RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rencana penyesuaian tarif ojek online (ojol) berpotensi menambah beban pengeluaran warga Bekasi. Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, kenaikan tarif transportasi dinilai dapat memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya mereka yang menjadikan ojol sebagai moda transportasi utama untuk beraktivitas sehari-hari.
Ojol selama ini telah menjelma menjadi pilihan andalan warga Bekasi. Selain kemudahan pemesanan, fleksibilitas perjalanan di tengah kemacetan dan keterbatasan transportasi umum membuat layanan ini sulit tergantikan. Tak hanya melayani mobilitas dalam kota, ojol juga menjadi penopang aktivitas warga Bekasi yang bekerja atau bersekolah hingga ke luar daerah, terutama Jakarta.
Berdasarkan data, sebelum wacana penyesuaian tarif mencuat, rata-rata pengeluaran transportasi warga Bekasi mencapai Rp1,9 juta per bulan atau sekitar 14,02 persen dari total pendapatan. Angka ini dikhawatirkan akan terus meningkat apabila tarif ojol resmi mengalami kenaikan.
Atias (26), warga Bekasi yang setiap hari melakukan perjalanan Bekasi–Jakarta, mengaku mulai mengurangi penggunaan ojol dalam beberapa waktu terakhir. Ia menyebut telah merasakan kenaikan tarif meski belum signifikan.
“Belakangan ini kerasa ada naik Rp1.000 sampai Rp2.000. Kelihatannya kecil, tapi kalau dipakai tiap hari tetap terasa pengeluarannya nambah,” ujarnya, Minggu (14/12).
Kini, Atias hanya menggunakan ojol untuk jarak pendek atau dalam kondisi mendesak. Ia memilih alternatif lain, seperti menumpang teman dari stasiun menuju tempat kerja. “Kalau bisa dihemat ya dihemat. Jujur tarifnya makin lama makin mahal,” katanya.
Terkait rencana penyesuaian tarif, Atias mengaku cukup keberatan jika hal itu benar-benar berdampak pada lonjakan pengeluaran bulanannya. Padahal sebelumnya, ojol menjadi satu-satunya pilihan karena lokasi tempat kerjanya tidak terjangkau transportasi umum.
Kondisi serupa dirasakan banyak warga Bekasi lainnya. Ojol kerap digunakan untuk perjalanan dari rumah menuju stasiun kereta karena praktis, cukup menunggu di depan rumah tanpa harus berjalan keluar kawasan permukiman.
Sementara itu, Nadira (25), warga Bekasi Utara, hingga kini masih rutin menggunakan ojol untuk bekerja dan beraktivitas lainnya. Ia mengaku tidak memiliki banyak pilihan karena tidak bisa mengendarai sepeda motor sendiri.
“Ojol itu praktis, tinggal duduk aja sampai tujuan. Buat saya sangat membantu,” ucapnya.
Mendengar rencana penyesuaian tarif, Nadira hanya berharap kenaikan yang terjadi masih dalam batas wajar. “Kalau naiknya masuk akal nggak apa-apa. Tapi kalau tinggi banget ya mau gimana lagi, soalnya tetap butuh ojol buat bolak-balik kerja,” katanya.
Di sisi lain, kekhawatiran juga datang dari kalangan pengemudi ojol. Ahmad, pengemudi ojol asal Bekasi yang telah lama berkecimpung di sektor ini, menilai pemerintah perlu mengkaji ulang rencana kenaikan tarif secara matang.
Menurutnya, tarif yang terlalu tinggi justru berisiko menurunkan jumlah penumpang. Ia mencontohkan kondisi di Jakarta, di mana sebagian pengguna mulai beralih ke transportasi publik seperti Transjakarta dan Jak Lingko.
“Kalau menurut saya sebaiknya dikaji lagi supaya berkesinambungan. Customer enak, driver juga enak,” ujarnya.
Ahmad menilai momentum penyesuaian tarif saat ini kurang tepat mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil. Ia khawatir kenaikan tarif justru akan berdampak buruk bagi pengemudi dalam jangka panjang.
“Kita mungkin untung satu dua bulan, tapi setelah itu penumpang berkurang, mau bagaimana? Yang saya khawatirkan, banyak driver kehilangan mata pencaharian,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya regulasi yang jelas bagi transportasi online. Hingga kini, menurut Ahmad, pengemudi ojol secara yuridis belum sepenuhnya diakui oleh negara, sehingga kerap berada dalam posisi lemah terhadap kebijakan aplikator.
“Harusnya regulasi yang diprioritaskan. Supaya berkelanjutan, enak di driver, aplikator, customer, dan juga merchant,” tambahnya.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberi sinyal akan melakukan penyesuaian tarif ojol. Skema tarif baru tengah disusun dengan mempertimbangkan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) serta harga Bahan Bakar Minyak (BBM), mengingat tarif ojol tidak mengalami revisi selama empat hingga lima tahun terakhir.
Kasubdit Angkutan Tidak dalam Trayek Direktorat Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, Utomo Harmawan, menyebut stagnasi tarif selama bertahun-tahun menimbulkan keresahan di kalangan pengemudi dan asosiasi.
“Pasti tarif akan kita sesuaikan, karena sejak ditetapkan 4–5 tahun lalu belum ada perubahan,” ujarnya.
Selain soal tarif, Kemenhub juga mendorong aplikator untuk meninjau ulang pola operasional
transportasi berbasis sepeda motor, terutama terkait aspek keselamatan dan kenyamanan lalu lintas.
“Ketika aplikasi mempertemukan 100 sampai 300 penumpang di satu lokasi, lalu lintas menjadi tidak nyaman. Apakah algoritmanya tidak bisa mengarahkan penumpang berjalan 20–30 meter ke titik yang lebih longgar? Keselamatan dan kenyamanan harus jadi perhatian,” kata Utomo.
Kemenhub menegaskan penyesuaian tarif ojol diharapkan tidak hanya adil bagi pengemudi, tetapi juga tetap memperhatikan kepentingan penumpang serta keberlanjutan sistem transportasi perkotaan. (sur)











