Berita Bekasi Nomor Satu

SMAN 3 Cikarang Utara Digeruduk Warga, Kecewa Anaknya Tak Diterima Sekolah

GERUDUK SEKOLAH : Sejumlah orangtua bersama anaknya aksi di SMAN 3 Cikarang Utara, Kamis (19/6).ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – SMAN 3 Cikarang Utara, yang berlokasi dekat rumah Wakil Bupati Bekasi, Asep Surya Atmaja, digeruduk sejumlah warga pada Kamis (19/6). Mereka kecewa karena anak-anaknya tidak diterima melalui jalur domisili dalam proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).

Ratusan ibu-ibu berkumpul dan melakukan orasi di depan sekolah, menuntut penjelasan mengapa anak mereka tidak diterima, padahal sudah memenuhi kriteria jarak yang ditentukan dalam jalur domisili SPMB.

Aksi mereka semakin memanas dengan membakar ban bekas di depan sekolah, sehingga akses Jalan Perumahan Bumi Citra Lestari (BCL) menjadi tertutup. Aksi tersebut berakhir sore hari setelah pihak sekolah meminta data orangtua murid yang tidak lolos jalur domisili untuk diarahkan mengikuti jalur prestasi.

Seorang warga, Nike (46), mengaku sudah tiga hari bolak-balik ke SMAN 3 Cikarang Utara untuk memperjuangkan anaknya masuk, namun belum berhasil. Akhirnya, ia bergabung bersama ibu-ibu lain dalam aksi tersebut.

“Alasannya nggak diterimanya dari pihak sekolah yang memutuskan provinsi, karena sistem. Nh terus kalau sistem, domisili, kemarin sudah dicek juga titik koordinat. Terus kalau yang 500 meter ini, nggak diterima, yang diterima yang berapa meter. Saya kan bingung,” ucap Niken, warga Desa Waluya ini kepada Radar Bekasi, Kamis (19/6).

Padahal, sebelumnya anak pertamanya bisa masuk SMAN 3 Cikarang Utara melalui jalur zonasi yang saat itu masih bernama PPDB. Niken sengaja memilih sekolah tersebut karena jaraknya dekat, sesuai himbauan Gubernur Jawa Barat, Dedi ulyadi, agar pelajar dapat berjalan kaki ke sekolah.

“Anak saya lulusan Covid-19 lemaron sekolah di sini diterima, kenapa yang sekarang gak diterima. Rumah saya juga gak pindah. Tapi kenapa dipersulit pun ada sekolah dekat, tapi malah dilempar ke yang lebih jauh. Bahkan itu jaraknya lebih jauh dari SMA 3 Cikarang Utara,” tambahnya.

Dalam proses pendaftaran jalur domisili, Niken sudah melampirkan berkas lengkap mulai dari KTP, KK, akta kelahiran, ijazah, hingga pengecekan titik koordinat. Menurutnya, sistem seperti ini sangat menyulitkan masyarakat.

Dirinya berharap sistem penerimaan siswa baru ini dapat mempermudah masyarakat, khususnya bagi ibu-ibu rumah tangga yang mendampingi anak-anaknya mendaftar.

“Sangat menyulitkan. Sudah online, verifikasi, titik koordinat, pemberkasan juga. Kita tidak mungkin bohong soal KK, KTP, akta, sampai raport SD dan SMP. Kita benar-benar ingin sekolah. Semua dicek, kami bolak-balik tiga hari, dari pagi jam delapan sampai jam tiga. Ujung-ujungnya tidak diterima. Kami nangis dari pagi,” jelas Niken.

Nasib serupa dialami Lena (52), warga Perumahan Bumi Citra Lestari, yang rumahnya hanya berjarak 400 meter dari SMAN 3 Cikarang Utara. Menurut catatannya, sekitar 218 anak dari sekitar sekolah tidak diterima melalui jalur domisili. Lena juga menyayangkan ada warga di luar jarak 400 meter yang justru diterima.

“Justru jalur sebelah kanan itu keluar dari warga kami bisa keterima. Pasti ada saku kanan, satu kiri. Titipan guru, titipan ini, titipan itu. Pasti iya, dong. Logika saja,” keluh Lena.

Sama seperti Niken, Lena mendapat alasan bahwa anaknya tidak diterima karena jarak tidak sesuai. Ia berharap Gubernur Jawa Barat dapat melihat masalah ini dan mengubah sistem penerimaan siswa baru agar tidak ada lagi orang tua yang harus menangis karena anaknya tidak diterima di sekolah yang jaraknya dekat dengan rumah.

“Dengan segala kerendahan hati kami sebagai orang tua murid, tolong Pak Dedi Mulyadi mainlah ke Desa Waluya. Kalau perlu, bawa kepala sekolahnya. Kasih paham. Lokasi sekolah ini dekat rumah Wakil Bupati Bekasi. Masa setiap tahun kami harus menangis dan mengemis agar anak bisa sekolah? Katanya ingin memajukan Indonesia dan mencerdaskan anak bangsa, tapi kenapa malah dipersulit?” ungkapnya.

Ketua SPMB SMAN 3 Cikarang Utara, Yuliani, menjelaskan aksi tersebut muncul dari warga Desa Waluya yang tidak lolos jalur domisili dan meminta difasilitasi. Namun, pihak sekolah memastikan jalur domisili sudah berakhir pada Kamis (19/6). Orangtua murid yang melakukan aksi diminta mengikuti jalur prestasi.

“Dari kuota tersedia, 146 orang dari Desa Waluya dan warga BCL sudah diterima. Secara sistem untuk jalur domisili sudah lewat, sudah selesai. Tadi kita mendata berapa warga Desa Waluya yang tidak diterima untuk ikut jalur prestasi. Tetap berarti nilainya juga mereka kita ikut sesuai dengan nilai prestasinya. Nanti kita ada tes kompetensi akademiknya,” terang Yuli.

Menurut Yuliani, pada SPMB tahun ini terdapat lebih dari 300 pendaftar jalur domisili. Sebanyak 151 pendaftar atau sekitar 35 persen dari 432 sudah diterima pada tahap pertama. Ia juga memastikan jumlah rombongan belajar (rombel) tahun ini sebanyak 12 rombel dan tidak bertambah karena menyesuaikan fasilitas sekolah.

“Dan yang tidak diterima, ya tadi minta ada kebijakan lah gitu kan. Sementara kita nggak berkebijakan, kebijakan yang diambil dari para pimpinan lah yang menemui mereka,” tandasnya. (rs)