RADARBEKASI.ID, BEKASI – Tiga warga Bekasi menjadi bagian dari 22 korban tewas dalam kebakaran Gedung Terra Drone di Jakarta Pusat, Selasa (9/12). Mereka adalah Rufaidha Lathiifunnisa (22) asal Cibitung, Assyifa Mulandar (25) dari Babelan, dan Tahsya Larasati Ramdani dari Rawalumbu.
Masing-masing meninggalkan rumah pada pagi yang tampak biasa, tanpa tanda, tanpa firasat, sebelum akhirnya keluarga mereka menerima kabar duka yang tak pernah dibayangkan. Selasa (9/12) pagi itu tak berbeda dari hari-hari biasanya bagi keluarga Rufaidha Lathiifunnisa (22). Putri mereka itu bergegas bersiap, mengecup tangan orangtua, lalu pamit pergi bekerja di Gedung Terra Drone, Jakarta Pusat.
Suasana keluarga pegawai yang bekerja di gedung enam lantai itu berubah ketika mendapat informasi peristiwa kebakaran. Sore kemarin 22 korban jiwa berhasil diidentifikasi, tiga diantaranya warga Bekasi.
Tak ada tanda-tanda mencurigakan, tak ada firasat buruk hanya rutinitas sederhana seorang anak yang baru merintis karier. Namun siang harinya, ketenangan itu berubah menjadi kabar duka yang tak pernah dibayangkan keluarga.
Ketika informasi kebakaran gedung mulai beredar, Irwan, ayah Rufaidha, menerima telepon dari teman-teman putrinya. Tak lama kemudian, pihak Terra Drone menghubungi istrinya, memberi kabar bahwa para korban telah dievakuasi ke RS Polri Kramat Jati.
Saat itu, Irwan masih berharap putrinya berhasil menyelamatkan diri. Tetapi harapan itu perlahan meredup ketika satu per satu nama korban muncul.
Malam harinya, Rufaidha menjadi satu dari tiga korban pertama yang berhasil diidentifikasi.
Berdasarkan kecocokan dokumen, aksesoris, serta ciri fisik, identitasnya dipastikan. “Anak saya baru tiga bulan bekerja. Masih training,” kata Irwan lirih. Rufaidha ditemukan meninggal akibat kehabisan oksigen saat terjebak di lantai lima gedung yang terbakar.
Sepupunya, Ikhsan, tak pernah menyangka suara yang ia dengar dari radio dalam.
“Ada nama Nisa disebut. Saya langsung ke RS Polri,” tuturnya.
Ia masih mengingat kondisi tubuh sepupunya yang hanya mengalami luka bakar ringan, namun nyawanya telah melayang sebelum sempat diselamatkan. Jenazah Rufaidha dimakamkan keesokan paginya di TPU Wanajaya, Cibitung.
Di tempat lain, keluarga Assyifa Mulandar (25) menjalani siang yang penuh kecemasan. Tidak ada firasat apa pun ketika Assyifa berangkat bekerja dengan motornya seperti biasa. Namun pukul 12.45 WIB, sebuah telepon membuat seluruh keluarga terpaku.
“Dia bilang minta maaf. Cuma itu. Pamitan,” ungkap adik korban, Alfito.
Suara Assyifa terdengar terburu-buru ternyata ia terjebak di lantai tiga gedung yang dilalap api itu. Itulah komunikasi terakhir dari seorang kakak yang dikenal tegas, religius, dan penuh perhatian.
Keluarga baru mengetahui Assyifa menjadi korban setelah melihat tayangan televisi yang menampilkan daftar nama korban. Hingga siang kemarin, rumah duka di Bahagia, Babelan, ramai oleh pelukan dan doa yang tak henti mengalir dari kerabat dan tetangga.
Proses identifikasi berlanjut hingga Rabu (10/12) sore. Tim Disaster Victim Identification (DVI) RS Polri akhirnya menuntaskan tugas berat mereka: mengidentifikasi seluruh 22 korban kebakaran Gedung Terra Drone. Salah satu dari 12 korban terakhir yang teridentifikasi adalah Tahsya Larasati Ramdani, warga Rawalumbu, Kota Bekasi.
“Pada pukul 16.53 WIB, seluruh pemeriksaan terhadap 22 kantong jenazah telah selesai,” ujar Kepala Rumah Sakit Polri, Brigjen Prima Heru.
Rekonsiliasi data, mulai dari catatan medis hingga kecocokan DNA, memastikan seluruh korban kini telah mengenali identitas mereka sebuah langkah penting sebelum diserahkan kepada keluarga.
Hasil pemeriksaan forensik menunjukkan mayoritas korban meninggal karena menghirup gas karbon monoksida (CO). Kepala Biro Dokpol Pusdokkes Polri, Brigjen Nyoman Eddy Purnama Wirawan, menjelaskan bahwa kebakaran dalam ruang tertutup seperti di Terra Drone memungkinkan CO terkonsentrasi dalam jumlah besar.
“Korban yang menghirup gas CO mengalami sesak dan kehilangan kesadaran. Itu bisa berujung pada kematian,” jelas Eddy. Selain itu, beberapa korban mengalami luka bakar derajat dua, namun CO menjadi penyebab dominan.
Di ruang duka, cerita-cerita kecil tentang para korban terus mengalir. Tentang Assyifa yang rajin mengajak adiknya makan di luar setiap menerima gaji. Tentang Rufaidha yang baru memulai langkah awal dalam dunia kerja.
Tentang Tahsya yang sore itu dijemput kerabatnya dengan linangan air mata. Masing-masing meninggalkan rumah pada pagi yang sama pagi yang tampak begitu biasa tanpa tahu bahwa hari itu akan menjadi perjalanan terakhir mereka.
Di tengah kepulan asap yang telah padam, duka masih menggantung di atas keluarga yang ditinggalkan. Mereka kini hanya bisa menggenggam kenangan, sementara proses hukum dan investigasi masih berjalan. Kebakaran itu mungkin telah berakhir, tetapi luka kehilangan membutuhkan waktu jauh lebih panjang untuk benar-benar pulih.(sur/ris)











