RADARBEKASI.ID, BEKASI — Selasa (25/11) seharusnya menjadi hari paling indah dalam hidup Grace Adelina Pangaribuan (24). Ia berdiri tegak di panggung wisuda, mengenakan toga, menyandang gelar sarjana, dan dikelilingi ucapan selamat serta pelukan keluarga. Kilatan kamera dari teman dan saudara merayakan momen yang selama bertahun-tahun ia impikan.
Namun di balik senyumnya, Grace menyimpan kecemasan. Kabar hujan badai dan longsor yang melanda kampung halamannya di Kota Sibolga membuat pikirannya tak tenang.
“Di hari yang aku tunggu-tunggu, yang menurut aku spesial, malah seperti ini. Itu jadi pikiran banget,” kenang Grace. Senyuman di panggung wisuda seolah tak mampu menutupi gundah yang menggerogoti pikirannya.
Kabar pertama datang dari Opung-nya di Kecamatan Sibolga Kota. Hujan badai turun tanpa henti, sinyal telekomunikasi mulai melemah, dan listrik padam. Meski telah mendengar kabar longsor di daerah dataran tinggi, sang Opung masih berusaha menenangkan. “Doain saja, mudah-mudahan tidak sampai ke kota,” ucapnya dalam telepon terakhir.
Setelah itu, hening. Komunikasi terputus selama empat hari penuh.
Grace menggambarkan bagaimana setiap detik terasa berjalan lambat. Ia menonton berita televisi dengan mata berkaca-kaca, memantau media sosial, menunggu setiap pesan yang masuk di ponsel. Dan meski tubuhnya berada di Bekasi, pikirannya bagaikan tertinggal di kampung halaman.
Baru pada Minggu (30/11), keluarga di Bekasi berhasil menghubungi sanak saudara di Sibolga. Perasaan lega bercampur sedih menyelimuti hati Grace. Kampung halamannya memang tidak terkena banjir parah air hanya setinggi mata kaki dan tidak terjadi longsor di wilayah perkotaan. Namun penduduk tetap terisolasi. Toko kebutuhan pokok tutup, pasar berhenti beroperasi, jaringan telekomunikasi padam, dan listrik tak menyala.
“Opung sampai harus ke GraPARI terdekat, sekitar satu kilometer dari rumah, baru bisa komunikasi,” tutur Warga Tambun Utara ini.
Lebih memilukan lagi, keluarga lain yang tinggal di Kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah, mengalami banjir setinggi pinggang orang dewasa dan harus mengungsi. Lumpur masuk ke rumah, perabotan rusak, dan seluruh barang harus dibersihkan.
“Puji Tuhan tidak kena longsor. Sekarang mereka sudah mulai kembali ke rumah untuk bersih-bersih,” ucapnya, sedikit menghela napas lega.
Kini komunikasi dengan semua sanak keluarga sudah kembali normal.
“Syukurnya semua selamat,” katanya menutup cerita. Namun harapannya tidak berhenti pada keluarganya saja. Ia ingin bencana ini menjadi pelajaran kolektif.
“Mungkin ini teguran. Semoga dari peristiwa ini kita bisa belajar untuk menghargai dan menjaga alam,” ungkapnya pelan.
Rasa Cemas serupa juga dirasakan Tengku Imam Kobul Yahya, warga Bekasi lainnya. Sejak banjir dan longsor menerjang berbagai wilayah di Sumatera, ia kehilangan kontak dengan kakaknya di Kecamatan Angkola Sangkunur, Kabupaten Tapanuli Selatan. Baru Sabtu (29/11) malam ia bisa mendengar suara sang kakak, setelah lebih dari sepekan menyimpan tanya dan kecemasan.
“Wilayah itu memang langganan banjir setiap tahun,” katanya. “Tapi yang paling parah ya tahun ini.”
Kampung halaman kakaknya biasanya mampu bertahan tanpa mengungsi, berkat struktur rumah panggung dan banjir yang tidak terlalu tinggi. Namun tahun ini—sungai kecil 50 meter dari rumah meluap dan merendam hingga melewati ketinggian kaki-kaki rumah. Tidak ada pilihan lain selain mengungsi ke desa seberang selama dua minggu.
Bukan hanya keselamatan fisik yang terancam, tetapi ketahanan pangan pun diuji. Sawah gagal panen. Ketika bantuan makanan tak kunjung datang dan akses transportasi lumpuh, keluarga Imam harus bersabar menunggu kemurahan tangan sesama.
“Dia makan cuma sekali sehari, menunggu pemberian orang,” ucap Imam lirih. Telepon barunya menyala karena listrik sudah hidup beberapa jam—cukup untuk menghubungi keluarga.
Tim SAR dan Brimob dari Riau sudah datang, tapi distribusi logistik belum merata. Imam berharap kunjungan Presiden Prabowo akan mempercepat penanganan dan pembukaan akses. Rencana pulangnya ke kampung halaman pada 28 November pun terpaksa ditunda.
“Aku sudah beli tiket pesawat, tapi bisa di-refund karena kondisi luar biasa,” katanya.
Kisah kehilangan kontak, kecemasan, dan keterisolasian yang dialami Grace dan Imam bukan hanya mengundang empati, tetapi juga membangkitkan solidaritas. Di Kota Bekasi, berbagai organisasi, komunitas perantau, mahasiswa, hingga pemerintah daerah mulai menggalang bantuan untuk korban banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.
Pemerintah Kota Bekasi mengeluarkan surat edaran Wali Kota nomor 400.8/5851/SETDA.Kesra pada 1 Desember 2025, mengajak seluruh lembaga, pelaku usaha, dan masyarakat menyalurkan donasi melalui rekening khusus Patriot Berbagi.
“Yang biasanya Jumat berkah bagi warga di sini, kita rubah menjadi Jumat berkah untuk warga yang terkena musibah,” ujar Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto. Bantuan uang tunai diprioritaskan agar dapat menyesuaikan kebutuhan paling mendesak di lokasi bencana.
Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) Kota Bekasi juga bergerak cepat. Sehari setelah bencana terjadi 26 November pengurus DPD IKM langsung membentuk tim penggalangan dana.
“Kota bergerak di WhatsApp, TikTok, dan Instagram,” kata Wakil Ketua DPD IKM Bekasi, Ayung Sardi Dauly.
Dengan jumlah anggota sekitar 30 ribu orang, bantuan diharapkan mengalir secara berkelanjutan dari tiap kecamatan melalui pengurus DPC IKM.
Solidaritas serupa juga ditunjukkan Pemuda Batak Bersatu (PBB). Organisasi ini mengumpulkan pakaian layak pakai, sembako, hingga uang tunai. Bahkan sejak awal bencana, DPC PBB di berbagai daerah sudah membantu proses evakuasi korban.
“Kami berharap pemerintah pusat memberi perhatian khusus, mengingat kerusakan infrastruktur yang masif,” tegas Ketua Umum PBB, Lambok F Sihombing. Ia juga mengetuk hati para dermawan di Bekasi agar ikut membantu meringankan beban masyarakat yang terdampak.
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) turut membuka posko bantuan di Sekretariat Jalan Chairil Anwar. Obat-obatan, uang tunai, dan barang kebutuhan lain dibuka untuk donasi dari warga Kota Bekasi.
“Kami membuka posko seminggu ke depan. Media publikasi sudah mulai kami sebarkan,” ujar Ketua Cabang GMKI Bekasi, Firman Gultom.
Sementara itu, Gerakan Anak Negeri kembali memberangkatkan Relawan Sumatera Gelombang 2 untuk membantu penanganan bencana banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera pada Senin, 1 Desember 2025.
Sebanyak 15 relawan diberangkatkan pada gelombang ini, terdiri dari tenaga kesehatan, tim Cimande, hingga petugas logistik untuk mendukung rombongan pertama yang sebelumnya telah berangkat pada Minggu, 30 November 2025 kemarin.
Koordinator Relawan Gelombang 2, Muhammad Indra, mengatakan bahwa pemberangkatan kedua ini merupakan respons cepat terhadap meningkatnya kebutuhan tenaga medis dan dukungan lapangan di titik-titik terdampak.
Formasi Tim Gelombang 2 terdiri dari tenaga Kesehatan yang diisi oleh, dr. Sahrul Zubiantoro, dr. Ramli Randan, dr. Budi Suarman, Sugeng Wibisono, Pearl Diaz Ikhlas, Roni Trisnawan, Zulfa Muzayyanatul Millah, Resy Martin, Gunawan dan Adi Nurrohman Majid:
Sementara untuk Tim Cimande diisi oleh, Muhammad Rangga Kusuma W, Kodir Wahyudin Irawan dan Muhammad Asep Syarif. Lalu untuk Logistik akan dinahkodai oleh Dalim Nurdin Bachrum. “Total 1 koordinator, 3 dokter, 7 perawat, 3 tim Cimande, dan 1 personel supply,” katanya.
Indra menjelaskan Relawan gelombang kedua juga membawa sejumlah bantuan penting untuk kebutuhan darurat di lokasi bencana, “Tim membawa peralatan logistik seperti 3 karung selimut (50 pcs), 2 dus P3K Cimande, 3 dus obat-obatan, Spanduk lapangan hingga Kantong jenazah,” terangnya.
Menurut Indra, kebutuhan logistik terutama obat-obatan dan perlengkapan identifikasi jenazah masih sangat mendesak di sejumlah titik terdampak. Relawan Gelombang 2 dijadwalkan langsung menuju posko induk Gerakan Anak Negeri begitu tiba di wilayah terdampak, sebelum selanjutnya disebar ke beberapa lokasi prioritas.(sur/riz)











