

Kuncoro melihat tiap malam ayahnya menulis surat untuk tiga kakaknya itu.

Sejak itulah Kuncoro merasa jadi anak sulung. Ia memang laki-laki pertama. Umurnya 10 tahun. Kelas 4 SD.

Sejak penutupan sekolah Tionghoa itu Kuncoro ‘sekolah’ di toko Kawan Lama. Ayahnya yang jadi guru sejatinya. Ia melihat langsung bagaimana ayahnya menjalankan bisnis. Ia belajar banyak.

Begitulah kisahnya mengapa Kawan Lama dimiliki enam bersaudara: Kuncoro dan adik-adiknya. Tiga kakak perempuannya tidak ikut serta. Belakangan mereka memang  pulang ke Indonesia tapi tetap tidak ikut di grup Kawan Lama.

Saya terharu setiap melihat keluarga yang rukun seperti Kuncoro bersaudara. Padahal sangat banyak alasan untuk bertengkar. Apalagi generasi ketiga sudah mulai ikut bekerja.

Saya pun bertanya kepada Kuncoro: apa resepnya. Ia setuju, nilai-nilai keluarga mungkin tidak bisa selamanya dibina. Maka Kuncoro bersaudara melestarikannya dalam sebuah konstitusi keluarga.

Kian banyak pengusaha besar yang memiliki konstitusi keluarga. Maka rukun tidak lagi hanya ketika masih miskin.(Dahlan Iskan)