Berita Bekasi Nomor Satu

Bertahun-tahun Berlalu, Keadilan Korban Mafia Tanah di Bekasi Masih Menggantung

BERI KETERANGAN : M (32) anak dati korban kasus mafia tanah saat ditemui di Polres Metro Bekasi Kota menanyakan tindak lanjut kasusnya yang mandek hampir 10 tahun, Kamis (11/12). FOTO: RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Harapan untuk mendapatkan keadilan terus menggantung bagi M (32), anak dari korban dugaan mafia tanah di Kawasan Bojong Menteng, Kota Bekasi.

Rumah keluarga raib dan sang ayah meninggal dunia. Sementara laporan dugaan pemalsuan sertipikat yang dilayangkan ke Polres Metro Bekasi Kota sejak 2015 dinilai tak kunjung menunjukkan perkembangan hingga 2025.

Meike mengungkapkan, perkara yang menimpa keluarganya bermula dari dugaan pemalsuan tanda tangan orangtuanya dalam dokumen kepemilikan rumah. Akibat perbuatan tersebut, sertipikat rumah di balik nama tanpa sepengetahuan keluarga.

“Saya adalah anak dari korban dan ikut menjadi korban juga. Tanda tangan orangtua saya dipalsukan sehingga terbit sertipikat baru. Pelakunya diduga mafia tanah di Bekasi,” ujarnya di Polres Metro Bekasi Kota, pekan kemarin.

Menurut M, kronologi kasus ini sarat kejanggalan. Pada 2006, orangtuanya hanya melakukan peminjaman uang kepada pasangan suami istri berinisial E dan N. Namun sehari setelahnya, terbit Akta Jual Beli (AJB) yang seolah menunjukkan adanya transaksi jual beli rumah.

Keanehan kian terlihat ketika pada 2007, terduga pelaku justru datang menagih pengembalian uang dan mengeluarkan kwitansi yang menyatakan hubungan tersebut sebagai utang piutang, bukan jual beli.

“Kalau memang sudah jual beli dan dibalik nama pada 2006, kenapa pada 2007 masih datang menagih uang? Itu logika sederhana,” tegas M.

Saat itu, keluarga belum mengetahui bahwa sertipikat rumah telah beralih nama. Dengan itikad baik, orangtuanya bahkan masih membayar cicilan sebesar Rp10 juta dan menyimpan bukti pembayarannya.

Namun ketika keluarga meminta jadwal pelunasan dan pengambilan sertifikat, pihak terduga pelaku disebut enggan menunjukkan dokumen kepemilikan.

M menegaskan, seluruh bukti telah diserahkan kepada penyidik, termasuk hasil Laboratorium Forensik Polri yang menyatakan tanda tangan orangtuanya non-identik dengan yang tercantum dalam AJB.

“Hasil forensik sudah jelas. Semua bukti lengkap, tapi bertahun-tahun tidak ada tindak lanjut,” keluhnya.

Akibat kasus tersebut, keluarga kehilangan satu unit rumah dengan kerugian materi diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. Namun Meike menilai, kerugian immaterial jauh lebih besar.

“Bapak saya meninggal dunia dalam tekanan masalah ini. Dampaknya bukan cuma materi, tapi trauma dan beban psikologis yang kami tanggung belasan tahun,” ungkapnya.

Laporan resmi baru dilayangkan ke kepolisian pada 2015 setelah keluarga mengetahui sertipikat telah dibalik nama. Namun hingga 2025, Meike menyebut penanganan perkara tersebut masih berjalan di tempat.

Ia mengaku selalu kooperatif setiap kali dipanggil penyidik dan aktif meminta surat perkembangan perkara. Sebaliknya, pihak terduga pelaku disebut tidak pernah memenuhi panggilan kepolisian.

“Kami selalu datang dan kooperatif. Tapi terduga pelaku tidak pernah hadir, dan dari penyidik juga tidak ada kejelasan,” katanya.

Kasus dugaan pemalsuan sertipikat rumah ini ditangani oleh Unit Harta Benda (Harda) Polres Metro Bekasi Kota. Meike berharap aparat penegak hukum dapat menuntaskan perkara tersebut secara profesional dan berkeadilan.

“Kami cuma ingin keadilan. Jangan sampai masyarakat kecil seperti kami terus korbankan,” katanya. (rez)