RADARBEKASI.ID, BEKASI – Julukan sebagai daerah lumbung padi sudah tak lagi disematkan di Kabupaten Bekasi. Lahan pertanian yang dulunya terbentang luas di 23 kecamatan, kini semakin menyusut akibat alih fungsi.
Kondisi ini diperparah dengan belum rampungnya pembahasan Peraturan Daerah (Perda) tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Penyusutan lahan pertanian di Kabupaten Bekasi menjadi sorotan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dalam acara Panen Raya di Majalengka, Senin (7/4), ia menyampaikan bahwa lahan pertanian di Bekasi nyaris habis. Ia juga membandingkan kondisi ini dengan daerah lain yang justru memperluas lahan pertaniannya.
Menurut Dedi, penyusutan lahan pertanian di Jawa Barat, khususnya di Bekasi, disebabkan oleh masifnya alih fungsi lahan.
Salah satu penyebab lainnya penerapan sistem perizinan Online Single Submission (OSS) yang dikendalikan pemerintah pusat. Sistem ini memungkinkan terbitnya izin di atas lahan pertanian karena tak bertentangan dengan tata ruang.
Sebagai bentuk respon, baru-baru ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang melarang alih fungsi lahan pertanian dan lahan hijau dalam bentuk apapun.
Dedi pun mendorong evaluasi terhadap sistem OSS, termasuk saat berkunjung ke Kota Bekasi pada Maret lalu.
BACA JUGA: Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi Tak Dapat DAK karena Belum Ada Perda LP2B
Menyikapi itu, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Bekasi, Darissalam, menilai penyebab utama penyusutan lahan pertanian adalah masifnya pembangunan perumahan yang tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Ia menyebut, jika alih fungsi lahan untuk kepentingan produktif seperti pabrik, masyarakat masih bisa merasakan manfaatnya, misalnya dari sisi lapangan pekerjaan. Namun, jika hanya untuk perumahan, masyarakat justru dirugikan.
“Sebenarnya kita sebagai masyarakat, kalau lahan pertanian beralih fungsi yang produktif untuk masyarakat, misalkan perusahaan, kita masih bisa ambil imbas positifnya, dari tenaga kerja dan sebagainya. Tapi kalau manakala perumahan, akhirnya tergusur habis, begitu pun potensi penghasilan maupun pemberdayaan masyarakat,” paparnya kepada Radar Bekasi, Selasa (8/4).
Daris juga menyoroti pengaruh eksternal, seperti para pengembang dan marketing yang menyebarkan informasi bahwa lahan pertanian sudah tidak produktif. Hal ini membuat petani terdorong untuk menjual lahannya.
Ia berharap kebijakan nasional seperti Instruksi Presiden tentang Asta Cita, termasuk ketahanan pangan, bisa mengubah cara pandang masyarakat. Apalagi saat ini harga gabah juga mulai menguntungkan, mencapai Rp6.500 per kilogram saat Lebaran.
“Ini menjadi salah satu daya tarik petani,” katanya.
Berdasarkan data, lahan pertanian di Kabupaten Bekasi masih cukup luas. Menurut data LSD versi Kementerian Pertanian, luasnya mencapai 70 ribu hektare, dengan sekitar 52 ribu hektare masih berupa lahan sawah baku (versi BPN).
BACA JUGA: Raperda LP2B Dibahas Lagi Januari 2025
Sementara itu, data dari Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi menyebutkan bahwa lahan LP2B seluas 35 ribu hektare.
“Memang kalau secara geografis kita terancam. Tapi tergantung kemauan Pemerintah Daerah, bersama legislatif, dan publik, untuk bantu mendorong, memberi support, agar LP2B menjadi Perda,” tuturnya.
Ia menambahkan, dengan jumlah penduduk 3 juta jiwa dan produktivitas rata-rata 5 ton per hektare, ketahanan pangan masih bisa dijaga jika distribusi hasil pertanian dikendalikan.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Bekasi, Ani Rukmini, menegaskan pentingnya kebijakan untuk menjaga lahan pertanian. Menurutnya, jika tidak ada upaya perlindungan, kegiatan pertanian bisa tergilas oleh zaman, apalagi minat generasi muda menjadi petani juga menurun.
Ani menyebut para petani saat ini minim dukungan regulasi. Ia pun mendorong agar regulasi LP2B segera disahkan menjadi Perda, meskipun pembahasannya sudah berlangsung cukup lama.
“Insya Allah sekarang sedang running pembahasan Raperda LP2B. Mudah-mudahan kalau Perda tersebut regulasinya sudah ada, kita bisa menjaga lahan-lahan pertanian agar tidak beralih fungsi. Itu yang betul-betul tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dialih fungsikan. Kalau di LP2B, ada sekitar 38 ribu hektar lahan pertanian,” ucapnya.
Ia juga menilai, selain regulasi, perlu dukungan anggaran dan kebijakan dari Pemkab Bekasi. Ani memberi contoh perlunya ketegasan dalam menolak izin pembangunan perumahan di atas lahan pertanian..
“Harus ada keberanian seperti itu, kemudian tentu saja biar masyarakat juga tetap mematuhi Perda, bahwa ini termasuk lahan pertanian yang tidak boleh dialih fungsikan. Tentu dukungan anggaran untuk mengaktivasi lahan pertanian tersebut yang tertuang dalam Perda, jangan kemudian menjadi lahan tidur,” jelasnya.
Terpisah, Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi, Nayuh Kulsum, enggan bicara banyak soal penyusutan lahan pertanian. Namun, ia menekankan pentingnya Perda LP2B untuk memberikan batasan terhadap alih fungsi lahan
“Kita lagi pembahasan LP2B, semua sekarang sedang pembahasan LP2B dan insya Allah mudah-mudahan dewannya semua mendukung, karena setiap kabupaten/kota harus mempunyai lahan yang dilindungi. Kalau ada LP2B, jadi ada pembatasan perizinan alih fungsi,” ungkapnya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah, menilai usulan Gubernur Dedi sudah tepat. Menurutnya, sistem OSS kerap tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Banyak perizinan hanya berdasarkan administrasi, tanpa studi kelayakan langsung.
“Kalau saya berpandangan bahwa usulan dari pak gubernur itu tepat. Karena kan selama ini lahan-lahan subur itu telah beralih fungsi,” katanya.
Catatan berikutnya terkait dengan perizinan menurut Trubus, pemerintah seringkali tidak melakukan studi kelayakan dengan cara turun langsung ke lapangan melainkan hanya menilai dari sisi administratif. Selain itu, sistem pengawasan dan penegakan aturan yang juga menurutnya lemah.
Alih fungsi lahan ini menimbulkan berbagai dampak, mulai dari banjir hingga pengangguran akibat hilangnya ruang hidup masyarakat yang sebelumnya bertani. Lahan persawahan yang merupakan tanah subur ini memang menjadi incaran pengembang.
“Pengembang itu kan inginnya tanah subur karena lebih mudah, lebih efisien,” ucapnya.
Dalam penyusunan tata ruang yang baru nanti, Trubus menekankan beberapa hal agar menjadi perhatian pemerintah provinsi dan kota kabupaten di Jawa Barat. Pertama, daerah kawasan sungai harus menjadi prioritas untuk dilindungi.
Kedua, menyelamatkan tanah subur. Pembangunan perumahan hingga kawasan industri tidak diarahkan lahan persawahan.
Ketiga, mulai mengarahkan pembangunan hunian vertikal dalam merespon kebutuhan tempat tinggal di tengah masyarakat. “Jadi sekarang Pemprov Jabar itu diarahkan semuanya hunian vertikal,” tambahnya. (pra/sur)