Berita Bekasi Nomor Satu

Buruh Bekasi Tuntuk UMK 2026 Naik 10-15 Persen, Ini Dasarnya

Ratusan buruh melakukan aksi demo di depan Kantor Pemerintahan Kota Bekasi, Rabu (10/11) lalu. FOTO: RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Menjelang akhir Oktober, meja rapat Dewan Pengupahan di Kota Bekasi masih terasa dingin. Suara buruh menuntut kejelasan nasib mereka belum juga mendapat jawaban pasti.

Pembahasan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) tahun 2026 yang diharapkan menjadi penentu kesejahteraan ribuan pekerja Bekasi justru berjalan di tempat.
Tahun lalu, UMK Bekasi naik 6,5 persen atau Rp5,69 juta untuk Kota Bekasi dan Rp5,56 juta untuk Kabupaten Bekasi.

Namun kali ini, serikat pekerja dan buruh menuntut kenaikan 10 hingga 15 persen, yang berarti upah bisa menembus Rp6 juta di tahun depan. Angka itu bukan tanpa dasar.

Menurut Koordinator Buruh Bekasi Melawan (BBM), Sarino, usulan tersebut berdasarkan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) dengan 64 komponen, memperhitungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

“Kita sudah survei internal, melihat langsung kebutuhan dasar buruh di lapangan. Harga-harga naik, tapi upah stagnan. Itu realitas yang tidak bisa disembunyikan,” ujarnya tegas.

Rencana aksi besar-besaran pun digelar pada 30 Oktober. Sebagian massa akan bergerak ke Jakarta mengikuti aksi nasional, sementara lainnya berorasi di depan Kantor Wali Kota Bekasi. Dua tuntutan utama mereka, yakni kenaikan UMK 2026 dan pencabutan PP Nomor 35 Tahun 2021 yang dianggap mengekang hak buruh.

Namun hingga kini, pembahasan di tingkat Kota Bekasi baru dua kali dilakukan, masih sebatas tata tertib. Belum satu pun agenda masuk ke pokok bahasan upah.

“Kondisi ini seolah menunjukkan bahwa urusan perut buruh tidak mendesak di mata pemerintah daerah,” kritik Sarino.

Berbeda dengan Kabupaten Bekasi yang sudah beberapa kali menggelar rapat pengupahan, Kota Bekasi tampak menunggu instruksi pusat. Padahal, menurut Sarino, sistem pengupahan seharusnya bersifat bottom-up, bukan top-down.

“Daerah harus aktif menyuarakan kemampuan dan kondisi ekonominya, bukan diam menunggu aturan turun dari pusat,” tambahnya.

Sementara, ketegangan semakin terasa menjelang aksi nasional. Ribuan buruh dari wilayah industri utama seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Karawang, hingga Purwakarta siap turun ke jalan. Mereka menyuarakan tiga tuntutan, hapus outsourcing, tolak upah murah, dan naikkan upah minimum 8,5–10,5 persen.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menegaskan aksi tersebut akan berlangsung serentak di 38 provinsi dan lebih dari 300 kabupaten/kota.

“Kami menolak ketimpangan upah antar daerah. Buruh di Bekasi tidak mungkin hidup layak dengan upah yang tidak mengikuti lonjakan biaya hidup,” tegasnya.

Di sisi pemerintah, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) kini tengah menyiapkan regulasi baru penghitungan upah minimum tahun 2026 yang akan diumumkan 21 November 2025. Menteri Ketenagakerjaan Yasierli menyebut, rumus penghitungan kemungkinan berubah dari aturan sebelumnya, PP Nomor 51 Tahun 2023.

“Formulanya sedang difinalisasi. Kami membuka ruang dialog sosial dengan semua pihak, baik serikat pekerja, pengusaha, maupun dewan pengupahan nasional,” katanya.

Namun di balik kalimat diplomatis itu, para buruh tetap menahan napas. Mereka tahu, perdebatan tentang upah bukan sekadar angka di atas kertas. Ini soal hidup yang kian mahal, tentang dapur yang harus tetap mengepul, dan tentang harga diri pekerja yang selama ini hanya dijadikan objek statistik ekonomi.(sur)