Berita Bekasi Nomor Satu

Guru Sekolah Rakyat Tidak Boleh Pulang

BERI MATERI : Guru memberikan materi saat simulasi kegiatan belajar mengajar di Sekolah Rakyat Pangudi Luhur (SRPL) di Bekasi Timur, Kota Bekasi, Rabu (9/7). RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Ada yang menarik dalam sistem operasional Sekolah Rakyat Pangudi Luhur (SRPL). Salah satunya terkait keberadaan para guru yang mengajar di sekolah gratis bentukan Kementerian Sosial (Kemensos) ini. Dimana sebagian besar dari mereka rupanya tidak pulang ke rumah seusai mengajar. Para guru juga tinggal di asrama, tepat di depan sekolah. Hidup bersama siswa. Menemani. Membina. Mendidik dengan hati.

“Alhamdulillah, sudah ada penamaannya, Jumlah guru kami ada 21 orang, 19 wali asuh, dan 3 wali asrama. Kami menjadi tim yang membimbing dan mengawal siswa selama belajar di sekolah ini,” ujar Kepala Sekolah SRPL, Lastri Fajarwati, kepada wartawan, Kamis (10/7).

Guru-guru dibagi dalam tiga peran utama. Guru pembelajaran fokus pada akademik. Wali asrama bertanggung jawab atas kehidupan di asrama, sedangkan wali asuh menjadi pendamping keseharian dan kondisi emosional anak-anak.

BACA JUGA: Soal Sekolah Rakyat, Gus Ipul: Tidak Boleh Ada Titipan, Sogokan, atau KKN

“Wali asuh ini terkait dengan well-being anak-anak. Bagaimana membentuk kebiasaan, mengawal mereka agar merasa seperti di rumah,” katanya.

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SRPL tak seperti sekolah lain. Di sini, anak-anak menjalani masa adaptasi selama tiga bulan penuh. Isinya bukan soal pelajaran, melainkan retret kehidupan, membentuk disiplin, menanamkan nilai agama, mengenalkan tanggung jawab.

“Kalau di sekolah biasa lima hari, di kami tiga bulan bisa jadi. Tujuannya supaya mereka nyaman, senang, bisa saling mengenal, dan terbentuk karakternya. Setelah itu baru masuk ke pembelajaran intensif,” jelas Lastri.

Selama masa itu, pelajaran tetap berjalan, tapi porsinya lebih kecil. Fokus utamanya adalah pembiasaan hidup sehat, mandiri, dan bertanggung jawab.

Guru-guru di SRPL tinggal di rumah susun yang dibangun tepat di seberang sekolah. Mereka datang dari berbagai daerah, termasuk Tegal, Jogja, dan Garut. Yang berasal dari Bekasi pun banyak yang memilih menetap.

BACA JUGA: Sekolah Rakyat bagi Warga Miskin Dibuka Juli, tanpa Tunggu Gedung Baru

“Alhamdulillah kami difasilitasi di rusun. Dari sisi pribadi, kami memulai pengabdian di sekolah rakyat ini dengan niat ibadah. Anak-anak yang kami dampingi adalah orang-orang luar biasa yang doanya didengar oleh Allah,” tutur Lastri.

“Kalau mereka mencapai prestasi, itulah dakwah kami. Fondasinya adalah motivasi dan empati,” lanjutnya.

Meski dikhususkan untuk siswa dari keluarga miskin, kurikulum SRPL tetap mengacu pada kurikulum nasional. Hanya saja, sistem pembelajaran disesuaikan dengan kehidupan berasrama dan diberi sentuhan karakter, agama, serta keterampilan vokasional.

“Di sekitar sekolah ada sentra membatik, budidaya ikan lele, dan bengkel. Semua itu akan kami manfaatkan sebagai bagian dari pembelajaran,” ucap Lastri.

Penjurusan untuk kelas IPA dan IPS akan dilakukan mulai kelas 11, dengan mempertimbangkan hasil akademik dan hasil tes talent DNA.

“Hasil test itu bisa menunjukkan bakat dan potensi anak. Jadi penjurusan tidak hanya berdasarkan nilai,” jelasnya.

BACA JUGA: Persiapan Sekolah Rakyat di Bekasi Dikebut

Lastri menegaskan, siswa yang diterima di SRPL bukan hasil seleksi akademis, melainkan hasil verifikasi dari data milik Kemensos, kategori Data Calon Operasional (DCO) 1 dan DCO 2.

“Kami bukan seleksi, tapi survei. Data diverifikasi, bahkan didokumentasikan dalam video dan dilaporkan ke Kementerian. Sampai Pak Presiden pun tahu siapa saja yang diterima di sekolah ini,” katanya.

Kini, SRPL bukan hanya tempat belajar, tetapi rumah baru bagi ratusan anak yang datang dari garis kemiskinan.
Dua di antaranya adalah Saskia Zahra dan Kholikinus Wijaya, siswa baru SRPL yang tengah menjalani masa adaptasi.

Perempuan mungil berkerudung abu-abu itu tampak kikuk di hari pertamanya menginap di asrama. Namun senyumnya tak lepas saat ditanya soal perasaannya bisa masuk ke SRPL.

“Seneng, kemarin saya Daftarnya kemarin lewat PKH.”katanya

Saskia sebelumnya bersekolah di SMPN 27 Bekasi dan kini tercatat sebagai siswa SMA Asrama SRPL.

“Rumah aku di Sumur Batu. Orang tua sekarang gak kerja,” ucapnya lirih. “Makanya pas tahu ada sekolah gratis ini, langsung ikut daftar. Alhamdulillah diterima.”tambahnya

BACA JUGA: Sekolah Rakyat di Bekasi untuk Anak Miskin Masih Perlu Tambahan Sarana Prasarana  

Meski harus tinggal jauh dari keluarga dan pulang hanya sebulan sekali, Saskia mengaku siap. “Gak papa, di sini bareng teman-teman juga. Nanti tidur rame-rame, seru. Aku malah seneng,” ujarnya dengan tawa kecil.

Saat ditanya soal kegiatan ekstrakurikuler, matanya berbinar.“Aku pengin ambil ekskul nari. Dari kecil suka banget lihat tari-tari tradisional. Mudah-mudahan bisa tampil juga nanti,” katanya penuh harap.

Berbeda dari Saskia, Kholikinus Wijaya mengaku sempat pesimis soal masa depannya. “Saya pikir udah gak bisa sekolah lagi, Soalnya orang tua juga bingung cari biaya.” katanya

Namun segalanya berubah ketika ia mendengar tentang SRPL dari gurunya di SMP.

“Saya tahu sekolah ini dari guru. Katanya ada sekolah bagus, gratis, dan tinggal di asrama. Waktu itu langsung tertarik. Saya pikir, ini kesempatan saya,” ujar remaja asal Karang Satu, Bekasi itu.

Hari itu, ia baru satu malam menginap di asrama. Meski masih asing dengan lingkungan baru, Kholikinus tidak mengeluh.

“Nginep baru satu malam. Katanya bisa pulang sebulan sekali. Gak apa-apa sih, emang harus belajar mandiri juga. Biar kuat, gitu,” ujarnya dengan gaya bicara lugas.

Ia datang ke asrama dengan perlengkapan yang sudah disiapkan sejak beberapa hari sebelumnya. “Baju, alat mandi, sepatu, semua udah siap. Orang tua juga dukung, katanya bagus buat masa depan.” pungkasnya. (rez)