Berita Bekasi Nomor Satu

Akses Terputus, Tim GAN Tembus Empat Desa Terisolir di Huta Raja Pasca Banjir Bandang

Tim medis GAN memeriksa kesehatan warga korban bencana banjir. FOTO: GERAKAN ANAK NEGERI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Suara gemericik sungai yang biasanya menjadi latar kehidupan warga Huta Raja berubah menjadi jeritan air bah beberapa hari lalu.

Ketika Sungai Batang Toru dan Garoga meluap, gelondongan kayu besar terbawa arus, menghantam rumah, memutus jalan, dan meninggalkan jejak kerusakan yang membuat empat desa, satu kelurahan, dan satu dusun terisolir. Akses komunikasi pun tak kalah terputus, menyisakan kecemasan karena tak ada kabar dari warga yang tinggal di daerah terdalam.

Di tengah ketidakpastian itu, Posko Pengungsian yang terletak di Kantor Kecamatan Muara Batang Toru menjadi pusat harapan. Di sinilah ratusan penyintas menunggu kabar baik—bantuan, layanan kesehatan, atau sekadar kepastian bahwa mereka tidak sendirian menghadapi bencana.

Pada Kamis (4/12/2025), harapan itu datang dari Tim Gerakan Anak Negeri (GAN) yang berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Bogor. Mereka melanjutkan pelayanan kesehatan pasca bencana, menembus wilayah yang sulit dijangkau, menyisir desa-desa yang hingga kini belum tersentuh layanan medis.

Di balik perjalanan para relawan itu, tersimpan cerita keteguhan para penyintas dan para petugas lokal yang terus berjuang, bahkan ketika keselamatan mereka sendiri terancam. Di antara mereka, seorang Babinkamtibmas bernama Jhon menjadi simbol nyata bagaimana upaya menyelamatkan orang lain tak jarang meninggalkan luka pada diri sendiri.

Kronologi Banjir Bandang: Ketika Sungai Meluap Membawa Gelondongan Kayu

Wilayah Huta Raja berada di hilir Sungai Batang Toru dan Sungai Garoga. Beberapa waktu lalu, hujan intens membuat kedua sungai itu tak mampu menahan debit air yang meningkat drastis. Aliran deras membawa gelondongan kayu besar, memecah jembatan kecil dan meruntuhkan akses jalan menuju sejumlah desa di bagian dalam Muara Batang Toru.

Hingga hari Kamis, empat desa dan dua kelurahan—Desa lingkungan 3 Huta Raja, Desa Muara Huta Raja, Kelurahan Muara Manompas, Kelurahan Muara Ampolu, Desa Simarlela, Desa Muara Upu, serta Dusun Eksibirong—masih terisolir. Tidak ada kendaraan yang dapat masuk, jalur darat putus, dan sebagian titik jembatan masih tertutup material.

Sekretaris Camat Muara Batang Toru, Jasinaloan, membenarkan kondisi itu.

“Tidak bisa kita jangkau kesana pada saat kejadian, sampai sekarang jaringan pun masih sulit di sana,” ujarnya.

Ketiadaan akses membuat warga tak hanya kesulitan mendapatkan bantuan logistik, tetapi juga kehilangan hak dasar mereka untuk mendapatkan layanan medis. Banyak di antara mereka mengalami gejala pasca trauma, sakit ringan, hingga luka fisik akibat berusaha menyelamatkan diri saat banjir datang.

Perjalanan Tim GAN: Menyusuri Akses Putus dan Titik Bahaya

Di tengah kondisi tersebut, Tim Gerakan Anak Negeri (GAN) berinisiatif melakukan pelayanan jemput bola. Dengan perlengkapan medis terbatas, mereka menyusuri jalur yang sebagian masih diselimuti lumpur dan tumpukan kayu.

Setibanya di posko pengungsian, mereka melakukan pemeriksaan kepada penyintas yang telah beberapa hari tinggal di bawah tenda. Ada warga lansia dengan tekanan darah tinggi, anak-anak dengan batuk akibat udara lembab, hingga petugas tanggap bencana yang turut membutuhkan pertolongan.

Babinkamtibmas yang Cedera Saat Menyelamatkan Korban

Ketika melakukan pemeriksaan, tim menemukan Jhon, seorang Babinkamtibmas yang mengalami tegang otot. Cedera itu ia dapatkan ketika mencoba menyelamatkan korban banjir yang hampir hanyut. Dengan hanya seutas tali di tangan, ia melawan derasnya arus.

“Ini masih kerasa tangan saya sebelah kanan, saya terbawa arus langsung saya tarik tali yang saya tadikan ke pohon,” tuturnya.

Tangannya masih gemetar ketika bercerita, namun sorot matanya mantap. Ia tak menyesali apa pun—baginya, menyelamatkan warga adalah hal yang sudah sepatutnya dilakukan.

Aksi Relawan Cimande: Memijat Luka Fisik dan Luka Hati

Relawan Urut Cimande, Asep Syarif, memberikan perawatan kepada para penyintas dan petugas yang mengalami cedera otot. Salah satunya adalah Jhon.

“Sangat terharu ketika bisa melayani orang yang membantu mengevakuasi korban lain hingga mengalami cedera,” ungkapnya.

Momen itu bukan sekadar tindakan medis. Ia menjadi titik pertemuan empati antara relawan dan mereka yang selama ini berada di garis terdepan penyelamatan. Kisah Jhon dan warga Huta Raja menggambarkan bagaimana bencana tak hanya merusak fisik, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis. Mereka bukan sekadar angka dalam laporan bencana, melainkan manusia yang bertahan dengan keberanian luar biasa.

Akses yang terputus menunjukkan betapa rentannya infrastruktur di wilayah hilir sungai. Minimnya layanan kesehatan pasca bencana berpotensi memperburuk kondisi warga, terutama kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.

Relawan GAN hadir langsung di titik terdalam, menyaksikan bagaimana warga hidup di tengah keterbatasan. Upaya mereka menembus desa-desa terisolir adalah bentuk nyata kehadiran di “ground zero”.

Di tengah puing dan lumpur yang belum sepenuhnya surut, hadirnya bantuan bukan hanya soal obat dan pemeriksaan kesehatan. Ini tentang memastikan bahwa warga Huta Raja tidak berjalan sendirian melewati masa sulit ini.
Dalam setiap tangan yang diperiksa, setiap cerita yang dibagikan, dan setiap langkah relawan yang menembus desa terisolir, ada harapan kecil yang terus menyala: bahwa pemulihan, perlahan tapi pasti, sedang menuju mereka. (*)