Berita Bekasi Nomor Satu
Disway  

Empati Wanita

 

Oleh: Dahlan Iskan

Saya khawatir: Ira Puspadewi membaca komentar perusuh Disway yang bernama samaran ”Definisi Mewah” di edisi kemarin. Lalu Ira setuju dengan komentar itu, sambil menangis terharu –dan bersandar ke dada si penulis.

Dari isinya yang sangat bagus saya menduga si penulis adalah ahli psikologi. Semua yang ditulis adalah benar. Dan baik. Juga bisa menyembuhkan jiwa yang lagi trauma. Apalagi jiwa wanita.

“Semoga Pak DI bisa berkomunikasi lebih baik lagi, dengan wanita,” tulisnya/nyi di penutup komentar. Saya pun memilih tulisan itu sebagai komentar pilihan. (lihat tiga komentar pilihan hari ini).

Tapi mungkin saya tidak bisa menuruti komentar itu. Tidak sanggup. Saya bukan ahli psikologi. Juga bukan orang yang –kata beberapa wanita– romantis.

Tiga komentar ”Definisi Mewah” di Disway kemarin itu saya baca sampai dua kali. Saya renungkan pesannya: benar semua. Bagus untuk diikuti.

Tapi mungkin saya tidak bisa mengikutinya. Ira tahu saya: bukan orang seperti itu.

Ketika mengangkatnyi sebagai dirut di BUMN bukan karena dia wanita. Kepada semua direksi perempuan yang saya angkat –saat di swasta maupun di BUMN– selalu saya sampaikan: bukan karena Anda wanita. Itu karena Anda semua mampu.

Pun kepada wartawan wanita: tidak akan ada perlakuan khusus –misalnya dapat tugas yang lebih ringan atau yang kurang berisiko. Wartawan seperti Siti ”Haji Nunut” Nasyi’ah (Ita) merasakan itu.

Kalau saya bicara ke Ira seperti di ”Ira Fatana” di Disway kemarin, itu karena saya tahu Ira bukan tipe orang cengeng. Jiwanyi sudah sangat kuat –pun untuk dibanting-banting. Saya tidak membantingnyi. Hanya menjewer pipinyi.

Yang saya lakukan kepada Ira ternyata saya lakukan juga kepada istri saya. Jumat kemarin. Itu hari kedua istri saya di rumah sakit. Kamis pagi dia menjalani operasi ganti tempurung lutut kiri.

Di hari kedua itu dia harus menjalani fisioterapi. Anda sudah tahu: fisioterapi untuk orang yang ganti lutut adalah mutlak. Sangat menentukan. Agar kelak, setelah operasi, bisa jalan, duduk timpuh, yoga, atau berposisi tahiyat akhir, dengan baik. Syaratnya harus disiplin menjalani fisioterapi.

Jumat pagi itu dia menjalani fisioterapi pertama. Kesakitan luar biasa. Sampai dia tidak mau lagi fisioterapi. Kapok. Ketika temannyi merayu dengan ”cara wanita”, istri saya punya dalih yang kuat.

“Kita kan pernah melahirkan. Sakitnya juga luar biasa. Toh kita kuat,” kata sahabat itu.

Apa jawab istri?

“Sakit karena melahirkan kan hanya saat itu saja. Begitu bayi keluar selesai. Lega. Ini tidak seperti itu,” jawab istri. Dia benar sekali dengan jawabannyi.

Tapi fisioterapi itu mutlak. “Kalau tidak mau fisioterapi bisa fatal. Tidak akan bisa berjalan normal,” kata saya. “Akan kesakitan seumur hidup,” tambah saya.

“Bah-bah-no,” jawabnyi.

Bah-bah-no adalah bahasa Surabaya untuk bodo amat, biarin.

Lalu saya jelaskan secara detail apa yang terjadi dengan lututnyi. Seperti apa mekanisme kerja di dalam lutut itu. Risiko-risikonya. Saya tidak memaksanyi. Saya bisa memahami sakitnya setelah operasi lutut. Seperti semua jenis rasa sakit kumpul jadi satu. Mungkin lebih baik sakit hati daripada sakit fisioterapi.

Jelaslah bahwa istri saya tetap menolak fisioterapi. Bahkan di puncak penolakannyi dia bilang begini:

“Saya pilih mati!” katanyi.

Maka saya tidak mungkin lagi merayunya dengan ”gaya merayu wanita”. Saat dia bilang ”pilih mati saja” saya mengatakan padanyi: “Masalahnya Anda ini tidak bisa mati. Lutut itu jauh dari napas. Jadi, berharap mati juga tidak ada gunanya. Kalau tidak mau fisioterapi bukan mati tapi akan terus kesakitan seumur hidup”.

Dia kelihatan diam. Setelah lama diam saya cium keningnya, sambil berbisik: “nanti malam fisioterapi ya”.

Dia diam. Merengut.

Menjelang jadwal fisioterapi saya pergi. Menjemput pengantin baru dari Syria yang akan berbulan madu di Indonesia. Ia anaknya sahabat baru saya di sana.

Di jalan, saya monitor lewat Nicky yang menunggui istri saya. Alhamdulillah. Istri saya mau fisioterapi.

Kesakitan?

Sampai menangis.

Tapi fisioterapi kedua ini membanggakan. Dia bisa melangkah lima langkah. Istirahat. Lalu lima langkah lagi.

Kembali dari ”Syria” saya ke kamar istri di RS Orthopedi, Surabaya. Itu malam ketiga saya tidur di rumah sakit. Saya lihat istri berbaring sambil main HP.

“Tadi pasti sakit sekali ya?” sapa saya.

Diam.

“Tadi sampai menangis ya?”

Diam.

“Anda tadi sudah bisa berjalan 20 langkah ya,” kata saya melebih-lebihkan hasil fisioterapinyi.

Diam.

“Besok akan lebih sakit dari itu. Besok Anda akan diminta latihan lebih berat,” kata saya.

Diam.

“Sebentar lagi kalau badan Anda agak panas, jangan risau. Itu akibat fisioterapi yang berat tadi,” kata saya sambil menempelkan telapak tangan ke keningnyi. Suhu normal.

Sabtu pagi kemarin dia menjalani fisioterapi ketiga. Meski tidak bicara, saya yakin dia sudah siap mental untuk menerima sakit yang lebih berat.

Selesai fisioterapi dia baru mau bicara. “Tidak sesakit kemarin,” katanyi. Tidak senyum tapi juga tidak merengut. Jiwanya terlihat bahagia.

Membuat bahagia istri ternyata mudah: memberikan gambaran yang berat, lalu dia bahagia ketika ternyata kenyataannya tidak berat. (Dahlan Iskan)