Berita Bekasi Nomor Satu

Kasus Suap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang, Kaya Raya Tak Menjamin Integritas

Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, mengenakan romi oranye dihadirkan saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (20/12). FOTO: ZAKKY MUBAROK/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Ade Kuswara Kunang mencatatkan dua rekor sekaligus dalam sejarah kepemimpinan daerah. Ia menjadi bupati termuda yang pernah memimpin Kabupaten Bekasi sekaligus salah satu bupati terkaya di Indonesia.

Namun, dua capaian itu runtuh seketika ketika Ade dan ayahnya, HM Kunang, secara bersama-sama terseret pusaran kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap hadiah atau janji ‘ijon’ proyek.

Latar belakang kekayaan yang melimpah sempat menumbuhkan harapan publik. Dengan harta mencapai puluhan miliar rupiah, Ade dianggap tak memiliki alasan ekonomi untuk menyalahgunakan jabatan.

Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Agustus 2025, Ade memiliki total kekayaan mencapai sebesar Rp79 miliar terdiri dari tanah bangunan, kendaraan, dan harta bergerak lainnya.

Namun, realitas berbicara lain. Kekayaan ternyata tidak serta-merta menjadi benteng integritas. Kasus korupsi yang menjerat Ade dan ayahnya justru menampar keras asumsi publik bahwa pemimpin kaya raya akan lebih bersih.

“Kasus ini menjadi potret bahwa persoalannya bukan kaya atau miskin. Yang menentukan adalah integritas,” ujar Peneliti dan Pengamat Kebijakan Publik Institute for Development and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro, Minggu (21/12).

BACA JUGA: 1,5 Jam Geledah Ruang Kerja Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang, KPK Bawa Dua Koper

Menurut Riko, integritas seorang pemimpin tidak bisa diukur dari besarnya harta, melainkan dari rekam jejak moral dan sikapnya terhadap kekuasaan. Ia menyebut kasus ini sebagai koreksi besar dalam cara masyarakat menilai figur kepala daerah.

Riko membedah persoalan korupsi kepala daerah dari tiga lapisan. Pada level mikro, korupsi mencerminkan rendahnya kualitas moral pejabat publik.

“Tidak bermartabat dan tidak punya kesadaran sebagai pemimpin,” katanya.

Ia bahkan menyebut praktik korupsi yang merajalela membuat publik seolah dihadapkan pada kenyataan pahit: pemerintahan diisi oleh mereka yang gagal menjaga etika.

Di level menengah, Riko menyoroti peran partai politik. Ia menilai partai pengusung sering kali gagal menjalankan fungsi kaderisasi dan seleksi calon secara serius. “Partai-partai politik kita rusak dan kehilangan makna. Mereka berhimpun untuk merebut kekuasaan, bukan membenahi masyarakat,” ujarnya.

Kondisi ini, lanjut Riko, berimbas langsung pada kualitas demokrasi. Pemilu berjalan prosedural, tetapi gagal melahirkan pemimpin berkualitas. Ia bahkan menyebut korupsi sebagai “bencana nasional” yang dampaknya tak kalah destruktif dibanding tsunami atau pandemi.

“Bayangkan, ada kepala daerah yang baru menjabat langsung tersandera isu korupsi. Ini pukulan telak bagi demokrasi kita,” katanya.

Riko menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi dan menilai calon pemimpin. Rekam jejak harus dibuka dan dikaji secara kolektif, bukan sekadar mengandalkan citra dan baliho kampanye. (sur/pra)